Satu
Kedua bagian daging yang dibungkus kulit tipis nan lembut dengan rona kemerahan itu mengembang secara bersamaan, saat indra penglihatannya menangkap pemandandangan di depannya.
Indah, cantik, unik, romantis dan eksotis. Entah kata apa lagi yang pantas untuk mengungkapkan itu semua. Cahaya lampu kecil tapi banyak, berkedip seirama dan silih berganti, semakin indah dengan cahaya lilin di tengah meja serta bunga mawar merah yang bertebaran di sisi penjuru ruang terbuka di tengah kolam berenang itu.
Langkah demi langkah mengayun lembut secara perlahan untuk merasakan kebahagiaan sempurna miliknya. Tak di sangka-sangka, ternyata pria di sampingnya bukan hanya humoris, namun memiliki sisi romantis yang teramat sistematis.
Sedikit terdengar bunyi berdecit dari suara kaki kursi yang di tarik mundur oleh tangan kekar milik pria sempurna yang kini berada dihadapannya. Setelah gadis bergaun putih dengan model tanpa lengan itu duduk manis di tempatnya, pria berjas putih itu pun menjentrikan jarinya dan seketika lampu utama di tengah mereka padam sempurna. Kini hanya tinggal cahaya lilin dan lampu kecil itu yang menerangi keberadaan sepasang kekasih dengan niat tulus akan mengikat janji suci di esok hari.
"Apa kau menyukai semua ini, Celline?" Rivai bertanya seraya menggenggam tangan gadis itu lembut.
"Tentu saja, aku menyukainya," jawab Celline dengan senyumam yang masih tersungging di bibir tipisnya.
"Apa kau menyukai dan mencintai pria dihadapanmu ini, Celline?" Rivai kembali bertanya, namun kali ini diberi penekanan pada kata 'pria dihadapanmu ini' dan genggamannya berubah menjadi lebih erat.
Kedua alis tebal pada wajah selaras itu bergerak dan hendak menyatu dengan tatapan sedikit lebih tajam serta dalam menembus iris mata pria dihadapannya.
"Rivai De'Jodi, kekasihku, calon suamiku, apa kau masih meragukan kesungguhanku? Esok pagi kita akan mengikat janji suci di altar itu." Celline menunjuk sebuah bangunan di sisi kolam. "Aku mengenalmu sedari dulu dan aku mencintaimu dengan segala kekurangan pada dirimu. Aku menerima ketidakmampuanmu, kamu yang humoris dan tidak bisa bersikap romantis. Namun, nyatanya selama ini, semasa kita bersama, kau selalu menciptakan keromantisan dengan caramu sendiri," tutur Celline menjelaskan semuanya.
Sontak tangan kekar sedikit kasar itu terlepas dari tangan mungil Celline dengan gemetar disertai air mata yang tertahan di pelupuk mata.
Rivai bangkit dari duduknya dan menghampiri Celline lalu meraih tangannya dan kini bertukar posisi. Ya, saat ini Rivai duduk di kursi yang tadinya ditempati Celline.
Kening Celline kembali berkerut saat melihat Rivai merogoh kantung jas bagian dalamnya dan membuka sebuah botol kecil lalu mengeluarkan sebutir kapsul berukuran satu senti.
"Obat apa itu, Rivai?"
"Hanya obat penenang, sayang. Jantungku tak kuasa menahan rindu dan ambisi untuk memilikimu saat ini. Jadi, kupikir dengan menelan kapsul ini akan lebih baik."
"Obat penenang macam apa itu?"
"Hanya obat penenang biasa, sayang. Dosisnya juga sangat rendah, kalau kau tak percaya, mari kita telan bersama."
Tak ada jawaban atau pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil nan tipis milik Celline karena ia telah di bungkam oleh bibir lembut milik Rivai. Lumatan singkat terjadi dan gigitan kecil mendarat di bibir kenyal dan nakal itu.
