9

Marvin POV

Grrr... memang benar-benar bangsat si playboy hina itu. Aku makin membencinya setengah mati! Anjing!! Jangan harap dia bisa mendekatiku lagi!

Aku sudah muak dan sangat capek. Capek hati, capek pikiran, capek emosi, pokoknya capek segalanya. Bahkan kedua kakiku juga capek. Aku sudah mondar-mandir sedari tadi mirip seterikaan di atas balkon ini. Maju - mundur - maju - mundur tak jelas. Aku heran mengapa kedua kaki bodohku ini bahkan tak bisa diam walau sejenak. Padahal aku ingin bersikap cool, calm, and confident, seolah tak terjadi apa-apa. Dasar kaki sialan! Sudah se-ngebet itu kah kalian ingin bertemu dengan pria bermulut paling sampah sedunia itu?

Hentikan, bego!! Awas bila kalian masih tetap tak mau diam, jangan salahkan aku jika kalian kupotong lalu kubuang ke tempat sampah! Aku serius! Aku lebih baik cacat daripada aku harus mencari dia. Emang dia itu siapa? Cih, playboy mesum seperti dia itu banyak dijual kiloan di pasar rongsok, yang bahkan sudah diobral habis-habisan pun tetap tak laku. Dasar binan keparat!

Tshh, aku tak sudi jika aku yang harus menyusulnya. Harus mencari dia dimana? Aku bahkan tak tahu Ray menghilang kemana. Terlebih aku ini straight dan dia itu yang homo akut. Jadi dia yang seharusnya mengejar-ngejar sambil memohon-mohon padaku untuk menjadi pacarnya, meski jawabannya sudah pasti seribu persen aku tolak. Ingat, aku bukan pecinta sesama jenis! Aku masih suka cewek. Bahkan tadi aku juga cemburu melihat Jess bermesraan dengan playboy mesum itu di perpustakaan. Iya benar, aku memang cemburu gegara Jess bukan karena si keparat itu.

Ah, brengsek!! Bahkan untuk hal sepele seperti itu pun aku juga tak mampu menipu diri sendiri. Dasar hati tak berguna! Kenapa kau harus jadi emosi dan panas melihat playboy norak itu merayu orang lain? Dan kumohon bantu aku kali ini, jangan merengek-rengek membujukku seperti kedua kaki bodohku itu agar aku segera mencari pria mesum itu. Please, aku masih punya harga diri!

Aku seharusnya sangat membencinya karena dia sudah memperkosaku. Aku ini korban nafsu bejatnya. Aku sudah cukup mengalah dengan bersedia menjadi temannya karena dia sudah membelaku di depan guru BP. Apa itu belum cukup? Apa aku masih harus mengejarnya juga?

Sial, mengapa aku jadi uring-uringan sendiri seperti ini. Mengapa playboy kampung itu tak segera kembali menampakkan batang hidungnya untuk menemuiku? Apa dia tak tahu jika aku sedang menunggunya disini? Hari sudah semakin siang dan sinar matahari makin panas menyengat. Apa dia berniat menjemurku ditempat ini sampai kering kerontang seperti ikan asin?

Dasar lonte! Katanya tak akan pergi sebelum mendapat maaf dariku, tapi mana buktinya? Baru juga aku memunggunginya tak sampai setengah jam, dia sudah kabur. Itu mulut atau silit kuda sih? Sepertinya dia tak benar-benar serius dengan ucapannya yang mencintaiku. Semua itu hanya bullshit, tai kebo!

Aku pasti akan membuat perhitungan dengan playboy mesum itu. Aku akan menyiksanya perlahan sampai dia menderita kesakitan hingga kemudian tewas mengenaskan.

Aku akan mencongkel sepasang mata keranjangnya itu, membelah jadi empat hidung belangnya, mengiris-iris lidah gombal sampahnya, dan memotong burungnya sampai putus biar dia tahu rasa. Kemudian aku akan menggantung tubuhnya di bawah pohon jambu dan membiarkannya sampai mati karena kehabisan darah. Lalu kerumunan gagak hitam akan datang untuk berebutan memangsa bangkainya. Gyahahaha.... Lenyap sudah dia dari muka bumi ini!

