4


Alya keluar dari Cafe yang menjadi tempat favoritnya dan Arlan. Dengan linangan air mata yang membasahi pipinya Alya terus berjalan. Sesekali ia menghapus air matanya dengan kasar. Tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitarnya yang melihat dengan pandangan aneh.

Seakan langit tahu apa yang dirasakan Alya, hujan turun mengguyur kota dengan derasnya. Dan Alya yang memang tidak ada niat berteduh membiarkan dirinya basah terkena air hujan. Seakan hujan mewakilinya merasakan rasa sakit yang sangat amat pada hatinya. Membiarkan air matanya turun bercampur dengan air hujan yang membuat Alya semakin menjadi terisak oleh tangisnya yang tersamarkan dengan suara hujan.

Dengan langkah gontai Alya sampai di Pantinya. Dengan tubuh yang basah dan badan gemetar Alya mencoba mengetuk pintu dengan pelan karena Alya yang merakasan tubuhnya lemas luar biasa.

Pintu Panti terbuka. Dan alangkah terkejutnya ibu Rose saat melihat penampilan Alya yang sangat memprihatinkan.

"Ya Allah, Alya!" seru ibu Rose kaget.

"Ibu ...."

Tiba-tiba pandangan Alya menjadi gelap dan tubuhnya hampir saja jatuh jika tidak ditahan oleh ibu Rose.

"Astagfirullah ... Alya! Kamu kenapa nak!?" panik ibu Rose sambil menahan tubuh Alya.

"Rini...! Rini...!" panggil ibu Rose berteriak.

"Iya Bu, ad- ya Allah, Alya!"

Rini datang dari arah belakang dan betapa terkejutnya ia melihat sahabatnya yang pingsan di dalam dekapan ibu Rose.

"Alya kenapa Bu?" tanya Rini membantu ibu Rose memapah Alya.

"Ibu juga nggak tau, tiba-tiba Alya pingsan!" jelas ibu Rose sangat khawatir.

"Kak Alya kenapa Bu?" tanya salah satu anak Panti yang melihat ibu Rose dan Rini memapah Alya.

"Alya pingsan Gung." sahut Rini.

Agung nama anak itu segera menghampiri mereka.

"Sini, biar Agung aja yang bawa kak Alya, Ibu bukain aja pintu kamarnya kak Alya," Agung mengambil alih tubuh Alya dari ibu Rose dan Rini.

Tubuh Agung hampir sama dengan tubuh Arlan, tinggi besar walau usianya masih lima belas tahun. Namun dari perawakannya yang seperti campuran orang Barat itu, tidak heran jika tubuhnya bisa tinggi dan besar seperti itu.

Agung adalah anak yang ditemukan Alya tiga tahun lalu saat dirinya tengah menyapu halaman Panti. Entah apa motif orang tuanya hingga tega membuang Agung yang tampan di depan Panti Alya. Dengan berbekal nama dan beberapa baju, Agung ditinggalkan begitu saja di tempat yang asing baginya dengan kondisi memprihatin kan.

Maka dari itu Agung sangat mengkhawatir kan keadaan Alya yang terlihat sangat tidak baik.

"Hati-hati Gung," ibu Rose membantu memegangi kepala Alya.

"Kak Alya kok bisa gini sih, Bu?" tanya Agung penasaran dengan keadaan Alya.

"Ibu juga nggak tau Gung, tiba-tiba aja Alya pingsan saat Ibu buka pintu tadi," ucap ibu Rose sambil mengusap kening Alya sayang.

"Ini Bu, air kompresannya." Rini datang dengan membawa baskom berisi air hangat untuk mengompres Alya.

"Agung, kamu keluar dulu ya. Alya mau Ibu gantiin baju dulu,"

Perintah ibu Rose saat akan mengganti baju Alya. Dan Agung hanya mengangguk lalu pergi keluar dan menutup pintu pelan.

...

