6

"Aaaa!! Turun kalian dari kasur Aa!!"

Alya yang mendengar teriakan itu hanya menggelengkan kepalanya. Sudah biasa jika setiap pagi pasti akan ada teriakan yang memenuhi seluruh ruangan di kontrakan kecilnya.

"Teteh, kenapa biarin dua krucil ini masuk kamar Agung sih!" Agung keluar dari kamarnya dengan dua anak kecil yang bergelayutan di kaki dan pundaknya.

Alya yang sedang menyiapkan sarapan pun menolehkan kepalanya. Ya, yang berteriak tadi adalah Agung, orang yang memergoki aksi kaburnya.

....

Puk!

Saat Alya sudah berada di depan pintu dan tangannya hendak membuka kunci pintu tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang.

Ya Allah aku ketahuan ....

"A-Agung?" orang yang menepuk Alya adalah Agung.

"Kak Alya mau kemana? Bawa-bawa tas malam-malam gini?" tanya Agung curiga saat melihat Alya.

Agung yang akan mengambil minum karena merasa tenggorokannya kering keluar dari kamarnya menuju dapur. Saat akan keluar dari kamar, dirinya melihat Alya yang berjalan mengendap-endap dan membawa tas yang terlihat penuh oleh isinya.

Alya menjadi panik karena aksi kaburnya ketahuan oleh remaja yang sudah dia anggap adik sendiri itu.

"Agung Kakak mau pergi." jawab Alya sepelan mungkin.

"HAH! MAU PERGI?!" jawab Agung dengan suara nyaring.

Agung sangat kaget mendengar ucapan Alya.

"Ssssttt ... Agung. Pelanin suara kamu," Alya menempelkan jari telunjuknya pada mulutnya sendiri. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri.

"Kak Alya mau pergi kemana? Kenapa pergi?" tanya Agung dengan suara yang ikut di pelankan.

"Maafin Kakak, Gung, Kakak udah bikin kalian kecewa," rasanya Alya ingin menangis saat ini.

"Emang kak Al habis ngapain? Nilainya kak Al jelek?" tanya Agung polos.

"Kamu nggak ngerti Gung," jawab Alya. Kakak udah bikin malu Panti ini dan bikin kecewa kalian semua. lanjutnya dalam hati. Air mata Alya pun turun tanpa bisa ia cegah.

"Kak Al kenapa nangis?" panik Agung melihat Alya yang menagis tertahan karena mulutnya ditutup oleh tangan Alya sendiri.

"Maaf Gung, Kakak harus pergi!" Alya tidak menjawab pertanyaan Agung. Dirinya kembali membuka kunci pintu.

Agung yang melihat itu langsung menahan tangan Alya, menggenggamnya dengat erat. Kepalanya menggeleng tidak setuju dengan tindakan Alya ini.

"Jangan pergi Kak!" cegah Agung.

"Tapi Kakak harus pergi, Gung!" Alya mencoba melepaskan tangannya yang dipegang erat oleh Agung.

Dengan tenaga yang tidak seberapa, Alya terus berusaha melepas genggaman tangan Agung. Tubuhnya yang kecil dari tubuh Agung menambah mempersulit Alya dan itu semakin membuat air mata Alya turun dengan deras.

Agung yang melihat air mata Alya semakin turun dengan deras membuat dirinya melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Alya, dirinya menghela napas dalam.

"Kalau kak Al pergi, Agung juga ikut," kata Agung menatap Alya dalam.

Alya yang mendengar ucapan Agung langsung menggelengkan kepalanya kuat.

"Jangan Gung, kamu di sini aja." tolak Alya.

"Pokoknya Agung ikut! Kalau nggak, kak Al juga nggak boleh pergi!" paksa Agung, "kak Al adalah orang pertama yang nemuin Agung. Sejak Agung lihat kak Al, Agung udah anggap kak Al kakak Agung sendiri. Agung nggak mau pisah sama kak Al! Izinin Agung ikut kak Al, Agung bakal jagain kak Al!" tutur Agung memohon kepada Alya agar dirinya juga boleh ikut Alya untuk pergi.

Alya yang mendengar penuturan Agung langsung memeluk tubuh Agung. Dirinya yang hanya sebahu Agung menyembunyikan kepalanya di dada bidang Agung. Alya menangis terharu dengan apa yang Agung ucapakan. Tidak menyangka jika anak yang ia temukan tiga tahun lalu itu sangat menyayanginya bahkan rela untuk ikut pergi bersamanya yang belum tahu akan kemana tujuannya.

