5. Kepergian Jihan

Akhirnya setelah beberapa hari di scors, Omar bisa kembali bekerja di perusahaannya sendiri. Tatapan terpanah para wanita tidak akan pernah tinggal ketika Omar dan Ragan berjalan memasuki gedung perusahaan.

Ragan berusaha menutupi matanya yang lebam menggunakan kacamata akibat serangan kemarin.

Omar pun sama, dia memang tidak mau ketinggalan dan ikut menggunakan kacamatanya, ia harus terlihat lebih keren dari kemarin-kemarin. Tadi malam, ia pergi gym sampai kelelehan demi menampilkan kembali otot bisepnya.

Pintu ruangannya dibuka, ia kaget melihat Sabian duduk dengan santai di singgasananya sambil menelepon dengan kaki diangkat satu ke atas meja.

Melihat kehadiran Omar, refleks Sabian bangkit dari kursi kekuasaan yang saat ini masih diperebutkan.

"Lo udah kembali?" Tanya Sabian dengan suara bergetar.

Omar melepas kacamatanya, dan melempar kacamata tersebut ke arah Ragan. Untunglah asistennya itu cepat tangkap.

"Sudah puas main-mainnya?" Omar menatap Sabian sinis. Hubungannya dengan Sabian memang tidak pernah akrab.

"Main-main?" Sabian terkekeh mencemooh. "Gue cuma lagi latihan, jika sewaktu-waktu gue berhasil duduk di kursi ini dan menggeser posisi lo."

Omar geleng-geleng kepala. "Sudahi halumu Sabian. Mending lo buru-buru ke psikiater untuk mengobati gangguan jiwa lo ini."

Sabian mengepalkan tangan geram, kemudian pergi dari ruangan Omar dengan perasaan marah.

"Dasar sinting, dia pikir dia bisa singkirin posisi gue?" Omar akhirnya duduk di kursi singgasananya. "Lihat aja nanti, ketika peresmian pimpinan baru The Emran's sudah ditetapkan, dia orang pertama yang bakal gue pecat!" Omar menggerutu kesal, sedangkan Ragan hanya diam mendengarkan ocehan bosnya.

***

Nama Abi berkelap-kelip di layar ponsel Omar ketika dia sedang meeting bersama klien untuk membicarakan mall terbaru yang akan mereka rancang bersama.

Omar berusaha mengabaikan panggilan Abinya, tapi Abi tidak menyerah dan menghubungi Ragan.

"Maaf, Pak, ada telepon dari Abi." Ragan mendekati Omar sambil berbisik.

"Bilangin, gue lagi rapat. Lo nggak lihat!" Dumel Omar kesal.

"T-tapi, saya nggak bisa menolak panggilan dari Abi, Pak. Kalimatnya adalah perintah."

Omar menoleh ke arah Ragan dengan geram. "Sebenarnya, lo asisten gue atau Abi, sih!"

Ragan menundukkan kepalanya, tapi masih mengulurkan ponsel kepada Omar. Lelaki itu tahu, abinya tidak akan berhenti mengacau sebelum Omar menerima panggilan Abi.

"Maaf, saya menerima panggilan ini dulu." Omar izin kepada kliennya dan mengambil ponsel Ragan sambil keluar dari ruang rapat.

"Ada apa, Bi?" Omar sedang berusaha untuk tidak meledak-ledak setelah menerima panggilan Abi.

"Assalamualaikum dulu."

Omar menarik napas dalam-dalam. "Assalamualaikum. Ada apa, Bi? Saya lagi meeting."

"Saya tahu. Setiap hari, waktumu begitu penting untuk meeting."

Omar mengembuskan napas kesal. "Okay, kenapa Abi hubungi aku?"

"Luangkan waktumu siang nanti untuk pulang ke rumah. Jiddah datang dan mengajak kita makan siang bersama di rumah."

Omar memutar bola mata jengah. Ia pikir ada sesuatu keadaan mendesak yang harus Omar lakukan. Ternyata, kabar kedatangan Neneknya dari Arab membuat Omar harus mengesampingkan meetingnya dulu.

"Maaf, aku nggak bisa. Hari ini harus—"

"Harus bisa, Omar." Abi memotong pembicaraan Omar. "Dan, jangan lupa bawa calonmu. Kamu harus menikah sebelum peresmian pimpinan perusahaan yang baru."

"Apa? Tapi, Bi—"

Dan sambungan terputus begitu saja. Refleks Omar membanting ponsel Ragan ke lantai hinggah retak. Ah, bodo amatlah! Omar tidak peduli dan kembali masuk ke dalam ruangan meeting.

"Sorry, HP lo gue banting di luar dan sepertinya rusak. Nanti gue ganti dengan yang baru," bisik Omar pada Ragan.

"Baik, Pak," jawab Ragan. Mau tidak mau harus terima.

****

Omar menatap gedung-gedung pencakar langit dari jendela kaca ruangan kantornya. Ia melihat jam tangan sejenak, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu dua jam lagi untuk bisa ikut makan siang di rumah sesuai ancaman Abi.

Tapi yang menjadi masalah, Omar harus membawa calon istri untuk diperkenalkan kepada keluarganya.

