💖9💖


PO Because I'm Truly tiga hari lagi berakhir ... so ya nggak papa sih cuman ngingetin 😅

Numpang promo lagi

Cinta itu 2 arah bukan searah, kalau searah bertepuk sebelah tangan namanya. Feyna berusaha agar cintanya pada sang suami berbalas hingga rela melakukan apa pun. Candra, pria yang terlahir di sebuah keluarga yang "sakit", dipaksa menikahi Feyna.
Akankah rumah tangga Feyna dan Candra berbalut cinta ataukah perpisahan jadi pilihan mereka?

Peluk bukunya dengan mengikuti PO novel Because I'm Truly
Hubungi 081585844446

💖💖💖

Khaedar menatap putri bungsunya dengan wajah sedih. Wanita yang dikenal ceria, selalu terlihat berwajah segar dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya kini sirna sudah. Di hadapannya hanya wajah kuyu, tirus dan lelah tanpa senyum, sedemikian besar pengaruh masalah yang dihadapi anaknya hingga mampu mengubah penampilan keselurahan anaknya. Ia usap kepala anaknya yang tertutup hijab. Setelah semua cerita tumpah dengan tangis dan sedu sedan yang mengiris jiwa dan raga Khaedar sebagai orang tua, ia tak tahu harus mengatakan apa.

"Yah Bapak tadi sudah mendengar cerita itu dari suamimu sebelum kau sampai, ia tersendat bercerita padaku, dan aku hanya ingin ia segera ke sini, aku ingin tahu tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Saat akad nikah, aku pasrahkan kamu padanya anakku, semuanya, urusan dunia dan akhiratmu, maka jika dia tak menghendakimu lagi, kembalikan padaku dengan cara baik-baik, Bapak tidak gegabah membelamu tapi Bapak sudah mendengar dari dua orang langsung maka besok saat ia ke sini Bapak ingin mempertegas lagi biduk rumah tangga kalian akan dibawa ke mana, anak Bapak Zu dan kau May keduanya menikah dengan cara dijodohkan tapi alhamdulilah rumah tangga Kakakmu baik-baik saja, Kakakmu punya masa lalu tak enak tapi ia bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan normal, sedang Bapak sungguh tak mengerti dengan rumah tanggamu anakku, biacaralah baik-baik dengan suamimu, berusahalah mengalah."

Khaedar berusaha mendinginkan hati anaknya meski ia tahu May keras hati, tapi siapa tahu jika pada suaminya ia akan luluh.

"Hampir tujuh bulan aku berusaha menggapai hatinya Pak, aku berusaha menjadi istri yang mengabdi, semua nasehat Ibu dan Bapak sudah aku laksanakan, tapi peristiwa dua kali itu, ditambah catatan harian Mas Azzam itu seolah telah memperjelas semuanya, bahwa jika dilanjutkan hanya akan menyakiti hati kami masing-masing, jadi jika besok saat Mas Azzam ke sini, jangan panggil aku untuk berhadapan dengannya, hatiku masih perih, aku memang mencintai Mas Azzam, tapi bukan berarti aku bersedia sakit terus-menerus, aku butuh mengistirahatkan pikiran Pak, mengistirahatkan semuanya, sejak kemarin selama perjalan ke Sumenep sebenarnya perutku terasa sakit, mungkin besok sore aku mau ke dokter kandungan, aku tidak mau anakku ikut menanggung rasa sakitku."

Maryam melihat mata Bapaknya yang berkaca-kaca, sejujurnya ia tak ingin membebani hari tua Bapak dan Ibunya. Saat mereka harusnya mengistirahatkan pikiran kini malah terbebani dengan masalahnya. Sebagai seorang penyelia di perusahaan milik negara Bapaknya sempat berpindah tugas beberapa kali dan memutuskan menghabiskan masa pensiun di kampung halaman mereka di Sumenep. Dan kini Maryam melihat jelas kesedihan di mata Bapaknya.

"Tidurlah May ini sudah hampir pukul dua belas malam, Pak Sukri juga sudah aku suruh istirahat karena lepas subuh dia akan kembali ke Surabaya, ingat Nak lepaskan semua bebanmu saat tidur, bacalah doa sebelum tidur."

Maryam hanya mengangguk dan bangkit menuju kamarnya, kamar yang telah lama ia tinggalkan, kamar nyaman sederhana yang hanya berisi kasur, kaca dan meja rias serta satu lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati peninggalan neneknya. Maryam merebahkan diri, sebenarnya sejak tadi ia mengantuk, apalagi setelah melepas kangen dengan Bapaknya ia segera mandi untuk menyegarkan badan, namun saat Bapaknya memanggil dan bertanya duduk persoalan yang membelit rumah tangganya sempat membuat kantuknya hilang. Kini setelah merebahkan diri, wajah suaminya berkelebat lagi, seketika dadanya perih. Rasa cinta yang besar pada suaminya tetap tak mampu meluluhkan hati Maryam, karena ia merasa lelah untuk terus tersakiti. Maryam mengerti jika dengan kehamilannya ia tak bisa serta merta menggugat cerai, ia harus menunggu hingga melahirkan.

Maryam memejamkan matanya mulai berdoa berusaha menenangkan hatinya dan meyakinkan diri bahwa keputusan yang ia ambil sudah bulat, jika sepanjang hidup suaminya hanya diisi bayangan wanita lain, maka ia tak harus bertahan di sisi suaminya lagi.

