Keseimbangan Jiwa

Hai sahabat HADAS Versi B,, HADAS <Harapan di Atas Sajadah>, kalo penasaran versi A_nya, maaf bana belinya via buku dah yapp. Bisa pesen di shopee ato bisa dm ig_nya Bang zainulmind entah apa,. Yang aselli,, yang ORI.

Ane nulisnya gak sampe ribuan perbab_nya yapp. Kapan ana pengin up,, ane up. Setuju oke??

🍎🍎🍎

"Mama mau pergi ke mana?"

Jelas saja tarikan alis Arimbi mengerutkan tanya di hati. Sang mama, Adara memakai pakaian rapinya dan menenteng tas mewah. Bersiap diri entah ke mana.

"Sayang, mama mau belanja bulanan. Semua bahan di dapur habis."

"Biasanya juga nyuruh para bibi?"

Kode lambaian tangan Adara menyiratkan tidak. "Mama pengin belanja. Hobi mama dari tempo dulu. Lagian masa belanja harian mama kayak make-up sama kebutuhan rumah tangga para bibi juga yang beliin?"

Arimbi tergugu, mengalah dan menganggukkan kepala. Hanya saja dalam hati ia merasa ada yang aneh.

Jangan-jangan, mamaa ....

Bibir Arimbi bercecap, tapi tak berbunyi. Melihat sang mama tersenyum sembari menenteng tas mewah.

"Oww, Mam? Mama sehat, kan?" Pertanyaan setengah menduga dari Arimbi hanya dibalas Adara dengan anggukan disertai senyum semringah. Membuat Arimbi menggaruk ubun-ubunnya yang tertutup hijab model pashmina berwarna ungu motif bunga kecil.

Kejadian sebelumnya.

Adara menangis melihat sang suami menatap tak suka padanya. Wanita yang sudah memiliki tiga anak dewasa itu meringis merasa sakit hati. Begitu nyeri dalam dada padahal selama ini, Pras selalu tersenyum manja bila menatapnya.

Dasar sakit gila apa ini? Dirinya sendiri rasanya akan ikut gila.

Abai dan langsung menghamparkan sajadah mungkin solusi jitu bagi Adara. Sholat dhuha tak lupa tambahan sholat hajat dan zikir sebentar dari atas sajadah.

Terkenang ucapan sang sahabat yang mengingatkan bahwa Allah akan selalu dan selalu bersama orang yang sabar.

Masalah yang datang adalah tantangan bagi orang yang yakin pada Allah. Masihkah ia yakin bahwa Allah itu ada dan memberi solusi.

Kali ini Adara kembali diuji dengan ujian yang tak mudah dilewati. Ujian yang datang bagi sang suami dan imbasnya pada dirinya.

Baiklah. Aku bisa selesaikan ini. Insya Allah.

Hati yang baik adalah yang mau membisikkan sesuatu yang baik pula pada diri sendiri.

Baiklah, yakin. Bismillah.

Adara beranjak dari atas sajadah dan mengenakan pakaian rapi. Sedikit riasan demi menutupi wajahnya yang kusut setelah menghadapi masalah belakangan ini. Pashmina, bentuk hijab kekinian yang ia pilih dengan taburan manik-manik kecil di sekitarnya. Tak lupa cadar. Memilih busana berwarna gold cerah. Lalu menenteng tas mewah. Bukan tas branded ternama, tapi cukup high class.

Langkah kaki jenjangnya yang pelan mendekati sang suami yang menatapnya tetap tak suka. Adara memilih abai dan duduk di depannya.

"Mas, Adara suntuk. Pengin jalan-jalan. Mau ngajak Mas Pras, keadaannya lagi ajaib begini. Adara, izin keluar rumah sendirian ya? Cuma minta anter sopir kok."

Bukannya menyahut, Pras malah kembali teriak- teriak. Seolah ingin mencakar wajah sang istri.

"Paham, Mas juga pengin jalan-jalan. Nanti saja ya?"

Tanpa diduga, tampilan wajah Pras langsung berubah. Ia diam seperti murung.

"Sudah, Adara pergi dulu ya? Biar nanti Bi Inem yang nyuapin Mas. Dadah, Sayang."

🍞🍞🍞

Agra meraup wajah Arimbi yang masih melongo dengan mulut menganga. Ia mengambil apel yang sudah terpotong dan terkupas di tangan sang adik dan belum ada bekas gigitan. Asik mengunyah dan duduk dekat sang adik. Agra melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.

"Berapa menit lagi selesai melongonya?"

Terdengar helaan napas pelan, tapi berat keluar dari bibir manis sang adik.

"Kayaknya orang gila nambah deh Kak di rumah ini." Helaan napas Arimbi terdengar putus asa.