Perlahan mata Alya mulai membuka, Alya mengerjapkan matanya sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.

Alya berusaha untuk duduk.

"Alhamdullialah ... Alya, kamu sudah sadar juga nak," ibu Rose yang baru datang setelah mengganti air kompresan Alya mengucap syukur.

"Alya kenapa Bu?" tanya Alya bingung.

Dirinya belum mengingat apa yang telah terjadi padanya.

"Kamu tadi pingsan Alya, tubuh kamu juga basah kuyup, kamu hujan-hujanan ya?" jawab ibu Rose sembari membantu Alya untuk duduk.

"Aku? Pingsan?" tanya Alya pada dirinya sendiri.

Arlan a-aku ha-mil

Bagaimana bisa?

Aku belum siap menjadi ayah.

Gugurkan Alya,

Gugurkan yang ada di dalam perut kamu itu!

Ambil ini,

Aku nggak akan pernah menyesal kamu tau siapa aku, Alya.

Dan seketika ingatan Alya kembali.

Sepenuhnya dia ingat bagaimana penolakan Arlan terhadap anaknya. Reaksinya yang kentara tidak menginginkan bayinya tumbuh. Menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya.

Air mata Alya pun turun dengan deras sambil menggelengkan kepalanya. Alya menatap ibu Rose yang menatapnya juga dengan tatapan bingung. Tiba-tiba saja Alya memeluk ibu Rose dengan erat.

Alya menangis sejadi jadinya.

"Maafin Alya Bu ... maaf." masih memeluk Ibu Rose, Alya mengucapkan kata maaf.

"Alya, kamu kenapa nak? Kenapa menangis?" bingung ibu Rose.

Ibu Rose mengelus pundak Alya lembut, dirinya pun bisa merasakan apa yang dirasakan Alya lewat pelukan Alya yang sangat erat.

"Maaf, maafin Alya, Bu." hanya itu yang bisa Alya ucapakan.

"Alya bilang sama Ibu, kamu kenapa?" ibu Rose mencoba mengurai pelukannya pada Alya.

Dengan terpaksa Alya melepaskan pelukannya, masih sambil terisak. Air matanya masih keluar tapi tidak sederas sebelumnya. Alya menatap ibu Rose dengan pandangan yang sulit diartikan oleh ibu Rose.

Bagaimana jika ibu tau kalau aku hamil, pasti ibu sangat kecewa padaku. Bagaiman dengan Panti ini? Jika salah satu anaknya ada yang hamil diluar nikah. Pasti nggak ada yang akan menyumbangkan dana lagi untuk Panti ini?

Memikirkan itu, membuat Alya kembali menangis. Dirinya tidak sanggup jika apa yang dipikirkannya itu terjadi.

Cukup dirinya saja yang menanggung dosa akibat perbuatannya, jangan sampai berimbas pada Panti yang telah menjadi surga keduanya itu. Dan mengecewakan ibu Rose dan sahabat serta anak-anak Panti.

Alya benar benar tidak mau itu terjadi.

Ibu Rose yang melihat Alya kembali menagis tersedu-sedu semakin menjadi panik. Apa yang telah terjadi pada Alya? Hingga membuatnya menangis seperti ini? Ibu Rose kembali memeluk Alya mencoba menenangkan Alya.

"Sssttt ... Alya sayang, tenang." elusan ibu Rose yang lembut mampu membuat Alya meredakan tangisnya.

"Lho, Alya udah sadar Bu?" Rini muncul dari balik pintu. Dirinya ingin melihat keadaan Alya.

Ibu Rose mengangguk sembari tangannya masih mengelus pundak Alya lembut. Rini yang melihat Alya menangis dalam pelukan ibu Rose mendekat duduk di samping Alya.

"Alya kenapa?" tanya Rini ikut mengelus bahu Alya.

Hanya gelengan yang di berikan oleh ibu Rose, karena dirinya juga tidak tahu apa yang terjadi pada Alya.