.
.
.

Zu, Azlan dan ibunya baru saja sampai ke rumah yang ditempati keluarga Althaf, bahkan bayi mereka baru saja diletakkan di babycribe saat pembantu keluarga Althaf memberitahu jika ada tamu.

Azlan bergegas menuju ruang tamu dan menemukan Emir telah duduk menunggu di sana, dan segera berdiri saat Azlan mendekat, mereka bersalaman.

"Mas Emir, silakan duduk, kami baru saja sampai, maaf ya tadi sempat ke rumah sakit apa gimana?" tanya Azlan berbasa-basi meski ia tahu maksud Emir ke rumahnya, tapi Azlan tidak akan ikut campur mengenai masalah yang melibatkan kakak dan adik iparnya serta Isya.

"Yah aku tadi ke sana, ternyata Dik Zu sudah pulang, cepat bener sih, apa sudah benar-benar sehat ibu dan bayinya?" tanya Emir, meski berusaha bersikap wajar Azlan menangkap rasa tak nyaman pada diri Emir.

"Alhamdulillah menurut dokter yang menangani istri dan bayiku keduanya sehat dan dibolehkan pulang, mungkin karena lahir normal kali ya jadi istriku sudah bisa ngapa-ngapain makanya saat dia ingin segera kembali ke rumah ya dokternya ok-ok saja," sahut Azlan.

"Maaf, boleh aku bertemu istrimu? Ada yang ingin aku bicarakan," ujar Emir dan Azlan mengangguk.

"Sebentar ya Mas, aku panggil." Azlan berdiri dan melangkah memanggil istrinya.

.
.
.

Khaedar melihat Maryam yang pagi itu memasak dan segera membersihkan rumah seperti biasa yang ia lakukan sejak gadis bersama kakaknya, Zu. Kilasan masa kecil keduanya bermain dalam ingatan Khaedar, kedua anak gadisnya tumbuh bersama dan saling mendukung, meski sifat keduanya yang bertolak belakang tapi dalam hal apapun keduanya saling mendukung.

"Assalamualaikum ... "

Khaedar tersentak dan lamunannya seketika terhenti. Ia segera beranjak dan melangkah ke teras, saat mendengar salam diucapkan dan kini di depannya berdiri suami Maryam, menantunya dengan wajah yang sulit ia gambarkan, terlihat gugup dan berusaha tersenyum.

"Wa Alaikum salaaam, siakan Nak Azzam mari masuk, kita di ruang tamu saja, jangan di teras karena aku yakin yang akan kita bicarakan hal yang hanya orang tertentu saja yang boleh tahu."

Azzam melangkah mengikuti bapak mertuanya, lalu mereka duduk berhadapan.

"Saya hanya ingin memastikan, apakah Nak Azzam beritikad baik pada anak saya atau tidak. Saya tidak sedang menghakimi Nak Azzam,  saya hanya ingin memastikan anak saya baik-baik saja, apalagi dia sedang hamil, apakah Nak Azzam masih ingat saat mengucapkan akad nikah? Nak Azzam di depan saya berjanji, tidak hanya pada saya tapi juga disaksikan Sang Pencipta dan para malaikat bahwa Nak Azzam telah mengambil alih tanggung jawab Maryam Nidaan Hafiyyah dari pundak saya ke pundak Nak Azzam, baik urusan dunia maupun urusan akhiratnya, jika selama enam bulan lebih menuju bulan ketujuh ini Nak Azzam tak mampu melakukan tugas sebagai suami dengan baik maka kembalikan anak saya pada saya dengan cara baik-baik pula. Pertanyaan saya hanya satu, apakah Nak Azzam masih berniat melanjutkan biduk rumah tangga dengan anak saya?"

Azzam menghela napas ia merasa sesak seketika, ada rasa penyesalan di hatinya,  mengapa masalah jadi serumit ini? Ditambah wajah sedih laki-laki paruh baya di depannya seolah ia makhluk tolol yang telah membuat semuanya berantakan, ingatannya kembali pada ucapan Emir tadi malam yang sangat mengagetkannya karena tiba-tiba datang menemuinya dan mengatakan bahwa Isya tidak akan tertarik pada laki-laki manapun selain dirinya, jika Isya tak mengatakan padanya tentang cincin itu, semuanya karena ketakutan Isya mereka akan terpisah lagi dan Emir sangat memahami ketakutan Isya. Emir hanya meminta Azzam untuk tak menemui dan mencari istrinya lagi. Emir tak ingin ada kesalahpahaman dan mengait-ngaitkan Isya dengan masalah rumah tangga Azzam dan Maryam. Kini di depannya laki-laki paruh baya berwajah sabar telah menunggu jawabannya.

"Nak Azzam bingung atau ragu untuk menjawabnya? Jika demikian memang lebih baik tak usah ..."

"Bukan begitu Pak, maksud saya ... ," Azzam segera menjawab namun tiba-tiba saja ...

"Assalamualaikuuum, pangaporaaaa Pak khaedaaar.." (Assalamualaikum, permisi, Pak Khaedar?"

"Wa alaikum salaaam ... ya siapa?"

"Kaula Paaak , Addul ..." (Saya Pak, Addul)

Dan seketika pembicaraan serius itu terhenti saat tiba-tiba laki-laki tinggi tegap berkulit coklat masuk ke ruang tamu dan menatap Azzam dengan tatapan tajam.

💖💖💖

18 Agustus 2020 (11.19)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top