Celline mundur satu langkah untuk menjauh dari Rivai yang saat ini tengah menyeringai dengan tatapan tajam menusuk iris matanya. Celline menyentuh bibirnya dan beralih menyisir kulit tipis bagian leher hingga dada dan berakhir di perutnya. Kedua matanya mulai memanas dan bulir-bulir bening berjatuhan dari sudut indra penglihatannya itu. Rasa mual, perih, seperti tersayat silet berkarat yang merobek ususnya kian mendera hingga pada akhirnya ia terjatuh dengan lutut yang mendarat terlebih dahulu.
Kepalanya terasa pening dan pandangannya mulai tidak jelas. Rasa sesak mulai membuatnya semakin tersiksa, terlebih dengan cairan merah memaksa keluar dari mulutnya. Tenggorokannya seperti tercekik. Kini otot-otot di tubuhnya mulai kaku dan tak bisa ia gerakan. Kini tubuhnya telah terkapar sempurna di lantai yang bertabur bunga itu.
Semua rasa sakitnya itu terjadi begitu cepat ia rasakan setelah menelan kapsul yang diberikan oleh Rivai melalui ciuman singkat nan hangat, namun akan selalu teringat oleh keduanya.
Langkah tegas terdengar menggema di telinga Celline ketika Rivai berjalan menghampirinya sembari merasakan penderitaan yang telah ia berikan. Kebahagiaan baginya saat melihat gadis pujaanya terkapar lemah tak berdaya menikmati proses kematiannya yang cukup singkat menurutnya dibandingkan penderitaanya selama bertahun-tahun menjadi penonton drama romantic yang nyata.
Rivai melepaskan jas putihnya dan melemparkannya ke sembarang arah, lalu ia melonggarkan kain berwarna hitam yang sebelumnya melingkar indah dan membuatnya terlihat gagah di kerah kemeja putih itu. Setelah itu, ia membuka beberapa kancing atas kemejanya dan merogoh kantung celana bagian belakangnya. Di tatapnya beberapa detik pisau lipat di genggamannya itu. Rivai tersenyum miring dan pandangannya beralih pada Celline dengan wajah memelas seolah meminta agar pria dihadapannya itu tidak melakukan hal yang jauh lebih gila di detik berikutnya.
"Jangan memelas seperti itu, sayang." Rivai menempelkan ujung pisau lipatnya di pipi Celline dan bergerak perlahan dengan sedikit tekanan di bagian kulit tipis yang menggoda itu.
"Manis, ini terlalu manis bagiku. Kau tahu, Celline? Aku tidak terlalu suka dengan rasa manis." Rivai bangkit dan meraih wadah yang berisikan garam siap tabur di atas meja. Setelah itu ia menaburkan bulir-bulir halus dari garam tersebut di bagian kulit tipis Celline yang putih dan tidak mulus lagi karena jejak sayatan dari pisau lipat milik Rivai telah membuat jalan untuk cairan merah itu keluar dengan bebas mewarnai bagian tubuh dan gaun putih itu.
Pekik tertahan serta rintihan terlihat jelas begitu menyiksa bagi Celline. Tapi, begitu sangat menyenangkan bagi Rivai. Kini bibir yang sedari tadi membentuk simpul kebahagiaan itu mulai mendarat di kenig, pipi, dan mulai bergerak turus ke leher serta dada dari Celline. Namun gerakannya terhenti saat suara tembakan dari pistol tanpa peredam suara itu membuatnya tersentak sekaligus memekik menahan sakit di lengannya, karena satu muntahan proyektil bersarang di lengan kokohnya.
"Menjauh dari kekasihku, Rival!"
Satu tendangan dari pria berwajah mirip persis dengan pria yang dipanggilnya Rival itu mendarat tepat di bagian kepala dan membuatnya terguling sehinga ada jarak antara mereka.
Tatapan sendu dengan linangan air mata semakin deras dan perih saat bercampur dengan luka yang ditaburi garam itu. Jika saja tubuhnya masih bisa bergerak, Celline akan berteriak sekuat tenanganya dan memaki pria bernama Rival yang telah menipu dirinya dan mengaku sebagai Rivai kekasihnya sekaligus calon suaminya.
Entah apa motif sebenarnya sehingga Rival sebagai adik kandung dari Rivai itu tega melakukan perbuatan sekejam iblis. Celline tidak mengetahui sama sekali dan hanya bisa melihat perkelahiran antara dua saudara kembar itu.
