BKM 1

Cerita ini akan menjadi cerita pendek, sekali duduk bisa selesai dibaca. Oke, selamat membaca, didedikasikan untuk menyemarakkan suasana #SepterorYAID bersama WattpadYoungAdultIndonesia.

◐◑◐◑◐◑


Kala ketemu dedengkot mau ngapain, LO?

A. pingsan.
B. Teriak Histeris.
C. Pura-pura cool padahal badan gemeteran.

Miriam menertawakan teman-teman kacrutnya yang tengah bersenda gurau mengenai dirinya. Ia akui keberadaannya di kampus hanya jadi bahan candaan dan hinaan orang-orang yang sok asyik dengan dunia ghoib, udah ngerasa kalau para setan itu sohib. Miriam menatap miris pada teman-temannya yang membentuk lingkaran di sekelilingnya.

“Iya, gua udah tau mitos itu dari jaman gua SD. Emang masalahnya sama alis botak kenapa?” Miriam protes teman-temannya mulai resek, seakan ia boneka pengundang arwah gentayangan.

“Mir, nenek gua bilang alis botak lo bisa manggil tuyul!” kata Tamara sambil cekikikan. “Coba gosok-gosok jidat lo, nanti mereka datang. Terus lo suruh deh mereka ngepet, duitnya bisa buat nambah biaya nyalon lusa. Biar bisa sulam alis, nanti pas wisuda orang-orang pasti pangling sama lo!”

Miriam menggigit bibirnya sambil tersenyum lebar nan emosional. Namun, ia masih setia bersabar, candaan mereka tidak seberapa, rasanya sudah kebal. Sejak jadi maba sampai sekarang, ia memang kerap dibuli, jadi sudah biasa.

Bagi Miriam, kekurangannya menjadi kelebihan yang tidak orang lain miliki. Ia tenar dengan kekurangannya, walau sewaktu-waktu terasa sekali sakitnya. Akan tetapi, Miriam juga tidak bisa berbuat sesuatu. Wajahnya seperti ketempelan ulat bulu setiap saat mencoba berdandan menggunakan alis. Seperti susah eyescatching, sejak lahir wajahnya polos tanpa alis.

Soal makhluk astral, iya memang betul. Miriam memang terbiasa merasakan hawa mereka. Dari yang terasa dingin di ujung-ujung jari kaki dan tangan, panas di tengkuk dan leher, sampai hawa jahil dimana barang-barang di kamarnya bergerak sendiri, atau suara tangis dan tawa menusuk sayup-sayup ke telinganya, bangku kuliah yang tiba-tiba berderit sendiri padahal kelas masih kosong hingga tangkapan bayangan di cermin. Miriam masih amat sangat bersyukur pada Tuhan, setidaknya ia belum pernah berpapasan langsung dengan mereka, belum pernah ketindihan maupun ketempelan.

“Heh, Dindin punya alis setebal halaman buku absen Pak Idrus tapi kerjaannya setiap saat ketemu Pak Buntung. Jadi, nggak ngaruh mau punya alis atau nggak. Kalau udah waktunya ketemu setan ya ketemu. Lagian, ngapain juga gua harus mancing-mancing ketemu setan. Teman gua setan semua, ‘kan?”

Semua teman-teman Miriam menggebrak meja.

“Dih, Mir. Ucapan lo pedes banget. Gua sumpahin lo ketemu setan beneran.” Gisela menyulut kesal.

“Nggak perlu, jadwal gua penuh. Sebentar lagi nih gua mau ketemu ketua terbangke setan BEM,” ujar Miriam dengan pandangan mata lincahnya.

“Siapa?” Tamara dan Rahena mengernyit bbersamaan.

“Edo lah, siapa lagi orang yang kelakuannya tengil, tukang reboh dan suka manas-manasin suasana BEM kalau bukan si tukang jual mantra palsu itu.”

“Hati-hati lo, nanti doyan.”

“Selagi masih ada my beautiful angel, Jake Moriarty gua nggak akan pernah pindah ke lain hati walaupun si Edo punya mantra penumbuh alis. No to cheating hohoho.” Miriam melengos dari kawanan teman-temannya yang mulai menunjukkan senyum tak kompromi.

Miriam bersenandung ria sambil membenahi bangku studio anak-anak STM atau dikenal juga sebagai Seni, Tekstil dan Miniatur dimana anak-anak yang kuliah di jurusan ini banyak sekali menghabiskan waktu untuk praktik. Meskipun Miriam adalah mahasiswa dari Fakultas Sastra, ia kerap nongkrong sana nongkrong sini bersama anak-anak lintas fakultas. Senandung berubah dari nyanyian kecil yang merdu bukan main.