Sial, aku menyerah! Aku akan mencarinya! Ternyata membencinya bahkan sampai ingin membunuhnya pun, tak kunjung juga meredakan kegelisahanku. Damn! Jika saja aku tahu rasanya akan begitu menderita seperti ini, aku berharap aku tak akan pernah jatuh cinta. Persetan dengan cinta monyet! Aku lebih baik mengisi masa SMU-ku dengan kejombloan namun kehidupanku tenang dan damai bersama kedua sahabatku itu. Fuck you, Ray!

Bingung dan cemas. Aku tak menemukan dia di perpustakaan yang sudah sepi dan kosong, hanya terlihat ibu penjaga yang galaknya bukan main itu. Sepertinya jam istirahat siang para siswa sudah berakhir. Aku tak memakai arloji jadi aku buta waktu.

Aku sudah mencarinya kemana-mana bahkan sampai di beberapa kamar mandi pria, tapi hasilnya tetap sama. Nihil. Playboy mesum itu tak ketemu. Sial, kemana perginya orang itu? Membuat aku jadi khawatir saja! Ups, ralat! Aku baik-baik saja. Aku malah senang dia hilang, sekalian tak usah muncul lagi dihadapanku. Semoga dia diculik alien lalu dibawa ke Mars buat souvenir atau diculik kuntilanak untuk dijadikan suaminya. Bye-bye ketombe!

Sudahlah, sebaiknya aku segera pergi ke kantin untuk membungkam suara perutku yang tengah menggelar konser keroncong ini.

Astaga, apa yang sedang aku lakukan? Mengapa aku masih harus repot-repot mengedarkan pandangan untuk menyusuri setiap sisi kantin yang sudah sepi ditinggal pengunjungnya? Mengapa aku tak langsung memesan makanan dan memilih tempat duduk saja?

Ah, dia ternyata juga tak ada di tempat ini. Sebenarnya, dimanakah dia itu? Fuck, I don't care!

Pesanan semangkuk bakso favoritku sudah terhidang di atas meja, di depan kursi dimana aku meletakkan pantatku. Aku ingin segera melahapnya tapi entah kenapa jemariku malah sibuk memutar-mutar garpu didalam mangkuk, untuk menggulung-gulung tak jelas suun bakso itu.

Huuuh... aku menghela napas sambil menopang daguku dengan telapak tanganku satunya yang menganggur. Aku kehilangan selera makan. Punggungku pun mengendur lemas hingga sedikit membungkuk. Terlebih saat kedua mataku menatap stand kue yang menjual muffin didepanku itu. Ray, where are you now?

Mendadak kedua mataku terbelalak kaget sembari aku langsung menegakkan posisi dudukku. Aku sedikit panik. Aku langsung buru-buru melepaskan jepitan jari-jariku pada garpu itu. Aku langsung mulai menyendok bakso beserta kuahnya sambil kemudian menjejalkannya ke dalam mulutku. Aku juga langsung memalingkan wajahku ke samping saat melihat sosok yang paling tak ingin kujumpai saat ini. Aku heran mengapa hantu kolor ijo bisa berkeliaran disiang bolong seperti ini?

Ekor mataku dapat menangkap penampakan itu semakin mendekat menghampiriku. Shit! Dia bahkan berlari ke arahku! Bukannya hantu tak punya kaki? Abaikan saja! Aku harus pura-pura sibuk. Aku tidak boleh terlihat lesu seperti orang yang kehilangan semangat.

"Huuhh... huhh... so-sorry... Fin! Aku telah membuatmu lama menunggu..." ucap seorang pria sambil terengah-engah menghimpun nafas yang kini sudah berdiri di depan mejaku. Sial, percaya diri sekali dia itu. Aku bahkan tak sedang menunggu siapa-siapa saat ini.

Aku bersikap seolah dia tak ada disana. Aku terus sibuk menyantap semangkuk bakso itu dengan santainya. "Clap...! Clap...!" Aku bahkan mengunyah keras-keras pentol bakso itu hingga menimbulkan bunyi berisik di mulutku, tanpa sedikit pun menoleh padanya. Aku ingin melihat reaksi Ray. Awas, jika dia sampai berani menghilang lagi. Aku pasti akan benar-benar mengebiri tititnya itu!

"Maaf, Fin... Kumohon jangan mengacuhkanku... please! Aku tahu kamu mungkin semakin marah... sebab aku tadi tiba-tiba menghilang... Tapi... aku punya alasan yang kuat untuk itu..." ucap Ray sambil masih mengatur nafasnya yang tersengal.

