Kafe Kuning

Tiga bulan berlalu sejak Na bertemu Bayu di taman Pecut. Remaja tengil itu rajin membuntuti Na joging di berbagai tempat. Blitar Green Park, Stadion Supriadi, Taman Sentul, lapangan Tanjungsari, Kebon Rojo, bahkan Sport Center sudah rata mereka kunjungi.

Bayu selalu diantar-jemput oleh sopir keluarga yang sering dipanggil mas Banyu, orang yang belum pernah Na temui karena hanya menunggu Bayu di dalam mobil. Bocah remaja itu juga masih mengeluh tentang orang tuanya, tentang perhatian yang semakin jarang didapatkannya. Itu sebabnya Bayu nyaman dengan rutinitas hari minggu mereka, merasa punya teman untuk berbagi rasa.

Perkembangan pemulihan kaki Bayu pun sangat baik. Dua minggu terakhir ia sudah mampu beraktifitas dengan menggunakan kruk. Meski tengil, ternyata dia cukup bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri.

Minggu pagi ini mereka tidak bisa bersantai lebih lama. Siang nanti si remaja labil berulang tahun. Ia mengundang Na ke pestanya di Kafe Kuning jam 11.00. Itu sebab jam 7.00 mereka sudah berpisah.

Jam 11.05 Na tiba di pelataran kafe. Bayu berdiri di dekat pintu masuk dengan kruk terjepit pada ketiak kanan, menyambut Na dengan senyum lebar.

"Ah, my lovely Kak Na akhirnya datang juga."

Dasar bocah sableng, ia nyaris memeluk Na jika tidak dipukul perempuan paruh baya di sampingnya.

"Bayu, yang sopan dong!" seru perempuan itu yang kemudian menyapa Na, "Hallo, Mbak Na, saya Tika, mamanya Bayu. Terima kasih bersedia menghadiri undangan kami."

Na tersenyum ke arah mama Bayu sambil mengulurkan tangan, "Saya Xana, Tante. Terima kasih atas undangannya."

"Yuk, kita langsung ke lantai 2 saja, Bayu masih nunggu teman-temannya."

Menginjak lantai 2, tante Tika menggiring Na ke meja di bagian sudut dekat jendela, di mana lalu lintas jalan Sudanco Supriadi dapat dilihat dengan leluasa. Tak berselang lama, seorang pramusaji menghampiri, tante Tika mempersilahkan Na untuk memesan makanan pembuka dahulu, karena makanan utama akan dihidangkan saat rekan-rekan Bayu sudah hadir semua.

"Mbak Xana usia berapa kalau tante boleh tau?"

"Saya 25 tahun ini, Tante." Na mencoba tersenyum. Entah mengapa gadis berkaca mata itu merasa sikap ramah tante Tika terkesan dipaksakan.

"Oh, sudah lama kerja di RSUD? Tenaga kontrak atau ASN?"

Na menghela napas perlahan, menatap ragu pada perempuan yang duduk di hadapannya. Rasa canggung muncul atas kalimat yang terucap dari bibir mama Bayu, padahal hanya pertanyaan biasa.

"Alhamdulillah, saya ASN sejak 2 tahun yang lalu, Tante."

"Oh, ya? Wah, alhamdulillah, lulus kuliah langsung lolos seleksi. Tapi, nih, Mbak ...."

Rasa tidak nyaman semakin kuat hinggap di hati Na saat mendengar kalimat tante Tika yang terjeda. Namun demikian dia tetap bertahan menatap perempuan bergaun salem itu sebagai wujud sikap sopan.

"Apa Bayu nggak terlalu muda buat Mbak Xana?"

Bagai tersambar sabetan Pecut Samandiman, wajah Na seketika terasa panas hingga ke telinga mendengar pertanyaan tante Tika.

Astaga, ini dipikirnya aku menjalin hubungan seperti apa dengan anaknya?

Na berdehem, mencoba melonggarkan tenggorokan yang tiba-tiba tercekat. "Maaf, Tante. Ini maksudnya Bayu terlalu muda gimana, ya?"