Miriam menoleh saat suara kaleng jauh di pojok studio membuatnya diam sejenak. Ludahnya turun begitu saja di tenggorokan. Bola matanya bergulir dengan santai. “Gua tau kok, udahlah yang penting udah diberesin nggak ada sampah lagi,” kata gadis itu komat-kamit.

Kalau boleh jujur tujuh turunan, Miriam itu orangnya gampang banget merinding dan tingkat takutnya sudah parahlah, nyaris tak ada-ada pun bulu-bulu tubuhnya kabur. Hanya saja sejak dibiasakan dengan kemampuannya mendeteksi keberadaan para sohib kawan-kawannya, Miriam tidak lagi sepenakut itu. Ia mulai biasa dan tak pernah ambil pusing soal apa saja yang rasakannya, didengarkannya atau sesekali mendapati bayangan hitam di cermin. Selagi benar-benar tidak nongol depan mata, Miriam pikir she's fine with them.

“Gua nggak perlu takut, cuma kaleng doang. Abis pintunya terbuka jadi kena angin kali.” Miriam pikir ocehannya begitu jitu menenangkan perasaannya yang tiba-tiba berdebar.

“Lagi ngobrol sama siapa? Lengket banget kelihatannya?”

Dua baris kalimat tanya itu membuat Miriam melotot. Suaranya begitu lembut bukan main, gadis itu buru-buru membalik tubuhnya sambil dengan kalang kabut merapikan rambutnya juga poni jarang-jarang yang menghiasi dahi lebarnya.

“Jake, ya ampun Jake, kamu bikin aku serangan jantung.” Miriam tertawa renyah sembari memainkan tangannya di pelipis.

“Aku lihat kamu sedang bersih-bersih, kupikir bersama Edo ternyata—” Laki-laki percampuran Inggris-Kuba dengan sedikit darah Banten itu memilin bibirnya bimbang.

“Kita bahas soal rencana wisuda nanti, yuk?!” Jake menarik tangan Miriam dengan lembut.

Bombastis rasanya, Miriam pikir Jake tidak benar-benar menerima radar cinta darinya. Selama hampir empat tahun menahan cinta, rupanya Jake peka juga. Jake melirik Miriam yang bogel dari sisinya, tidak masuk kategori standar gadis nasional. Ia mungil tetapi manis sekali seperti anak marmut. Jake menarik tas yang Miriam gendong di punggungnya.

“Cape, ya? Aku bawain aja. Biar kamu bisa menikmati udara segar sore ini. Mahasiswa peraih medali emas olimpiade anggar nggak boleh kelelahan. Nanti kan harus pidato,” kata Jake sambil menggodanya.

Keduanya berjalan sambil sesekali bercanda. Anak tangga menuju ruang perbendaharaan BEM tampak temaram. Barangkali karena memang lorong ke tiga di lantai tiga menuju empat ini kurang banyak digunakan sebagai sarana prasarana kampus. Sudah karena diberitakan angker, bau busuk selalu menyapa entah dari mata. Jake bilang, ada beberapa kematian aneh di sini. Dari adanya bangkai kucing dan tikus, ada potongan kuku berdarah dan rambut merah tua, banyak hal aneh lagi pokoknya. Salah satunya seperti hari ini, lantainya becek air pel berwarna cokelat.

“Apa Jake?” tanya Miriam sambil menoleh ke kanan, tetapi ia menyadari bahwa Jake ada di sebelah kirinya dan sedang sibuk membenahi tali sepatunya bahkan ia belum naik ke tangga.

Jake mendongak. “Apa yang apa, Mir?” balas Jake dengan heran.

“Aku pikir kamu bilang sesuatu ternyata hape aku bunyi,” sahut Miriam sambil merogoh saku celananya.

Damn, padahal gua pikir si Jake yang nyentil kuping gua. Taunya angin. Mana udah baper lagi!

“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Jake menatap sendu. “Nggak ada yang aneh sama kamu hari ini, ‘kan, Mir? Aku harap candaan soal alismu nggak bikin kamu sedih.”

“Emang kenapa, Jake?”

“Lupain aja. Aku harap kamu nggak melakukan apa pun yang teman-teman kamu katakan. Kamu cantik, Mir.”

Miriam ingin heboh. Namun, ia baru saja ingat kalau Jake itu seorang yang indigo. Bahkan ia menjadi ketua klub pecinta setan di sekolah. Ia juga pandai melihat hal-hal kasat mata, lebih jago lagi baca gerak-gerik dan bahasa tubuh orang karena dia anak psikologi yang double degree dengan kriminologi juga. Miriam tidak mau bertanya apa yang dilihatnya. Saat ini saja kakinya sudah gemetaran karena merasakan ada sesuatu yang menggelitik betisnya.

