3

Braakk!

Arlan membuka pintu secara kasar dan tak sabar juga menutupnya dengan sebelah kakinya. Alya yang melihat itu semakin dibuat kaget dengan Arlan yang tiba-tiba mencium bibirnya dengan kasar.

Belum selesai dengan rasa kaget yang Alya alami saat Arlan menariknya secara tiba-tiba dan sekarang Arlan menciumnya dengan kasar.

“Mmmmpph.” Alya berusaha mendorong tubuh Arlan yang sedang menciumnya. “Apa yang kamu lakukan Arlan!” seru Alya marah setelah bibir Arlan terlepas dari bibirnya. Mengusap bibirnya kasar dengan tangan yang gemetar.

Alya benar-benar merasa takut.

Ingatan tentang masa lalunya saat akan dilecehkan oleh suami kakaknya dulu muncul kembali.

Arlan menyadari sikap Alya yang membuatnya semakin merasakan sesuatu pada tubuhnya. Melihat ekspresi wajah Alya yang tegang dan wajah yang memerah. Sesuatu dalam diri Arlan tidak bisa ia tahan lagi.

Arlan menggenggam tangan Alya lembut dengan tatapan tertuju pada mata coklat terang Alya.

“Percaya sama aku, Alya.” Arlan menggenggam erat tangan Alya.

“Arlan jangan.” Alya menahan tubuh Arlan yang semakin mendekat.

“Tenang lah Alya,” Arlan semakin merapatkan tubuhnya memeluk Alya dan mendekatkan wajahnya.

“Bagaimana jika aku ....”

“ssttt ... aku akan tanggung jawab, kamu percaya sama aku, kan?”

Ucapan Alya terpotong dengan Arlan yang menempelkan jari telunjuknya pada bibit Alya yang sedikit membengkak. Arlan mencoba meyakinkan Alya.

Alya menatap mata hitam kelereng Arlan. Mencari kesungguhan dimata yang selalu memujanya itu.

Dirinya yang sempat ketakutan entah kenapa kini merasa nyaman berada di dalam dekapan Arlan. Alya menyerah kan hatinya pada lelaki yang sedang menatapnya itu dengan jarak yang sangat dekat. Berharap apa yang dikatakan Arlan akan ditepatinya karna hanya Arlan yang menyayanginya.

Entah apa yang dipikirkan Alya saat ini, yang ia tahu Arlan tidak akan meninggalkannya. Karna Arlan mencintainya, dengan ragu Alya mengangguk kan kepalanya.

“Ya, aku percaya.”

Mendengar itu Arlan yang memang terpengaruh oleh alkohol dan membuatnya sedikit mabuk menjadi semakin merasakan sesak dan panas pada tubuhnya. Dan malam itu menjadi malam dimana semua itu akan merubah kehidupan dua pasang anak Adam itu.

...

Setelah kejadian malam itu, di Villa Arlan. Kehidupan Alya dan Arlan tidak ada yang berubah. Hubungan Alya dan Arlan pun semakin mesra. Mereka bahkan sempat canggung setelah malam itu tapi semua itu hanya sebentar karna sifat Arlan yang memang manja pada Alya. Membuat rasa canggung itu menghilang dan berganti dengan hubungan mereka yang semakin mesra.

Sebulan sudah Alya dan Arlan disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing.

Arlan yang sibuk mengurus keperluan kuliahnya dan Alya yang sibuk dengan sekolah dan kerja paruh waktunya. Dan itu membuat intensitas hubungan mereka berkurang. Mereka jarang bersama.

Dan beberapa hari ini Alya merasakan tidak enak badan. Dirinya sering merasa mual di pagi hari dan emosi yang tak bisa dikontrol. Apa lagi sekarang ini dirinya dan Arlan jarang bertemu. Hanya lewat pesan singkat itu pun tidak se-intens dulu.

"Hoooeekk! hoooeekk!"

Ini sudah ketiga kalinya Alya memuntahkan isi perutnya di pagi ini.

Biasanya rasa mualnya bisa ia tahan dan pagi ini rasa mual itu tidak bisa ia tahan. Setelah mencium aroma nasi goreng yang disiapkan ibu Panti, bahkan Alya sampai memuntahkan isi perutnya yang hanya cairan.
Karna memang Alya tidak memakan makanan apa pun dari semalam.

“Kamu gak apa-apa Al?” tanya ibu Rose, ibu Panti.

