Rasanya Kehilangan.
Aku pernah merasa kehilangan.
Dan itu, hampir saja membunuh ragaku.
Aku tahu kehidupan ini memang jalannya fana, tapi kumohon, Tuhanku.
Hanya satu permintaanku, jangan ambil dia, belahan hatiku.
Bisa saja aku bersiap dalam cerita kehilangan.
Tapi sampai saat ini, aku tak yakin bisa.
Sudah lama aku kehilangan.
Dan sudah terbiasa hidup tanpa cerita kehilangan lagi.
Kumohon kembalikan belahan hati ini.
Wanita bercadar itu masih terpekur menatap tanaman di depannya. Ia ingat betul bagaimana sang suami dulu memperlakukannya. Sikap sinis yang beralih kasih sayang.
Rasa manis yang terukir sampai harus menyembunyikan perasaan karena ikatan sah yang bertepuk sebelah tangan. Takdir Tuhan menawarkan sesuatu yang berbeda. Antara cinta dan kemelut asa. Walaupun jarak waktu terbentang dalam buncah hati Pras pada Dara, tetap saja akhirnya mereka bersatu dengan cerita yang kemudian tak sama.
Tuhan ..., Engkau Sang Maha Pengatur dan Perencana terbaik Yang menghadirkan kejutan cerita setelahnya.
Namun kini, lihatlah sang kekasih yang terpisahkan. Hanya bisa merapal doa dan harapan semu. Seutas keyakinan yang entah sampai kapan bertahan.
Adara memandangi secarik kertas di tangannya. Siang tadi, Alex menyerahkannya langsung sampai harus menerobos pertahanan rumahnya. Namun wanita salehah itu tetap saja terdiam membisu. Ia masih dilanda keraguan.
Gawai pintarnya yang berada di atas meja berdering nyaring. Om Arman, sang manajer menghubunginya. Setelah mengucap salam, Adara bergebu menanyakan suatu perihal.
"Alex pasti nipu, 'kan?" Adara langsung men-judge.
"Adara, aku sendiri yang melihatnya. Ternyata, kali ini ..., Alex benar."
Adara menjerit keras dan menangis sebisanya. Membuat seluruh isi rumah berlari mendekatinya. Ia terjatuh ke lantai. Entah sudah tetesan air mata ke berapa membuat lantai itu basah.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Bi Inem panik.
"Bi, panggil Pak Paiman."
Sang sopir segera datang. Sesuai permintaan, mobil sudah bersiap di depan Adara. Walaupun dengan langkah yang lemah, Adara tetap memaksakan diri masuk ke mobil.
Gawai di tangan Adara selalu saja bergetar. Tidak, bukan karena sibuk dengan masuknya panggilan yang hilir mudik, atau getaran tangan sang wanita bercadar, tapi karena isakan yang tak kunjung padam. Pilu yang sedang menusuk-nusuk ulu hatinya yang tak bisa ia tahan lagi.
Oh, Ya Allah, hamba bukan malaikat. Rasa sakit itu pasti ada saat gerbang kesakitan itu terbuka.
Terangkanlah, berikanlah hamba petunjuk-Mu, Duhai Dzat Yang Maha pemberi petunjuk.
⚘⚘⚘
Adara terdiam melihat tubuh itu terbujur lemah dengan mata tertutup. Tak bisa ia bayangkan bagaimana jadinya seorang Pras yang biasanya nampak tegap dan berwibawa, humoris dengan kebanyakan lebaynya.
Bagaimana seorang Prasetya Anggara yang dulunya sinis berubah wujud karena cinta tulus Adara. Berubah menjadi Pras yang bukan hanya lemah lembut, perhatian dan sayang pada keluarga, tapi juga menjadi sosok pemimpin yang murah senyum dan humanis bahkan kadang menangis dalam sujudnya.
Namun lihatlah kini, raga itu beringsut lesu dengan wajah pucat seolah tanpa aliran darah.
"Mas Praaaasss!"
Teriakan melengking itu tak kuasa dibendung Adara. Cukupkah seperti ini saja cerita hidupnya bersanding dengan Pras? Haruskah ia merelakan saat Pras sudah akan beranjak ke alam lain, alam dengan dinding kokoh yang tak tertembus, yaitu alam barzah, alam penantian setiap insan menunggu keputusan Rabb-nya.
Hendak ke alam penyiksaankah atau alam penuh kenikmatankah?
Dan akhirnya gelap menyambut dalam pejaman mata Adara. Tubuh wanita itu pun melemah. Sama seperti tubuh yang ia perhatikan sedari tadi. Adara tak sadarkan diri setelahnya.
🌿🌿🌿
Bi Inem dan Bi Narti memandang iba majikan yang disayanginya itu. Belum cukupkah cerita kesedihan seorang Adara di mata mereka. Mereka hanya bisa menghapus air bening di sudut mata seraya terus berdoa agar sang majikan bisa tegar menghadapi ujian berat yang dicoba Tuhan sekali lagi pada Adara.