Sreet!

Agung merebut tas yang di pegang Alya, membawanya masuk ke kamarnya. Alya tentu saja kaget karena tasnya di rebut Agung dan di bawa masuk ke kamar Agung.

"Tas Kakak mau di ap—" ucapan Alya terpotong.

"Agung mau ambil baju-baju Agung dulu, tas kak Al," Agung menyampirkan tas Alya di pundaknya. "Agung bawa, nanti kak Al pergi lagi ninggalin Agung, pas Agung ngambil baju di kamar." setelah mengucapkan itu, Agung masuk ke kamarnya.

....

"Kita mau ke mana Kak?" tanya Agung pada Alya yang sedang duduk di Halte Bis.

Sekarang mereka berada di terminal bis, Alya sendiri bingung mau kemana. Karena jujur saja, Alya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali orang panti yang ia kenal.

"Kakak juga nggak tau Gung," Alya menggeleng lemah kepalanya ia tundukan.

"Kita tidur di sini dulu ya Kak, biar Agung yang jaga kak Al, kak Al tidur aja." Agung yang melihat Alya nampak kelelahan menjadi tidak tega.

"Makasih Gung, kamu udah mau jaga Kakak," ucap Alya tulus dirinya kembali menangis.

Anak yang ia temui tiga tahun lalu itu, yang kini mengikutinya pergi, rela meninggalkan Panti dan mau menjaganya. Itu benar-benar membuat Alya sangat bersyukur, karena dirinya masih mempunyai orang-orang yang sangat peduli padanya.

"Kok, nangis lagi sih Kak?" Agung menghapus air mata Alya pelan.

"Kakak senang kamu mau jagain Kakak, makasih Gung."

"Iya Kak, Agung juga senang Kakak mau ajak Agung,"

"Gung..., Kakak mau kasih tahu kamu sesuatu. Tapi kamu jangan marah dan kaget ya?" setelah tangisnya reda, Alya mengeluarkan suaranya kembali.

"Agung masih muda Kak, jadi nggak akan kena serangan jantung," jawab Agung sambil bercanda.

"Kakak hamil, Gung." Alya mengucapkannya dengan sangat pelan hampir tak terdengar malah.

Tapi pendengaran Agung yang tajam bisa menangkap suara Alya yang sangat pelan itu. Ditatapnya perempuan yang sudah ia anggap kakak sendiri itu dengan pandangan yang sulit di artikan. Sedangan Alya, ia yang ditatap Agung seperti itu hanya menundukan kepalanya.

Alya takut jika Agung akan pergi dan kembali ke Panti. Memberi tahukan pada Ibu Rose dan seluruh penghuni Panti. Air matanya yang tadi sudah berhenti keluar kini langsung keluar denga lancarnya dan Alya kembali terisak.

"Siapa ...? Siapa yang udah hamilin kak Al?!" tanya Agung dengan nada di tekan.

Agung merasa dirinya telah gagal untuk menjaga kakaknya.

Janjinya dulu ketika saat pertama melihat Alya, dirinya menemukan sosok ibu pada diri Alya. Maka dari situ, Agung akan menjaga dan melindungi Alya. Tapi apa yang ia dengar membuat janji yang ia buat sendiri menjadi tidak berguna saat mengetahui perempuan yang ia anggap kakaknya itu telah di nodai oleh orang yang ingin sekali Agung habisi saat ini juga.

"Maaf." hanya gelengan kepala yang Alya lakukan.

"Siapa Kak?! Biar Agung hajar cowok brengsek itu!" tangan Agung sudah terkepal, emosi dan jiwa mudanya tidak bisa ia tahan.

"Orangnya nggak mau tanggung jawab, Gung. Dia suruh Kakak gugurin kandungan Kakak." pecah sudah tangis Alya ketika mengucapkan kalimat yang menyakitkan hatinya itu.

Agung yang mendengar penuturan Alya seketika memukul tembok yang ada di belakangnya, emosinya tidak bisa ia tahan lagi. Laki-laki macam apa yang tega menyuruh mengggugurkan darah dagingnya sendiri? Sungguh biadap laki-laki itu!

Dipeluknya tubuh Alya dengan erat. Agung bisa merasakan betapa sakitnya hati Alya yang menerima penolakan dari laki-laki yang sudah membuat kakaknya menjadi putus asa begini.