Lama mereka terdiam hingga terdengar deru nafas yang teratur dari Alya. Ternyata Alya tertidur di pelukan ibu Rose.

"Alya ketiduran Rin," ibu Rose merasakan beban Alya pada tubuhnya.

"Ya ampun, sebenernya apa sih yang terjadi sama Alya?" Rini memandang Alya yang tertidur.

"Ibu juga bingung, kenapa Alya bisa sampai begini?" ibu Rose membaringkan Alya dengan hati-hati.

"Ibu istirahat aja, biar Rini yang jagain Alya,"

Rini yang melihat wanita paruh baya yang sudah ia anggap ibu sendiri itu kelelahan merasa tidak tega. Apalagi ini sudah hampir tengah malam.

"Makasih sayang, Rini jagain Alya ya," ibu Rose mengusap kepala Alya dan Rini bergantian.

Setelah kepergian ibu Rose, Rini memperhatikan Alya. Dirinya penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada sahabatnya itu. Alya belum pernah menangis seperti ini selama lima tahun ia kenal dengan Alya.

"Sebenarnya ada apa sama kamu Al?" Rini mengusap kepala Alya sayang.

Tok tok!

Terdengar pintu kamar Alya diketuk pelan.

"Masuk." sahut Rini dari dalam.

Ternyata yang mengetuk pintu adalah Agung. Agung yang sangat khawatir dengan keadaan Alya memutus kan untuk menengoknya ke kamar Alya.

"Belum tidur Gung?" tanya Rini setelah Agung berada di sisinya.

"Belum kak, Agung khawatir sama kak Alya," jawab Agung menatap Alya sedih.

"Alya udah baikan, kamu tenang aja Gung," hibur Rini.

Rini tahu jika Agung sangat sayang pada Alya.

"Alhamdullilah." Agung merasa lega mendengarnya.

Dan mereka bertiga akhirnya tidur di kamar Alya. Rini dan Alya tidur di atas kasur dan Agung yang tidur di bawah dengan kasur lipat yang ia bawa.

Setelah mengatakan kondisi Alya baik-baik saja, Rini menyuruh Agung untuk kembali ke kamarnya. Tapi Agung tidak mau meninggalkan Alya.

Dirinya masih khawatir dengan Alya, sebelum Agung melihat sendiri kalau Alya baik-baik saja. Agung memaksa Rini untuk membiarkannya tidur di kamar Alya. Tanpa bisa dicegah, Rini pun mengiyakan permintaan Agung.

...

"Argh!"

Arlan berteriak. Ia mengacak rambutnya frustrasi.

Setelah kepergian Alya yang meninggalkannya di Cafe, dirinya memacu mobilnya seperti orang kesetanan menghiraukan beberapa klakson dan umpatan para pengemudi lain. Arlan tetep memacu mobilnya cepat.

Di dalam kamarnya Arlan menjadi uring-uringan bagai orang gila. Rambutnya acak-acakan, baju kemejanya terlihat lecek dengan beberapa kancing yang terbuka serta beberapa botol minuman beralkohol berserakan di lantai.

Pikiran Arlan saat ini sangat kacau. Dirinya sungguh tidak menyaka apa yang dia lakukan dengan Alya akan membuahkan sebuah nyawa. Tapi Arlan tidak bisa untuk menerimanya, walau dirinya mencintai Alya. Impiannya masih harus ia capai dan menjadi Ayah di usia muda bahkan tidak ada dalam pikiran Arlan.

Dengan pikiran remajanya, Arlan menanggapi semua itu hanya hal sepele baginya. Arlan berpikir Alya pasti akan menggugurkan bayinya itu karna Arlan tahu impian Alya yang ingin sekali menjadi Guru itu.

Pasti Alya akan mengejar impiannya juga sama sepertinya.

"Halo! Siapkan tiket penerbanganku secepatnya! Kalau bisa hari ini sudah siap!" Arlan menghubungi seseorang.