"Mama?"
Arimbi melangkah ragu melihat tubuh Adara tergolek tak berdaya. Ia tercekat dan kemudian duduk di tepi tempat tidur sembari mengusap telapak tangan dan kaki Adara dengan minyak kayu putih. Gadis itu menoleh pada paman sang mama, Om Arman dengan tampang khawatir.
"Mamamu gak pa-pa. Dia cuma syok ngeliat papamu seperti itu," jelas Om Arman.
Arimbi bergeming dan mengangguk perlahan. Ia mendesah pelan mengingat kejadian tadi setelah pulang dari kampus. Mamanya, Adara, digotong beberapa orang perawat yang baru turun dari ambulan. Om Arman keluar kamar. Arimbi pun beranjak dari sisi Adara menuju teras depan menemui Om Arman. Sementara Bi Inem bertugas menjaga sang mama.
"Aku yang paling tidak tahu apa-apa, Om. Pantas saja selama ini mama sering murung. Dan kedua sodara laki-lakiku seolah menyembunyikan sesuatu."
Arman menoleh, "Sekarang tidak ada yang perlu dicemaskan. Pras baik-baik saja. Papamu itu hanya butuh istirahat."
"Jangan menipuku lagi, Om kakek. Aku udah tau, papa lagi gak baik-baik aja."
Om Arman memijat keningnya dengan tertunduk. Sesekali ia melihat ke arah Arimbi. Apa yang harus ia jelaskan pada anak kedua Pras dan Adara itu.
Kehidupan Pras dan Adara sudah bahagia. Dikaruniai tiga orang anak yang bisa dibilang ketiganya cerdas dan memiliki perilaku yang baik. Namun mungkin sudah saatnya angin kemarau itu datang membawa sedikit cobaan bagi keluarga bahagia itu lagi.
Bukankah Allah sudah mengisyaratkan dalam kalam-Nya bahwa setiap mukmin akan diuji?
Allah SWT berfirman:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, Kami telah beriman dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 2-3)
Laki-laki setengah baya yang kini berdiri di hadapan Arimbi itu klemudian mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
"Tapi masalahnya kamu harus tutup mulut soal ini dari semua orang. Mama kamu sebentar lagi siuman. Kakek sudah memberitahu ini sama Agra dan Faesya." Om Arman menggunakan jari telunjuknya untuk mengingatkan Arimbi.
"Terserah. Aku pusing."
Arimbi lanjut masuk ke dalam kamar. Pras, sang papa kini meringkuk tak berdaya di rumah sakit. Bukan rumah sakit biasa, tapi di rumah sakit jiwa. Benar saja, kemaren ia memang koma selama beberapa minggu setelah kecelakaan. Namun kejelasan bagaimana ceritanya bisa sadar dari koma lalu menjadi abnormal, tak ada yang tahu.
🌿🌿🌿
Ponsel mini di tangan Arimbi terjatuh. Padahal ia sedang menelepon Agra dari Australia. Mana di otaknya sekarang dihampiri banyak isi berkelabatan yang mengganggu. Masih saja ada orang berjalan tak melihat situasi. Ia mengambil ponsel dan melihat layar. Panggilannya dengan sang kakak terputus. Sangat disayangkan sekali karena untuk menghubungi Agra saja sulitnya minta ampun karena kesibukan sang kakak ditambah tempat penelitian Agra yang memang kurang sinyal karena jauh dari kata pemukiman. Ia mencoba menghubungi sang kakak. Nihil. Nomor Agra sudah sulit untuk dihubungi. Ingin rasanya Arimbi berteriak.
"Bisa nggak sih jalannya gak pake nyenggol hape orang sampe jatoh??"
Nada agak tinggi itu itu terpaksa keluar dari bibir mungil Arimbi karena saking kesalnya ia. Ia meraih ponsel kesayangannya itu dari lantai.
Pembicaraan Arimbi dan Agra adalah seputar sang papa Pras yang sudah sadar dari koma, tapi berkelakuan aneh. Dan soal sang mama Adara yang terlihat sering menangis dalam diam.
"Gue minta maaf, tapi kenapa hape butut gitu masih lo pake?"
Bukannya sebuah jawaban yang Arimbi terima, malah pemuda di sampingnya itu mengibarkan bendera perang bagi Arimbi. Setelah meminta maaf bukannya mengakui kesalahan malah mencela ponsel kesayangan sang mama Adara jaman sekolah dulu yang diminta Arimbi untuk menjadi miliknya.
"Lo!" tunjuk Arimbi.
Pemuda itu malah tersenyum sarkastis melihat tingkah Arimbi yang semakin tersulut emosi. Ia melanjutkan langkah tanpa melihat pada Arimbi. Sementara gadis itu? Jangan ditanya, ia menggerutu karena kesal.