“Ngggak kok, Bu. Paling cuma masuk angin aja,” Alya mengelap mulutnya rasa mula masih ia rasakan.

“Muka kamu pucat Al,” Rini yang menyusul ibu Rose terlihat khawatir.

“Nanti juga sembuh kalau udah minum obat.” Alya mencoba meyakin kan ibu Rose dan Rini.

Mereka pun makan dengan Alya yang hanya meminum air putih hangat yang disiapkan oleh ibu Rose.

Alya merasa aneh pada dirinya. Biasanya dia akan cepat sembuh jika meminum obat anti masuk angin. Tapi ini, kenapa rasa mualnya tidak kunjung reda? Memikirkan itu tiba-tiba Alya teringat sesuatu.

Apa jangan-jangan aku ....

Mengingat itu Alya langsung berlari ke kamarnya meninggal kan Ibu Rose dan Rini yang menatap bingung kepergian Alya.

Setelah di dalam kamar, Alya membuka laci mejanya. Alya menemukan pembalutnya masih utuh.

Alya memang menyimpannya agar dia tidak kerepotan jika tamu bulanannya datang di waktu yang tidak tepat. Alya mengambilnya dan melihat kalender, ini sudah tanggal 28. Seharusnya dia dapat di awal bulan dan sekarang sudah mendekati akhir bulan. Mendadak Alya menjadi lemas memikirkan kemungkinan yang akan terjadi padanya.

Dengan tergesa-gesa Alya keluar dari kamarnya berlari menuju keluar.

Dia harus membuktikan yang ada dipikirannya. Ya, tujuan Alya adalah Apotek. Dia akan membeli test peck untuk membuktikan kekhawatirannya.

“Mau ke mana Al?” tanya Rini yang melihat Alya berlali keluar pintu dengan tergesa-gesa.

“Apotek!” jawab Alya yang terus berlari kecil.

....

“Mbak, saya mau beli test pack,” ucap Alya dengan nada kecil.

Alya tahu jika yang di belinya ini sangat janggal.

Mengingat Alya yang masih seorang pelajar, pasti mbak-mbak penjaga Apotek dan orang-orang yang ada disana—yang melihat Alya membeli test pack bertanya-tanya.

Untuk apa pelajar beli test pack? mana mungkin untuk kegitan sekolah?'

Mungkin itu yang akan dipikirkan oleh orang orang itu.

“Se–sepuluh. Saya beli test pack sepuluh mbak.” Alya mengucap ragu.

“Tunggu ya mbak.” Alya mengangguk dan tidak lama pegawai Apotek itu datang. “Buat apa test pack sebanyak ini, mbak?” tanya pegawai itu sambil memasukan benda pipih itu ke dalam plastik.

“Untuk tes pasien kakak saya, kakak saya Bidan.” alibi Alya.

Mana mungkin dirinya menjawab jujur.

Dan kenapa juga pegawai ini banyak bertanya? Bukankah tugasnya hanya mengambilkan apa yang dipesan pembeli? Alya mendadak emosi karena sedari tadi pegawai itu bertanya pada Alya.

“Berapa?” Alya bertanya sambil membuka dompetnya.

“Lima puluh ribu,” buru -buru Alya mengambil uangnya dan langsung membayar.

Dia tidak mau lagi di introgasi oleh pegawai itu.

“Dipakainya pas pagi hari setelah bangun tidur mbak!” teriak pegawai itu saat Alya telah sampai diujung pintu. Dan itu sukses membuat Alya melangkah kan kakinya lebih cepat tanpa menatap pegawai itu.

...

Alya terduduk lemas di atas kasurnya. Ini test pack yang ke sepuluh dan terakhir dan hasilnya sama dengan test pack sebelumnya. Yaitu dua garis merah Alya tahu itu tandanya apa. Alya menjadi lemas seketika bahwa di dalam perutnya kini tumbuh nyawa yang ia tidak pernah ia duga.

Alya mengambil ponselnya berniat akan menghubungi Arlan.

Bagaimana pun ini terjadi karna perbuatan yang pernah Alya dan Arlan lakukan. Baru Alya akan membuka kunci ponselnya tiba-tiba sebuah pesan masuk, dan itu dari Arlan.

Sayang, kita ketemuan ya hari ini, ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita ketemu di tempat biasa. See you.

Begitu bunyi pesan Arlan. Apa yang akan di bicarakan Arlan padanya pikir Alya.