Nama Jihan terus terlintas di kepala Omar. Apakah ini saatnya Omar mengungkapkan isi hatinya kepada Jihan?

"Pak...." Ragan membuka pintu ruangannya.

Omar langsung berbalik badan dan melangkah pergi. "Kita ke apartemen Jihan sekarang."

"Tapi, Pak, Mba Jihan sedang tidak ada di apartemennya."

Omar membalikan badan lagi menghadap ke arah Ragan. "Kemana dia?"

"Mba Jihan lagi di jalan menuju bandara."

"Bandara?" Omar mengerutkan dahi.

"Mba Jihan akan kembali ke Paris hari ini."

"Apa? Bukannya—" Omar diam sejenak, kenapa Jihan tidak memberitahunya terlebih dahulu. Bahkan, mereka belum sempat bertemu lagi. "Bawa gue ke Bandara, dan kita harus sampai sebelum Jihan tiba di Bandara."

"Baik, Pak."

Omar dan Ragan langsung menuju basement dan membawa mobil mereka melesat menuju bandara.

Ragan membawa mobilnya dengan kencang dan menyeleninap ke sana-kemari. Sedangkan Omar sejak tadi berusaha menghubungi Jihan. Tapi, tidak diangkat sama sekali dengan wanita itu. Omar semakin panik, kepulangan Jihan yang tiba-tiba membuat ia bertanya-tanya.

Akhirnya, mereka sampai di bandara. Omar dan Ragan berpencar untuk mencari keberadaan Jihan.

Omar tidak berhenti menghubungi Jihan sampai akhirnya Jihan menjawab panggilan Omar.

"Kamu di mana?" Tanya Omar to the point.

"Aku—" Jihan kehilangan kata-kata.

"Kamu di mana Jihan!" Omar berteriak, tidak peduli kalau dia sedang menjadi pusat perhatian saat ini.

"Aku di bandara," jawab Jihan gugup.

"Aku juga di bandara, kita harus bertemu Jihan."

"Omar, aku nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa?"

"Aku harus pulang ke Paris."

"Pulang? Memangnya itu rumahmu? Orangtua kamu di Indonesia, rumah kamu di Indonesia, karir kamu di Indonesia, dan aku juga di Indonesia. Kenapa harus kembali lagi ke Paris?"

"Karena aku harus menikah, Omar."

Omar diam, jantungnya berdetak tak seirama.

"Jihan, please, jangan menikah...." Suara Omar bergetar. "Aku, aku cinta sama kamu, Jihan. Aku cinta denganmu lebih dari sekadar sahabat. Sudah lama aku memendam perasaan ini, tapi aku nggak berani bilang sejujurnya dengan kamu karena takut akan menghancurkan persahabatan kita. Tapi, hari ini, aku akan mengatakan yang sejujurnya, kalau aku mencintaimu. Menikah saja denganku, Jihan. Aku janji akan bikin kamu bahagia."

Jihan diam, hanya ada suara isak tangis yang terdengar di seberang sana.

"Jihan, katakan sesuatu," kata Omar lagi karena Jihan tidak juga bicara.

"Maaf, Mar. Aku harus pergi."

Sambungan terputus. Omar menarik rambutnya ke belakang dengan jari sambil berteriak frustrasi.

Ponsel Omar kembali berdering, Ragan.

"Pak, saya melihat Jihan."

Omar berlari kencang menghampiri posisi Jihan setelah Ragan memberitahu keberadaan wanita itu. Jihan menarik kopernya sambil berjalan menuju pintu keberangkatan.

"JIHAN!" Omar berteriak sekencang mungkin, berhasil mencuri perhatian semua orang—yang langsung melihat ke arah Omar. Termasuk Jihan.

Jihan hanya menatap Omar untuk beberapa menit, sebelum akhirnya ia kembali berjalan masuk.

"JIHAAAAAANNNNN!"

Omar berusaha masuk, tapi petugas tidak mengizinkan Omar masuk. Karena pengunjung dilarang masuk.

Seumur hidupnya, Omar tidak pernah menangis. Dia paling anti menangis. Karena menangis, hanya untuk orang-orang yang lemah. Dan ketika lelaki menangis, maka dia akan terlihat seperti banci.

Tapi, hari ini Omar rela dipanggil banci karena dia harus menangis. Rasanya sesak ketika melihat orang yang kamu cintai justru lebih memilih orang lain.

Jadi, apa gunanya kebersamaan yang terjalin selama ini antara Omar dan Jihan? Apakah ini hanya sandiwara saja?

Omar membungkukkan badan, masih tidak bisa menahan tangisnya sampai Ragan menghampiri dan mengusap punggung Omar.

"Pak, sudah. Jangan sedih, semua pasti ada waktunya. Kopi saja, meskipun pahit tapi kita tetap bisa menikmatinya. Begitu pun dengan cinta, Pak. Bertahan, akan membuat kita semakin sengsara. Bapak hanya perlu mencari kopi yang dicampur gula agar rasanya lebih manis. Bapak harus mencari cinta yang lain, daripada berharap dengan seseorang yang lebih milih orang lain."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top