Persetan dengan ruang rapat BEM mana sering banget ada suara orang lagi siul-siulan. Miriam memakinya.

☘️☘️

Selepas bercakap-cakap dengan Jake, Edo dan beberapa anak BEM yang tidak pernah kondusif keadaannya, Miriam pikir ia bersimbah keringat meski hujan tiba-tiba mengguyur kawasan pusat kota. Hanya super duper panas sekali, ditambah Jake ikutan-ikutan membuat anak-anak jadi heboh. Katanya, ia baru saja bercengkrama dengan dedengkot lulusan sepuluh tahun silam yang kecelakaan mobil tepat di pagi hari waktu wisudanya. Hingga saat ini dia masih penasaran rasanya wisuda.

Elah, cuma wisuda. Kalau bisa mungkin gua mau skip aja. Nilai gua juga nggak bagus-bagus amat. Miriam ngedumel dalam hatinya sambil mengamati sekelilingnya. Figura berisi foto presiden Indonesia tampak menarik atensinya. Kedua bola mata Miriam tak mau berpaling dari sana, sampai ia akhirnya memutar kepala dengan cepat ke arah Jake.

“Emang sebanyak apa makhluk kasat mata yang kamu lihat? Apa itu setara sama ketebalan alismu? Harusnya kalau demikian, aku nggak harus melihatnya, bukan?” kata Miriam saat telinganya mulai terbiasa dengan obrolan Jake tentang hantu di kampus.

“Melihat hantu itu bukan masalah tebal tipisnya alis. Itu masalah beruntung atau nggak. Karena aku pikir, penglihatan ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.”

Miriam menghela napasnya, ia merasa bersyukur atas apa yang jadi miliknya. Jake yang pemberani saja mengeluh kalau itu bukan suatu keberuntungan baginya.

*****

Banjir keringat di malam hari sudah biasa bagi Miriam, bedanya kali ini dengan perasaan gelisah yang mencekam. Dari bawah kasurnya seakan terasa ada sesuatu yang bergerak, menarik-narik pikirannya untuk bangun dan memastikan kalau itu bukan kerjaan tikus. Sialnya, kedua bola matanya seakan-akan ditutupi kabut hitam, padahal ia tak memakai penutup mata untuk tidur malam ini. Ia juga mematikan lampunya, jadi harusnya semua tampak gelap.

Miriam bangkit dari tempatnya berbaring, berjalan setengah sadar menuju saklar sambil membuka kelopak matanya. Radar mengatakan ini sudah pagi, sebab suara ayam berkokok terdengar jelas di telinganya. Miriam melengos ke arah kamar mandi. Dalam waktu dua jam ia harus mampu bersiap, hari ini adalah hari terakhirnya di kampus dan besok tidak akan pernah datang lagi ke sana, apalagi beramit-amit setiap saat agar tidak berpapasan dengan sosok setan tanpa kepala.

Jam menunjukkan pukul delapan, acara akan dimulai pukul setelah sembilan. Dengan kerja kerasnya berdandan, Miriam pergi bersama Marsel, abangnya yang kini menjelma pengangguran selepas sarjana. Marsel beberapa kali memuji adiknya yang tampil cantik dengan kebaya modis berwarna mint, keduanya asyik bersandar gurau sampai tiba di kampus.

“Selamat bersenang-senang, Mir. Jangan terlalu heboh goyang, nanti lupa pulang lagi.”

“Nggaklah, ini di kampus. Acaranya dibatasi.” Miriam melengos pergi begitu saja. Ia bergegas ke aula yang sudah diisi banyak mahasiswa dan orang tuanya. Karena kedua orang tua Miriam sedang ada acara ke Parma, jadi di hari istimewa ini dia hanya datang seorang diri. Keberadaan Marsel pun lebih baik tidak ada.

Sepasang sepatu hitam berkilau membuat Miriam tersenyum manja. Tubuh tinggi tegap dibalut jas hitam bersembunyi di balik pilar kampus. Miriam berlari kecil menghampirinya. “Jaks—sorry, kirain Jake!” kata Miriam saat berpapasan dengan pemuda di balik pilar tersbeut.

Dengan langkah kaki buru-buru Miriam menyusuri lorong ke arah aula, yang anehnya entah kenapa ia merasa jaraknya benar-benar jauh. Miriam mengembuskan napasnya. Ia berusaha keras untuk menahan keringatnya. Sayang seribu sayang ia malah merasakan gerah yang dahsyat, kakinya bergetar hebat saat pintu aula menyambutnya, ia kesusahan mencari tempatnya duduk. Miriam mendengkus kesal.

“Nggak ada yang salah sama hari ini. Lo pasti bisa melaluinya dengan lancar.” Miriam menyemangati dirinya.