Setelah menghubungi seseorang tadi, Arlan kembali mebuka ponselnya menggeser ikon menu pada layar ponselnya dan menemukan nama di sebuah kontak.

Arlan mengeklik nama itu dan memilih untuk memblokirnya.

Maaf Alya tapi ini memang yang terbaik untuk kita berdua.

....

Alya membuka matanya mendengar keributan yang berasal dari luar. Melihat jam di meja belajarnya, Alya sangat terkejut karena jam telah menunjukan angka sepuluh. Alya tidak pernah bangun sesiang ini.

Dengan pelan Alya bagun dari tidurnya. Mendudukan dirinya pada tepi ranjang lalu menurunkan kakinya, kepalanya masih terasa pusing. Dengan hati-hati Alya bangkit dari duduknya berdiri dan pergi ke kamar mandi.

Saat Alya selesai mebasuh wajahnya Alya melihat pantulan dirinya di cermin, tatapannya turin ke arah perutnya. Alya tersenyum getir tangannya meraba perutnya yang masih rata, air matanya pun kembali keluar tanpa bisa ia cegah.

"Aku nggak nyangka ada yang hidup di sini," ucap Alya mengelusi perutnya.

"Alya." terdengar suara Rini memanggilnya.

"Iya!" sahut Alya dari dalam kamar mandi.

"Kamu udah mendingan? Masih sakit kepalanya? Apa perut kamu mual lagi?" Rini memberondong Alya dengan pertanyaannya ketika melihat Alya keluar dari dalam kamar mandi. Wajah Alya masih terlihat pucat.

"Aku nggak apa-apa, Rin." Alya terkekeh melihat tingkah sahabatnya ini.

Semoga senyumku nggak aneh
Batin Alya.

Dirinya tidak mau semua orang mengkhawatirkannya.

"Keluar yuk, ibu udah masak tuh, kita makan bareng ya," ajak Rini.

"Alya, udah mendingan nak?" tanya ibu Rose saat melihat Alya duduk di kursi.

"Udah Bu, maaf Alya gak sempat bantu Ibu," jawab Alya merasa bersalah. Maaf juga udah kecewain ibu. Lanjut Alya dalam hatinya.

"Udah gak apa-apa, anak-anak di sini banyak yang bantu," ibu Rose tersenyum lembut pada Alya.

"Makan yuk, aku lapar tau nungguin kamu," kata Rini dengan bercanda.

"Anak-anak yang lain nggak makan?" tanya Alya bingung karena biasanya mereka akan makan bersama.

"Alya sayang ... lihat tuh, ini udah jam berapa emang ...?" Rini menyodor kan tangannya yang terdapat jam tangan dengan bentuk kotak dihiasi motif bunga.

Alya hanya tersenyum malu melihat jam di tangan Rini. Tangannya menggaruk ujung hidung, kebiasaan Alya jika malu atau atau salah tingkah.

Ibu Rose dan Rini tertawa melihat tingkah Alya. Bagaimana jika mereka tau aku hamil? batin Alya berkata.

Dan itu membuat Alya melamun dengan tatapan kosong. Ibu Rose dan Rini saling pandang melihat Alya yang tiba-tiba melamun dengan wajah murung.

"Al, Alya!" Rini mengguncang tubuh Alya sedikit keras.

"Apa sih Rin!" kesal Alya. Dirinya juga kaget.

"Kamu ngelamunin apa?"

"Siapa yang ngelamun?"

"Kamu!"

"Aku nggak!"

"Iya!"

"Nggak!"

"Anak-anak udah jangan ribut, kalian bukan anak kecil lagi." lerai ibu Rose yang melihat perdebatan kedua anaknya itu.

"Hahahaha ..."
Alya dan Rini pun tertawa dengan tingkah konyol mereka berdua.

Alya sedikit bisa melupakan kondisinya saat ini.

...