"Ya tante tahu, meski masih remaja tetapi Bayu itu penampilannya dewasa. Tapi tetap aja dia masih 16 tahun hari ini. Mbak Xana bisa kok dapat pria yang lebih dewasa dari Bayu. Mumpung Bayu juga belum terlalu larut menyukai Mbak Xana. Jadi kalau bisa, tante minta Mbak Xana jaga jarak sama Bayu ...."

"Ya Allah, Tante ... Xana nggak ada pikiran ke arah sana. Selama ini juga kami ketemunya hanya di lapangan untuk olah raga, lebih tepatnya Na menemani Bayu ngobrol selesai Na lari pagi." Na sangat heran, bagaimana bisa tante Tika menganggap dirinya sekonyol itu? Bahkan jarak usia mereka hampir 10 tahun.

"Lagi pula Xana nggak pernah menganggap Bayu lebih dari seorang adik. Tante bisa pegang ucapan Na!" Penjelasan yang sia-sia karena sekilas Na melihat perempuan paruh baya itu menipiskan bibir.

Yang benar saja, putri semata wayang Bapak Camat Prawira menaruh hati pada bocah remaja? Bisa-bisa Papa kena serangan jantung kalau sampai mendengar asumsi konyol itu.

"Katakan Mbak Xana bisa menganggap anak tante seperti adik. Tapi Bayu? Dengan bertemu setiap minggu, bisa nggak dia nganggep Mbak Xana sebatas kakak saja?"

"Fine, Tante maunya bagaimana? Saya jaga jarak sama Bayu? Oke! Selesai pesta, saya pastikan nomor Bayu sudah terblokir! Asal Tante tahu, selama ini Bayu yang ribut mengikuti kegiatan saya!"

Gemuruh dalam dada Na semakin tak terkendali, tetapi dia berusaha menekan amarah sepenuh hati. Ini ulang tahun bocah yang sudah dia anggap adik sendiri, jangan sampai Bayu malu dengan prasangka ngawur mamanya.

"Terima kasih atas pengertian Mbak Xana. Sebagai kompensasi saya minta nomer rek ...."

"No! Tante enggak perlu melakukan itu. Saya nggak akan miskin hanya karena kehilangan seorang teman lari pagi!" Na mendengus frustrasi, tidak tahu harus mnggunakan kalimat seperti apa agar mama Bayu mengerti.

Akhirnya Na memilih undur diri, tidak ingin kecewa lebih jauh lagi. Yang tidak disangka, gadis itu berpapasan dengan Bayu di ujung tangga. Menyusul seorang lelaki yang berparas serupa bocah remaja itu.

"Kak Na, mau kemana? Oh, ya, kenalkan kakak saya, Mas Banyu ...."

Na tertegun, Jadi mas Banyu bukan sopir? Ya ampun, bagaimana bisa selama ini aku menyangka dia sopir keluarga Bayu?

"Maaf, Bay. Kakak barusan dapat telepon darurat dari rumah sakit." Hanya itu jawaban aman yang melintas di kepala Na.

"Tapi kemarin Kak Na bilang hari ini free, kenapa tiba-tiba ada panggilan darurat, sih?"

Na memang payah soal berbohong. Sekarang dia harus memutar otak untuk mencari alasan agar bisa lepas dari tatapan intimidasi tante Tika. Bukan karena Na takut, tetapi lebih kepada rasa terhina sekaligus enggan ribut.

"Teman kakak ada yang minta tolong dijagain, dan kakak sudah mengiyakan ...."

"I fell something fishy, Mama ngomong apa sama Kakak?"

Na gelagapan, dia terkejut dengan tebakan Bayu.

"Bay, you're gonna grow up. Harus bisa menghargai orang lain terutama yang lebih tua, termasuk mamamu."

Sekuat tenaga Na berusaha menekan amarahnya agar suaranya tidak bergetar. Namun sayang, upayanya gagal total. Suara yang membuat Bayu meraup wajah kesal atas kepergian Na.

"Happy birthday, Boy. Semoga keberkahan akan senantiasa terlimpah untukmu dan masa depanmu." Usai mengucapkan kalimat itu, Na berlalu. Mengabaikan Banyu, melupakan kado yang tergeletak di meja dan belum sempat diberikan langsung kepada Bayu.

~TBC 💙

***

Bumi Bung Karno, Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top