"Ada Agung Kak, kita besarin anak kak Al. Kita rawat anak kak Al sama-sama," kata Agung mencoba memberi kekuatan pada Alya.

"Makasih Gung. Makasih ... maaf Kakak udah bikin kecewa." Lirih Alya disela isak tangisnya. Tubuhnya yang tenggelam dipelukan Agung membuat suaranya terjepit di dada bidang Agung.

"Uhhh ... Kakak bikin baju Agung basah tuh, sama ingus Kakak. Jorok ihh!" Agung membuat wajahnya seakan terlihat kesal. Dirinya tak mau Alya menagis terlalu lama.

"Hehehe ... habisnya baju kamu enak buat di jadiin lap, cepat meresap," kekeh Alya walau masih terisak.

"Isss ... dasar, emang baju Agung pembalut apa!" dengus Agung, "Dedek yang sehat ya di dalam, cepat keluar. Nanti kita main sama-sama," ucap Agung mengelus perut rata Alya.

Alya yang melihat tingkah Agung tersenyum, dirinya ikut mengelus perutnya "Masih lama Gung, lahirnya,"

"Emang baru berapa bulan Kak?" tanya Agung masih mengelus perut Alya.

"Baru juga jalan sebulan," tiba-tiba Alya murung kembali.

Delapan bulan lagi kamu lahir nak, Bunda udah gak sabar nunggu kamu. Kita pasti bisa lewati ini. Batin Alya.

"Kak ... kenapa?" Agung melihat Alya kembali sedih.

"Nggak papa kok, nanti kalau dedeknya lahir, Agung yang azanin ya?" siapa lagi yang akan mengazani anaknya jika bukan Agung? Ayahnya tidak mau menerima kehadirannya, bukan?

"Pasti Kak, suara Agung kan bagus. Pasti dedeknya juga keenakan dengar suara Agung," bangga Agung pada dirinya sendiri.

"Iya, suara kamu memang bagus," suara Agung memang bagus apalagi ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Suaranya seperti menyamai suara Qori'.

Alya bersyukur Agung ikut dengannya. Dirinya kira, Agung akan marah dan meninggalkannya ketika tahu yang sebenarnya. Tapi tidak, Agung malah membuat Alya semakin kuat untuk meneruskan hidupnya.

Tumbuh dengan sehat sayang Bunda dan kak Agung menyayangi mu.

...

"Kita ke Bandung aja yuk, Gung?" ucap Alya yang bersender di pundak Agung.

"Agung ikut ke mana aja, asal sama kak Al. Tapi di Bandung ada orang yang Kakak kenal?" jawab Agung di sela kantuknya.

Alya mengangkat kepalanya dari pundak Agung, menatap remaja yang berbeda usia dua tahun darinya itu dengan iba. Tampak Agung yang mengantuk dan kelelahan.

"Maaf ya, pasti kamu capek ngikutin Kakak," Alya mengusap kepala Agung pelan.

"Kak Al kok ngomong gitu sih!" Agung menegakan tubuhnya. Dirinya tidak suka dengan sikap Alya yang merasa terbebani dengan adanya dirinya.

Merasa nada bicara Agung yang mulai terdengar tidak suka akan ucapannya itu, buru-buru Alya mencoba mencari jawaban yang bisa membuat Agung tak marah lagi padanya.

"Emm ... ki- kita ke tempat teman Kakak aja yuk?" Alya terbata bagaimana pun dirinya tak mau Agung marah padanya. Membuatnya kecewa saja sudah membuat Alya kehilangan muka, apalagi sampai Agung marah.

"Kak Al punya teman di Bandung?" suara Agung pun tak seperti tadi lagi, kini suaranya terdengar lembut.

"Iya, dulu Kakak kan pernah PKL di Bandung, jadi Kakak punya teman di sana," jelas Alya. Dirinya memang mempunyai teman di kota Kembang itu, tapi entah temannya itu ingat atau tidak pada dirinya

"Ya udah kita kesan sekarang Kak," Agung merapikan barang-barang mereka.

"Eh! Sekarang Gung? Nggak nanti aja? Ini masih malam," kaget Alya atas spontanitas Agung.