Bukan berniat kurang ajar pada sang mama. Ia hanya kesal mendengar Papa Pras berteriak kencang beberapa kali sehari. Padahal dari kamar dengan jarak beberapa meter ke lantai bawah. Saking kerasnya.

Dan belum usai sang papa, sang mama muncul dengan drama baru membawa babak cerita baru. Ingin saja dirinya yang memang sedikit labil menendang tong sampah masuk ke ruang tamu.

Jelas saja Agra tertawa lebar, "Ya itu elu, Adik."

"Bukan!"

"Lalu?"

"Mama."

Agra tambah tawa lebar. "Mama sehat. Buktinya tadi nyapa kakak. Dan mama keliatan baik-baik saja." Tatapan kini beralih pada sang adik yang malah terlihat aneh. Agra menyipitkan mata menoleh pada Arimbi. Sekedar berpura-pura supaya iklim rumah itu tak terasa menyedihkan.

"Apaan sih!"

Tak jadi menceritakan tingkah aneh sang mama, Arimbi memilih bangkit menuju kamar. Sebelum itu, tangannya menimpuk bantal sofa lurus ke wajah sang kakak.

🍟🍟🍟

"Trus, gimana respon Pras?"

"Masih seperti biasa, Om."

"Mungkin perlu latihan lagi. Yang sabar ya, Adara."

Adara menampilkan senyum di balik cadarnya. Hal itu terlihat dari garis tepi kelopak beningnya.

Aku belajar percaya kembali dari masalah, bahwa Allah akan memberiku solusi.

Adara menekan gambar berbentuk gagang warna merah di layar tipis yang ia genggam. Kembali kebikan istighfar dan sholawat atas Nabi tak luput dari bibir mungil itu. Dari setiap helaan, sang kalbu meminta maaf pada Sang Rabb.

Aku adalah seorang pendosa. Bukan merasa sebagai 'abid, ahli ibadah apalagi 'alim, ahli ilmu. Karena itu, aku tak merasa bangga dengan diriku. Aku memohon ampunan, Ya Allah.

Wanita bercadar itu merasakan letih di seluruh tubuh dan penghujung hatinya. Dalam pejaman mata, sebulir bening jatuh satu persatu yang segera ia hapus.

Kelemahanku adalah air mata sebagai penanda aku ini manusia.

Tangan Pras sengaja ia ikat di pegangan kursi roda begitupun kakinya. Mulut Pras, ia sumpal dengan lakban tebal. Sengaja Adara melakukannya. Kali ini ia mencoba sedikit bar-bar pada sang suami. Padahal dokter kejiwaan yang menangani Pras sudah katakan bahwa sang suami butuh ketenangan jiwa dan raga untuk sembuh.

Kursi roda yang ditumpangi Pras bergetar seolah sang penghuni sedang marah. Adara menoleh dengan tatapan sarkas sembari meniup ujung kukunya di jari jemari.

"Mas Pras, aku bakal lepas kalo misalkan Mas janji nggak teriak lagi. Seisi rumah ini pening lho Sayang dengernya."

Setelah tak terdengar getaran kursi roda bergetar, Adara melanjutkan perkataannya, "Besok Adara ada arisan sama para istri kolega bisnis kita. Lumayan, arisan berlian. Aku udah daftar lho, Mas."

Adara memang tak menoleh, tapi ia merasakan kemarahan sang suami yang tengah sakit jiwanya itu.

🍔🍔🍔

"

"Gimana kata dokter, Sayang?"

Wajah keibuan yang mulai senja itu memandang iba pada Adara.

"Kata dokter, Mas Pras mengidap skizofrenia karena trauma di otak akibat benturan. Belum diketahui pasti benturan dari kecelakaan atau sebuah pukulan benda tumpul. Pulang-pulang, Mas Pras sudah begini. Semakin hari malah semakin parah."

"Adara cantik sudah cari informasi soal benturan karena apa?"

Adara menggeleng lemah. "Bahkan Om Arman sudah sewa detektif, tapi hasilnya nihil." Wanita bercadar itu mengangkat bahu dan merapatkan bibir atas bawahnya.

"Apa anak mama yang pernah nakal itu bisa sembuh?"

"Kata dokter bisa saja, tapi melihat respon per harian Mas Pras, kemungkinannya kecil, Ma."

Devika, mama Pras, yang tak lain mertua Adara, dengan nada seperti biasa, anak usia dini yang terperangkap dalam tubuh wanita senja, memamerkan kegenitannya pada sang menantu yang sudah dihapus dan naik status menjadi anak sendiri mendekati Adara dan berbisik, "Kalo cuma mau lakon drama, jangan lupa panggil mama ya, Sayang. Tanpa Mama Devika yang masih segar nan jelita ini, drama anak mama cantik takkan pernah sempurna." Adara tergelak dan melebarkan tawanya.

Spontan saja Pras yang melihatnya melirik keduanya seolah curiga. Padahal jarak mereka agak jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top