Satu demi satu acara bergantian, pengumuman mahasiswa peraih nilai tertinggi berlangsung. Hingga tiba pada nama Miriam Rachael dipanggil. Miriam pun berjalan dengan anggun menuju podium, keringat kontras membanjiri wajahnya, kakinya tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan sebab kain tenun yang mencetak kakinya susah digerakan saat ia hendak naik tangga.

Bruk!!

Dingin menyergap, rasanya seperti berkubang di atas air yang lengket dan berbau anyir. Nyaris seperti aroma ruang rapat BEM.

“Miriam, Miriam?”

Namanya dipanggil berulang kali. Aroma minyak angin menyeruak seluruh inderanya, bahkan terasa seperti mencekiknya. Miriam mulai membuka matanya, setitik cahaya menyapa.

Titik itu hilang.

“Wajah Miriam pucat banget, tubuhnya mengalami penurunan suhu yang drastis. Kita bawa aja ke klik kampus.”

Semua orang setuju pada ucapan heroik Edo, yang sejak Miriam terjerembab dari tangga hingga dua kali tak sadarkan diri masih terlihat khawatir. Beberapa teman termasuk Jake dan Edo berbondong-bondong membawa Miriam ke klinik. Sementara acara di aula masih berlangsung dengan khidmat.

Dua jam berlalu, Miriam membuka matanya. Ia ingin mengeluh, sayangnya mulut gadis itu terkunci. Ia hanya mampu memilih bibir keringnya, matanya berkaca-kaca saat ia sadar bahwa dirinya tidak lagi berada di aula.

Edo mendekati tempat berbaring Miriam sambil menatap tajam. “Lo kenapa sampai bisa pingsan dan teriak kejer di podium?” tanya Edo tidak kompromi.

“Gua? Gua pingsan? Teriak kejer?!” Miriam tampak gelisah. “Lo salah kali!” Miriam turun dari tempatnya berbaring. Ia melengos begitu saja meninggalkan Edo yang menatapnya seperti seorang bertatap muka dengan musuh.

Miriam berjalan dengan ketus, ia masih bertanya-tanya apakah benar ucapan Edo. Kalau iya, apa yang sebenarnya terjadi. Miriam berjalan sambil menunduk merutuki kebodohannya, ia benar-benar tidak pernah menyangka kalau ia akan kehilangan kesadaran di depan orang-orang dan ini acara paling sakral dalam hidupnya.

Bukk!!

Kepala Miriam terpentok sebuah punggung yang begitu kokok nan lebar dengan dibalut jas hitam, tubuhnya tinggi tegap, kakinya pun terlihat begitu kuat. Miriam tersungkur ke belakang dengan tangan tertumpuk ke tanah.

“Jake, lagi-lagi aku memikirkanmu ….” Miriam mengembuskan napasnya sambil tersenyum getir. Matanya gemetaran saat aroma parfum pemuda yang disukainya itu terbawa angin. Derap langkah kaki membuatnya bangkit. “Iya, hari ini kamu sukses membuat aku pingsan dua kali. Selamat.”

Miriam tertawa dengan renyah, suaranya beradu dengan suara ringkih yang parau. “Jake, aku pikir kamu Jake!” katanya sambil gemetaran, tak lagi sanggup menahan kakinya. Sayup-sayup terdengar suara gemuruh dari sekitarnya, Miriam tak mampu menegakkan kepalanya. Ia masih setia sesegukan, tubuh dan kepalanya sudah tidak bisa lagi protes dengan apa yang baru saja dialaminya.

Sial! Akhirnya gua dengar dia bilang, i got you, kids.

“Miriam?!” panggil Jake yang berlari dengan lambaian tangan tulusnya. “Kamu udah sadar, toh?!” tanya Jake lembut. “Aku harap kamu nggak melihat apa pun ya di podium. Karena, Rena bilang dia baru aja melihat sosok alumnus yang kepalanya buntung itu.”

Miriam tersenyum gemetaran. Ia mengangguk pelan.

“Kamu pingsan karena apa? Belum sarapan, ya?”

Miriam mengangguk lemah.

Iya, gua belum sarapan nasi goreng dua piring. Masa iya gua harus bilang kalau pagi tadi gua kaget karena papasan sama orang yang lagi nyandar di pilar sambi mengelus-elus kepala di tangannya. Dan tadi, tepat di balik punggung Pak Rektor gua lihat lagi orang itu berdiri sambil menteng kepalanya. Dan barusan, shit, beneran takut gua nggak sengaja nabrak punggungnya sampai bikin kepala dia jatuh tepat di kaki gua. Masa iya gua bilang sama lo, jelas-jelas tuh orang ada di belakang lo sambil bilang, selamat wisuda.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top