'Iya, aku juga ada yang mau aku omongin sama kamu'

Balas Alya dan tanpa menunggu lama Alya segera menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.

...

Mata Alya meneliti setiap sudut cafe mencari Arlan. Arlan yang melihat kedatangan Alya segera melambaikan tangannya ke atas dan Alya melihatnya. Alya segera menghampiri Arlan yang terlihat senang itu.

Apa dia tau maksud aku? tanya Alya pada dirinya sendiri.

“Kangen kamu,” Arlan memeluk Alya tanpa peduli tatapan pengunjung Cafe.

“Aku juga,” balas Alya. "Udah lepas, malu.” Alya berusaha melepaskan peluk kan Arlan.

“Sini, duduk dekat aku,” Arlan menarik kursi yang berada di depannya.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Alya setelah mereka duduk.

“Gak mau pesan dulu?” Arlan menawarkan Alya.

Menggeleng, Alya menatap Arlan yang terlihat bahagia. “Kamu mau ngomong apa?” ulangnya.

“Kamu juga katanya ada yang mau diomongin sama aku?"”Arlan balik bertanya.

“Kamu aja dulu,” Alya belum siap untuk mengatakannya.

“Ladies first sayang,” ucap Arlan mengusap tangan Alya.

Alya menatap ragu pada Arlan. Saat ini jantungnya berdegub kencang seakan-akan ingin keluar dari tempatnya.

Banyak pikiran yang ada di kepala Alya. Bagaimana nanti jika Arlan tidak menerima bayinya? Anaknya? Bagaimana reaksi Arlan? Apakah akan bahagia atau malah sebaliknya? Bagaimana jika ....

Dan masih banyak bagaimana yang dipikirkan Alya.

“Hei, Sayang,” Arlan melambaikan tangannya di depan wajah Alya.

Alya mengerjap kaget seketika lamunannya buyar. Sebenarnya Alya masih belum siap untuk mengatakannya. Tapi melihat wajah Arlan yang terlihat bahagia membuat Alya yakin jika Arlan juga akan menerima keadaannya yang mengandung anaknya.

“Eh, i–iya,” lidah Alya mendadak kaku.

“Kamu kenapa sih? Katanya mau ngomong?”

“Itu, Aku ... aku ... emm ....”

“Itu apa sayang?”

“Akuhamil.” ucap Alya cepat.

“Yang jelas Alya, aku nggak dengar jelas apa yang kamu ucapin tadi?”

Arlan mulai merasa ada yang aneh dari ucapan Alya yang sangat cepat itu.

“Arlan, a–aku, Aku ... ha-hamil.” cicit Alya menunduk kan kepalanya. Jari-jarinya meremas bajunya sendiri.

“Jangan bercanda Alya!” kaget Arlan dengan apa yang didengarnya.

“Aku serius. Ini, kamu lihat sendiri bahkan aku mencobanya beberapa kali!” Alya menyodorkan semua test pack-nya.

“Bagaimana bisa?”

Seketika senyum Arlan hilang.

Arlan tidak percaya apa yang dilihatnya adalah setumpuk test pack dengan dua garis merah.

Arlan juga tahu apa arti dari dua garis berwarna merah yang tertera di benda kecel itu.

“Itu bisa karna kita melalukannya,” Alya masih menunduk tidak berani menatap Arlan.

“Tapi kita hanya sekali melakukannya,”

“Ya, dan kamu mengeluarkannya beberapa kali didalam!”

Arlan memijit pangkal hidungnya, memejamkan matanya. Menyandar kan tubuhnya pada kursi. Dirinya sungguh tidak menyangka ini semua akan terjadi. Padahal dia dan Alya hanya sekali melakukan itu.

Niatnya mengajak Alya bertemu hari ini adalah untuk memberi Alya kejutan ulang tahunnya pada Alya. Ya, walaupun Arlan yang berulang tahun tapi dirinya malah memberi kejutan pada Alya seolah-olah Alya yang tengah ulang tahun. Dan Arlan akan memberi tahu jika dirinya diterima di kampus impiannya berharap Alya akan bangga dan mendukungnya karna impiannya tercapai.

Tapi malah dirinya yang terkejut luar biasa dengan Alya yang memberi tahunya jika Alya sedang mengandung anaknya.

Sungguh Arlan tidak menyangka itu.

“Tapi kita masih muda Alya, aku baru saja berusia delapan belas tahun dan kamu juga baru tujuh belas tahun.” ucap Arlan masih memejamkan matanya. “Bagaimana bisa kita menjadi orang tua di usia muda?”