"Udah gak minta maaf malah senyum mengejek. Gak ada yang lucu!" gerutu Arimbi.
Arimbi memandangi gawai kesayangannya itu lagi. Percakapan dengan kakaknya akan ia lanjutkan nanti saja, pikirnya. Pikirannya kini hanya terpatri pada papa dan mamanya. Papa yang sudah dibawa pulang ke rumah. Namun kelakuannya malah aneh dan mama yang terus-terusan menangis. Itu saja sudah cukup membuat sudut matanya berair.
"Oh Tuhan, ujian apa lagi ini?" gumamnya dalam keluh kesah.
🌿🌿🌿
Adara menunduk dengan doa yang tak berhenti di atas sajadah setelah ia melaksanakan sholat hajat. Berharap jawaban dari doa-doa yang ingin disegerakan oleh Sang Pencipta. Namun bukan Adara namanya jika ia berputus asa. Segala keikhlasan dan kepasrahan ia serahkan semuanya pada Sang Maha Mengatur alam semesta dan isinya.
"Nyonya Adara, ada tamu." Sebuah ketukan dari pintu kamar membuyarkan doa khusyuk Adara.
Wanita bercadar itu memakai cadarnya kembali dan membuka pintu.
"Siapa, Bi?"
Yang ditanya hanya menoleh sesaat ke belakang lalu melihat pada Adara dan menggeleng.
"Orangnya masih muda, Nyonya."
Adara tersenyum, "Ya sudah. Minta tolong buatkan teh manis ya, Bi."
"Baik, Nyonya." Bi Inem mengangguk dan berlalu ke dapur.
Adara menemui tamu tadi. Seorang pemuda mengangguk sopan pada Adara.
"Mencari siapa?" tanya Adara.
"Arimbi, Nyonya. Maaf saya lancang masuk. Tadi penjaga pos depan menyilakan saya masuk."
Hati Adara heran. Ia jadi bertanya dalam hati, benarkah anak gadisnya itu pacaran seperti yang orang-orang pernah kabarkan padanya? Ia bergeming sejenak. Rasanya kesedihan Adara bertubi-tubi saat ini. Bagaimana akan menegur Arimbi sementara perasaannya masih berkecamuk memikirkan sang suami.
Bi Inem datang dan membawakan nampan berisi secangkir teh pesanan Adara. Ia menyuguhkan minuman manis itu pada si pemuda. Adara menyilakannya duduk.
"Ada perlu apa? Arimbi belum pulang sepertinya."
Pemuda itu membuka tasnya dan menyerahkan sebuah buku catatan kecil dan bolpoin di atasnya.
"Saya tahu nama gadis itu dari nama di buku catatannya, Nyonya. Di situ juga ada alamat Arimbi. Tadi saya gak sengaja menabraknya di kampus dan buku ini terjatuh tanpa gadis bernama Arimbi itu sadari. Saya mencarinya ke mana-mana gak ketemu, Nyonya. Makanya saya langsung serahkan ke sini saja. Bukannya Anda adalah mama Arimbi? Maaf, saya tanyakan itu pada pak pos penjaga di depan." Pemuda itu coba menjelaskan karena ia tak ingin ada kesalahpahaman.
Bibir Adara tersungging seulas senyum. Setidaknya hatinya sedikit merasa lega. Pemuda itu nekad datang ke rumahnya mencari sang anak gadis bukan karena sebuah hubungan khusus, melainkan karena ingin mengantarkan barang anaknya. Adara menerima buku catatan itu dengan senang hati.
"Terima kasih, Nak. Kau cukup amanah menyerahkan barang orang lain," puji Adara.
"Bagaimana pun itu barang bukan milik saya, Nyonya. Saya harus menyerahkannya langsung pada orangnya langsung atau pada orangtuanya."
Wanita berhijab itu menyukai tingkah laku sang pemuda.
"Siapa namamu, Nak?"
"Saya Althaf, Nyonya. Althafarizki Rahman."
Dari balik hijab itu, Adara tersenyum. Nama yang sangat bagus, pikirnya.
"Kalo begitu, saya permisi dulu, Nyonya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Adara masih memandangi jejak langkah menjauh pemuda itu. Setelah itu, ia kembali masuk ke dalam kamar. Adara memandang Pras yang duduk bergeming memandangi dunia luar dari pintu balkon.
"Sholatlah dulu, Suamiku. Waktu maghrib sudah hampir habis."
Pras masih bergeming dan tak mengindahkan perkataan sang istri.
Adara hanya bisa menatap datar sang suami. Setelah keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sembuh total, Pras lebih banyak diam. Seolah tuli, setiap perkataan siapapun tak ia pedulikan. Adara hanya bisa pasrah sembari terus berdoa semoga ada jalan keluar setelah ini.
🦋🦋🦋
Bersambung
Situbondo, 10 Oktober 2019.
___________________
----------------
Maafkan ceritanya yang absurd yaa,,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top