Hari ini hari libur. Sejak kemarin setelah kejadian beberapa hari lalu Alya semakin menjadi pemurung dan menutup dirinya dari luar. Alya yang biasanya ceria menjadi pendiam.

Sikapnya itu pun tidak luput dari pandangan ibu Rose. Dengan lembut ibu Rose mengusap kepala Alya yang sedang duduk melamun di halaman Panti yang terdapat beberapa wahana permainan anak-anak.

Alya yang merasa kan usapan lembut di kepalanya lantas mendongakkan kepalanya. Melihat ibu Rose yang tersenyum lembut padanya membuat hati Alya sakit kembali mengingat kondisinya yang hamil.

"Mau cerita sama Ibu?" ibu Rose mendudukan dirinya di samping Alya.

"Alya pasti cerita kalau Alya udah siap," Alya memeluk ibu Rose.

Bagi Alya pelukan ibu Rose sangat nyaman dan sangat ia butuhkan saat ini.

"Cerita kalau kamu udah siapa sayang," ucap ibu Rose mengusap punggung Alya lembut.

...

Saat ini Alya tengah berada di sebuah pasar menemani ibu Rose berbelanja untuk kebutuhan Panti. Saat sedang berada di dekat toko buah tiba-tiba dirinya melihat buah Nanas.

Alya tahu jika orang hamil memakan buah itu terlalu banyak maka akan memicu kontraksi pada kehamilan. Dan dengan pikiran tidak tentunya Alya mengambil buah Nanas itu dan memandanginya lama.

Dirinya yang masih seorang pelajar bagaimana bisa datang ke sekolah dengan perut yang membesar? Pasti dirinya akan dicemooh oleh satu sekolahan dan dikeluarkan dari sana. Reputasi Panti yang akan hancur serta kekecewaan ibu Rose dan anak Panti semakin membuat Alya ingin mengakhiri hidupnya dan calon anaknya.

"Mama ... Mama ..."

Saat akan membeli buah itu tiba-tiba ada anak kecil memanggilnya Mama sambil menarik-narik celana Alya.

Mendengar kata 'Mama' membuat hati Alya serasa tercubit.

Ada gelenyar aneh pada perutnya yang membuat Alya seketika menjatuhkan buah Nanas yang dipegannya. Menengok ke bawah melihat anak kecil yang memanggilnya Mama itu, Alya lantas menggendong anak tersebut.

Seorang anak lelaki sekitar umur tiga tahunan dengan pipi yang gembil dan menggemaskan.

Apakah anakku nanti akan selucu anak ini?

"Ma ... Ma." bocah itu terus menyebut ibunya.

"Dedek kenapa? Mamanya kemana?" tanya Alya lembut. Namun batita itu tetap memanggil ibunya.

"Ya ampun Alfi! Kenapa digendong sama kakak ini?" tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar.

Alya menolehkan kepalanya, terlihat seorang wanita denga gamis dan kerudung besar menghampirinya.

"Maaf ya mbak, Alfi memang nakal," wanita tersebut mengambil anaknya yang bernama Alfi dari gendongan Alya.

"Nggak apa-apa kok, Bu. Anaknya lucu, Alfi ya? Kenalin nama kakak Alya," jawab Alya dengan senyumnya.

"Aduh ..., saya jadi nggak enak, Alfi memang suka keluar dari toko kalau saya juga keluar buat nyari tukaran uang buat kembalian." jelas ibu Alfi.

Alya yang melihat bagaimana paniknya ibu Alfi dan bagaimana saat Alfi digendong dengan penuh kasih sayang itu membuat dada Alya menghangat.

Apa aku juga akan merasakan apa yang dirasakan ibu Alfi?Jika anakku hilang dari pengawasanku? Ibu macam apa aku? Yang tega ingin melenyap kan anaknya? Darah dagingnya sendiri!?

Tanpa di sadari Alya, tangannya mengusap perutnya sendiri teringat perbuatan bodohnya tadi.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top