“Tapi memang kita akan menjadi orang tua,” suara Alya bergetar.

“Aku akan melanjutkan kuliah ku ke luar negeri. Aku nggak bisa memberi tahu orang tuaku.”

Arlan akhirnya memberi tahu Alya.

Seketika itu Alya mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap Arlan “Tapi kamu berjanji akan bertanggung jawab!”

“Aku kira kamu nggak sampai hamil seperti ini?”

“Aku juga nggak menyangka akan sepeti ini!”

“Aku belum siap menjadi ayah,” tiba-tiba kata itu keluar begitu saja dari mulut Arlan.

“Apa maksud kamu?”

Alya semakin kuat meremas bajunya.

“Gugurkan Alya,” entah apa yang dipikirkan Arlan. Dirinya sungguh tidak mengerti kata itu begitu saja keluar.

“APA!” mata Alya membulat seketika mendengar ucapan Arlan.

“Gugur kan yang ada di dalam perut kamu itu.”

“Jangan gila Arlan! Ini darah daging kamu!” seketika air mata Alya turun dengan derasnya.

“Aku nggak bisa menerimanya Alya, mereka akan menjadi beban untukku nanti!” Jawab Arlan dengan nada sedikit ditekan.

Entah lah kemana perginya Arlan yang lembut pada Alya.

“Sungguh brengsek kamu Arlan! Mana janji kamu dulu?!” Alya menunjuk wajah Arlan dengan marah.

“Maaf Alya, tapi kamu tau sendiri, aku satu-satunya penerus keluargaku, dan apa kata mereka nanti? Terutama rekan bisnis keluargaku jika tau aku mempunyai anak di usia muda dan belum menikah.”

Impian Arlan memang ingin mempunyai anak bersama Alya dan hidup bahagia. Tapi tidak untuk sekarang, ia harus membuat keluarganya bangga dan dia mempunyai kekuasaan yang akan melawan siapapun.

“Kamu memang benar-benar manusia brengsek Arlan!” seketika emosi Alya meledak mendengar ucapan Arlan.

“Ini, ambil lah untuk menggugurkannya,”

Arlan mengeluarkan sebuah cek dari sakunya dan menuliskan nominal cukup besar di cek itu.

“Ambil ini! Aku nggak butuh uang kamu!” Alya mengambilnya dan melempar kan kembali tepat di wajah Arlan.

“Jangan keras kepala Alya! Aku tau kamu juga ingin mengejar cita-cita kamu, kan? Apa kamu nggy ingin mewujudkan cita-cita kamu itu? Jika kamu membiarkannya tumbuh di perut mu?!”

Seketika Arlan menjadi ikut emosi melihat kekeras kepalaan Alya.

Tapi pikirannya telah ditutupi oleh ambisinya. Walau Arlan mencintai Alya tapi itu semua tertutup oleh ambisi Arlan yang ingin menjadi orang yang diakui di keluarganya dan memiliki kekuasaan atas semua perusahaan milik ayahnya.

“Sungguh Arlan, aku nggak menyangka kamu akan seperti ini? Kamu akan menyesalinya nanti!” ucap Alya menatap Arlan tajam dengan linangan air mata yang membasahi pipinya.

“Aku nggaj akan menyesal, kamu tau siapa aku, Alya.” sikap Arlan yang diktator muncul kembali.

“Ya! Sangat tau! ARLAN RENDRA RADIPTA seorang anak pengusaha tersukses di nagara ini!” Alya menekan ucapannya menyebut nama lengkap Arlan.

“Maka ambil lah uang ini,” Arlan kembali menyodorkan ceknya.

“Kamu akan menyesalinya suatu saat nanti dan jangan harap aku akan memaafkan kamu!” Alya berdiri dengan kasar hingga bangku yang didudukinya terjatuh ke belakang. “Aku nggak butuh uang kamu! Aku bisa hidup sendiri!” lanjut Alya melangkah pergi.

Tapi langkahnya terhenti.

Alya membalikan tubuhnya menatap Arlan dengan tatapan marah, kecewa dan benci. Alya melanjutkan ucapannya. “Dan terima kasih, telah menghadirkan dia di hidupku.”

Alya menghapus air matanya dengan kasar dan berbalik keluar meninggalkan Arlan yang hanya diam mematung menatap kepergian Alya.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top