13

Saat sudah beberapa langkah Arlan memasuki TK miliknya itu, Arlan mendengar suara isak tangis anak yang membuatnya seketika merasa sangat ingin menenangkan tangis itu. Di perhatikannya sekeliling TK dan mata Arlan menagkap dua bocah kembar yang sedang duduk di salah satu bangku dengan bentuk melingkar. Di mana sang anak laki – laki sedang menghapusi air mata sang anak perempuan yang dipeluknya.

Di hampirinya kedua anak itu. Anak yang memang Arlan ingin temui sedari tadi.

“Hai ... ” Sapa Arlan pertama kali.

Kedua anak itu menoleh dan mendongak ke atas melihat siapa yang menyapa mereka.

“Om balon!” teriak Illa menghampiri orang yang menyapanya.

Arlan mensejajarkan tingginya merentangkan tangannya ketika Illa berlari kearahnya. Hangat dan nyaman. Itulah perasaan Arlan ketika memeluk anak perempuan yang tampak sedih itu.

“Illa kenapa nangis hem?” tanya Arlan mengusap pipi basah Illa.

“Illa diejekin sama Cello dan temennya Om,” El yang menjawab. El memang selalu menjawab pertanyaan orang yang bertanya pada adiknya. Sikap posesifnya selalu ia tunjukan pada orang asing yang mendekati adiknya.

Diejek? Siapa yang mengejek mereka? Beraninya mereka! batin Arlan marah ketika mendengar ucapan El.

“Illa diejek apa memangnya?” tanya Arlan pada El.

“Cello bilang kita nggak punyah ayah. Kita itu anak halam, tapi kata bunda anak halam itu anak istimewa. Iya kan A?” jawab Illa bertanya pada El dan diangguki oleh El.

Mendengar penuturan yang keluar dari mulut Illa dengan nada polos. Arlan langsung memeluk kedua anak itu dengan erat menyembunyikan wajahnya dia antara bahu El dan Illa.
Hatinya sakit seperti ada ribuan paku yang menusuk meninggalkan bekas yang susah untuk di sembuhkan.

“Kalian anak hebat, anak kuat, kalian anak istimewa.” ucap Arlan semakin mengeratkan pelukannya.

El dan Illa yang merasa sesak karena di peluk sangat erat, mencoba untuk melepaskan pelukan Arlan.

“Tapi ..., kenapa mereka ledekin Dedek sama a El, Om? Kata ibunya Cello juga kita anak halam. Bunda sampe nangis pas dengel ibu Cello bilang gitu, iya kan A?” ucap Illa kembali bertanya pada kakaknya.

“Iya. El mau pukul Cello ,tapi kata Bunda anak istimewa nggak boleh pukul olang.” jawab El mengingat perkataan Alya.

Emosi Arlan tak bisa ditahan lagi. Merogoh saku celananya, Arlan menghubungi seseorang, “Cari tahu ibu dari anak yang bernama Cello. Anak yang belajar di TK Bhakti Ibu. kirimkan secepatnya!”

Mendengar nada dingin penuh amarah dari Arlan membuat seseorang yang menerima panggilan dari Arlan langsung mematuhi perintah Arlan. Membuat dirinya juga ikut takut akan kemarahan Arlan. Siapa yang sudah berani membuat seorang Arlan marah begini.

...

“Pelan – pelan Illa, makananya masih banyak kok,” ucap Arlan yang melihat mulut penuh Illa dengan lelehan es krim.

“Es klimnya enak Om,” jawab Illa memamerkan giginya.

“Om balon mau?” El menyodorkan mangkuk es krimnya pada Arlan.

Arlan hanya menggeleng dan tersenyum. Melihat keduan anak ini makan saja aku seperti makan dengan puluhan piring berisi nasi.

Melihat raut sedih pada kedua anak kembar yang dipeluknya, Arlan mengajak mereka ke kedai es krim yang tidak jauh  dari TK mereka untuk menyenangkan hati mereka.

“Memang ayah kalian kemana?” pancing Arlan bertanya kepada El. Arlan sudah tahu pasti setiap pertanyaannya akan di jawab oleh El.

“Kata bunda, ayah lagi kelja jauh. Kalo udah punya banyak uang nanti pulang, telus bawa mainan banyak,” jawab El polos. Sikap El yang selalu dingin jika bertemu orang baru tidak ditunjukannya ketika bertemu dengan Arlan seakan mereka sudah sering bertemu.

”A–apa kalian pernah bertemu dengan a–ayah kalian?” suara Arlan tercekat bahkan untuk betanya lagi Arlan kesusahan.

El dan Illa menggeleng kompak. “Belum Om, kata bunda, ayah pelgi pas kita masih di dalem pelut bunda” dan El yang terus menjawab pertanyaan dari Arlan. Sedangkan Illa asik dengan es krimnya.

Kemana ayah mereka? Kerja apa ayah mereka? Sampai tidak pernah pulang. Kenapa aku merasa mereka anakku?

“Udah abis es krimnya, mau nambah lagi nggak?” tanya Arlan ketika melihat Es krim Illa yang habis.

“Nggak.” Illa menggeleng lucu. "Dedek mau kue ini boleh?” Illa menunjuk sebuah gambar kue dengan warna seperti pelangi.

“Boleh, nanti om pesenin ya,” Illa mengangguk semangat.

“El nggak mau kue juga, kaya Illa?” Arlan bertanya pada El yang hanya diam setelah di tanyai ini itu oleh Arlan.

El menggeleng, es krim yang dimakannya saja belum habis. ”El nggak suka manis Om.” balas El.

Merasa kemiripannya dengan El serta selera El yang tidak suka makanan manis semakin membuat Arlan meyakini bahwa mereka berdua adalah anaknya.

..

...

..

“Kalian tunggu di sini, sampai bunda kalian dateng ya. Om bakal liatin kalian dari dalem mobil Om.” ujar Arlan menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir di seberang jalan.

“Kenapa nggak di sini aja, kita tungguin bunda baleng – baleng.” tanya Illa setelah didudukan di kursi oleh Arlan.

Alya akan lari jika melihat ku nanti.

“Kalian jangan bilang sama bunda kalo kalian abis ketemu sama Om. Janji?” perintah Arlan mengangkat tangannya kedepan menujukan jari kelingkingnya.

“Janji!” balas El dan Illa menautkan kelingking mereka pada kelingking Arlan.

Di puluknya kedua anak Alya. Di usapnya kepala mereka bergantian dan mencium kepala mereka lama. Arlan tidak ingin melepas pelukan yang sangat nyaman dan hangat yang menjalar di hatinya ini. Tapi waktu yang tak mengijinkannya untuk berlama lama dengan mereka.

...

"Aku akan ke rumah sakit sekarang. Aku mau hasil yang akurat!” Arlan mematikan sambungan telponnya pada seseorang yang bekerja di salah satu rumah sakit miliknya. Melihat Alya sudah datang untuk menjemput kedua anaknya, Arlan langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

Gimanaaaaa? Penasaran hasilnya? Cusss beli ebooknya di Gugel pley buk Batik Publisher yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top