Beberapa pukulan keras mendarat tepat di hidung serta perut Rivai yang membuat wajah tampan nan rupawan tanpa cacat itu kini dipenuhi darah. Terlebih di bagian lengan serta perutnya yang berhiaskan goresan dari pisau lipat milik Rival.
"Andai saja ayah dan ibu masih ada, mungkin dia akan ikut menjadi penonton yang baik akan film yang tengah aku perankan. Anak iblis yang telah mereka lahirkan kini telah menjelma menjadi iblis sungguhan dan sebentar lagi berhasil menjadikan saudaranya menderita dengan nama dan marga yang selama ini dibangga-banggakan."
"A ... apa maksudmu berbicara seperti itu, Rival? tanya Rivai sembari merangkak dan hendak bangkit berdiri.
"Namamu adalah Rivai DeJodi, yang berarti seorang pria jomlo di tinggal mati. Dan aku adalah, Rival DeDevil. Seorang pria iblis yang akan mencabut nyawa kekasihhmu dalam suasana dinner romantis yang dia harapkan."
"Dinner romantis macam apa yang kau bicarakan, Rival?!"
Dengan sisa tenanga dan emosinya ia bertanya menggunakan nanda tinggi dan dorongan cukup kuat sehingga membuat sang adik iblis itu tumbang. Rival terjatuh dan dengan sekejap ia kembali berdiri lalu melakukan serangan balasan kepada sang kakak. Namun kali ini Rivai tidak menyerah dan berbalik melawan adiknya itu. Pukulan, tendangan serta goresan dan sedikit tusukan terus menggores kedua tubuh kakak beradik itu.
Pada akhirnya dengan keahlian bela diri yang dimiliki Rivai, ia berhasil mengunci pergerakan Rival dan mejatuhkannya. Pukulan keras tepat di wajahnya lalu kearah perut dan setelah itu tendangan keras dari kaki jenjang miliknya membuat Rival terpental lalu jatuh ke tengah kolam yang cukup dalam.
Dengan napas yang berat ia berbalik membelakangi kolam serta Rival yang tengah tenggelam menuju ke dasar kolam, Rivai menepis air matanya yang hendak terjatuh dari kedua sudut indra penglihatannya itu.
"Maafkan aku, Rival. Tapi aku tak ingin ada kematian lagi setelah ayah dan ibu yang kau lenyapkan secara keji dan menjadikan mereka sebagai campuran masakan cepat saji di restoran kita. Aku menyesal selalu membela adik iblis sepertimu."
Dengan langkah berat ia terus berjalan menghampiri Celline dan berjongkok. Perlahan tangan penuh luka itu meraih tubuh calon istrinya dan mengusap lembut wajah putih pucat berhiaskan warna merah dari luka dan darah yang di tinggalkan oleh pisau lipat milik Rival.
Dor!!
.
.
Dor!!
Dua timah panas menembus betis dan bahu dari Rivai. Tendangan serta pukulan berulang kali di wajah Rivai membuatnya tak berdaya dan terkapar lemah dengan! napas yang tersenggal seoalah akan mati di detik berikutnya. Namun, takdir berkata lain, Rivai tetap hidup seraya menyaksikan kekejaman sang iblis yang beraksi di depan matanya.
Sayatan demi sayatan serta gigitan kecil dan kuat terlihat menjijikan sekaligus menyedihkan. Tubuh mulus dengan paras cantik Celline yang masih bernapas itu tengah menjadi santapan sempurna untuk makan malam seorang pria muda bernama Rival De'Devil, sang iblis mempesona kembaran dari Rivai De'Jodi pria tampan nan menawan yang saat ini tengah tertawan dan menderita sekaligus tersiksa karena saudaranya itu.
"Ah ya," Rival diam sejenak. "Satu hal yang harus kau ingat, ini bukanlah dinner romantis, melainkan sadis."
Jerit tangis menjadi alunan nada indah sebagai musik mistis yang ia anggap romantis untuk menemani makan malamnya yang teramat eksotis dan sistematis.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top