"Malam apanya Kak? Ini tuh udah jam empat pagi. Bentar lagi subuh, kita berangkat habis subuh aja, jarak ke sana kan palingan dua jam-an jadi kita bisa cepat ketemu teman Kakak." ujar Agung panjang lebar, dan Alya hanya pasrah mendengar ucapan Agung. Masalah temannya nanti saja ia pikirkan kalau sudah sampai di Bandung.

...

"Alyaaaa ...!" jerit seorang gadis dengan suara cempreng.

Mereka kini sudah berada di Bandung, dan saat Alya menghubungi temannya ternyata nomor temannya masih aktif dan temannya sangat senang ketika mengetahui Alya akan datang ke kotanya. Alya memberitahunya jika ia berada di terminal pemberhentian bus menunggu kedatangannya.

"Ya ampuuuun ... kangen pisan euuy!" gadis itu memeluk Alya erat, "Kamu teh nggak ngabrin aku dulu kalau mau ke sini?" kata gadis itu dengan aksen sundanya.

"Maaf Kin, aku juga mendadak," balas Alya setelah pelukan mereka terlepas.

"Gak apa-apa kok. Ya udah yuk, kita ke rumah aku aja," ajak gadis itu yang bernama Kinan menarik tangan Alya.

"Ekhem! Main seret anak orang aja sih Kak!" Agung yang sedari tadi diacuhkan mambuka suaranya.

Mata Kinan seketika membulat, melihat laki-laki bule yang sangat tampan dan tinggi berdiri di sebelah Alya.

"Ari ini teh saha, Al? Meuni kasep pisan. Bule ya? Eh, tapi kok bisa bahasa Indonesia sih? Apa jangan-jangan turis ke sasar?" cerocos Kinan yang tampak heboh melihat bule langsung di depan matanya.

"Ini adik aku, Kin, namanya Agung," Alya terkekeh melihat sahabatnya itu.

"Haaa ...! Adik kamu Al? Kok bisa bule? Kamu sendiri teh pribumi?" Kinan yang mendengar penuturan Alya tidak percaya.

"Ya bisa lah! Namanya juga kehendak yang di atas!" Agung menjawab dengan ketus. Sedari tadi dirinya berdiri membawa dua tas besar dan dirinya sunggung sangat lelah.

"Euuhh ... Judes pisan nya' si bule iyeu?" Kinan terkekeh melihat bule sewot di depannya. Lucu.

"Bodo!" balas Agung tambah sewot.

"Agung jangan gitu. Maaf ya Kin, dia emang gitu," Alya merasa tidak enak.

"Santai atuh Al, ya udah yuk kita ke rumah aku," ajak Kinan pada Alya dan Agung.

....

"Gimana Al? Suka nggak?" tanya Kinan.

"Suka Kin, tempatnya juga besih," jawab Alya memperhatikan setiap sudut ruangan.

"Ambil yang ini aja Kak. Agung nyaman sama tempat ini." timpal Agung yang sedang melihat sebuah kamar.

Saat ini mereka sedang melihat-lihat sebuah kontrakan yang ditunjukan Kinan. Memang bukan kontrakan mewah, melainkan sebuah rumah kecil dengan hanya dua kamar, kamar mandi dan dapur yang berada di ruangan yang sama juga ruang tamu yang jadi satu dengan ruang tivi.

"Ya udah aku ambil yang ini Kin, ini uang buat tiga bulan kedepan." Alya menyerahkan uang pada Kinan. Uang hasil tabungannya selama ia menjadi pelayan cafe.

"Ya udah, nanti aku kasih tau wak Gus, kalau kamu teh ambil rumah ini." Kinan menerima uang Alya. Kontrakan yang Alya akan tempati adalah milik pamannya Kinan jadi kinan yang mewakili menerima uang Alya.

Kita akan mulai semuanya dari awal sayang. Hanya kita, kamu bunda dan Agung kita akan bahagia.

...

"Teh ... Teteh!" panggil Agung.

"Apa sih Gung, kamu kok suka banget teriak-teriak?" kesal Alya.

Semenjak mereka menatap di Bandung panggilan Agung pada Alya pun berubah. Agung tidak lagi memanggil Alya dengan kak Al. tapi mengganti nya denga teteh. mengikuti kebiasaan orang Bandung. dan Agung yang di panggil aa oleh anak yang lebih muda dari Agung.

"Illa jangan rusak topi Aa!" teriak Agung melihat topi kertasnya diremas-remas oleh anak Alya.

Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Sudah lima tahun dan tidak terasa mereka sudah sebesar itu.

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top