"APA?" tanyaku ketus sambil sedikit mendongakkan wajahku, menoleh ke arah Ray yang sedang berdiri di depanku. Sial, rasa penasaran membuyarkan aktingku. Aku jadi sungguh ingin tahu apa alasan dia mendadak meninggalkanku di atas balkon tadi.

Aku menatap wajah Ray yang tampak sedikit kotor dan mengkilat dipenuhi butiran peluh. Bajunya pun tampak basah di beberapa bagian yang mungkin akibat rembesan keringatnya. Dia tampak kelelahan seperti baru saja berlari menempuh jarak yang lumayan jauh. Dia juga terlihat menyembunyikan salah satu tangannya di balik pinggangnya. Sebenarnya, apa yang baru saja dia lakukan?

"Ini untukmu, Fin... sebagai permintaan maafku yang sudah membuatmu marah. Semoga kau mau memaafkanku. I am really sorry my muffin," ucap Ray tulus seraya menyodorkan seikat bunga hidup yang digenggam tangannya dari balik pinggangnya itu.

"Hah? Bunga? Sial, emang kau pikir aku ini seorang cewek yang bisa kau sogok dengan seikat bunga, Ray? Sudah buang saja bunga itu, aku tak mau!" balasku gregetan. Bisa-bisanya dia memberiku seikat bunga untuk permintaan maafnya. Lain soal jika itu bunga bank yang dengan tutup mata pun tak akan kutolak.

"Oh sorry, Fin. OK, akan segera kubuang bunga ini. Please, jangan semakin marah padaku ya, Fin," ucap Ray pelan sedikit kecewa sambil menatapku sendu. Sial, aku jadi tak tega. Apa dia meninggalkanku demi ingin membawakanku seiikat bunga hidup tak jelas itu? Sepertinya dia juga tahu jika akan sia-sia merayuku di atas balkon tadi karena aku pasti akan menyangkalnya dan semakin marah padanya. Ah, kenapa dia jadi mulai bisa memahami diriku sekarang?

But, wait a second! Sepertinya aku sering melihat bunga-bunga yang terjuntai di genggaman jemari Ray saat ini.

"Tunggu!" sergahku sebelum Ray beranjak dari posisinya hendak berjalan menuju ke tong sampah. "Kamu dapat bunga itu dari mana, Ray? Jangan bilang bila kau mencurinya dari taman sekolah," tanyaku penasaran.

Ray menganggukan kepala pelan. Innocent.

"Sialan kamu, Ray! Dasar anjing, monyet, lonte, perek, bangsat, brengsek, bejat......" Aku terus memaki Ray dengan bahasa dewa, menumpahkan semua uneg-uneg di hatiku langsung pada orang yang bersangkutan. Tapi tentu dengan suara yang tidak terlalu keras. Aku sadar aku masih berada di tempat umum.

Herannya, Ray malah tampak menaik-turunkan jari-jari tangannya satu persatu, sambil mulutnya berkomat-kamit seolah sedang menghitung sesuatu. Dia tampak tidak terpancing sama sekali untuk marah atau membalas umpatanku.

"Sudah?" tanya Ray sambil menatapku.

"Sudah!" jawabku lumayan lega setelah memuntahkan ganjalan di hatiku padanya.

"GAWAT!!!" seru Ray panik tiba-tiba.

"Hah, ada apa, Ray?" tanyaku sedikit khawatir.

"Bunganya kurang, Fin! Aku tak menyangka jika kau membenciku separah itu."

"Maksudnya, Ray?" tanyaku bingung.

"Sebenarnya jumlah bunga yang kubawa ini, semua mewakili setiap umpatanmu padaku di atas balkon tadi. Aku berusaha mencari bunga yang berlainan jenis agar tiap jenisnya dapat menghapus setiap julukan burukmu padaku. Karenanya, aku sedikit lama untuk kembali mencarimu karena ternyata bunga-bunga di taman sekolah ini jenisnya tidak terlalu banyak."

Aku terkesiap mendengar penjelasan Ray barusan. Aku tak menyangka jika bunga hasil colongan yang cocok untuk pakan kambing itu, memiliki makna yang begitu dalam bagi Ray.

"Tapi jangan khawatir, Fin. Aku akan berusaha mencari kekurangannya itu. Jika perlu aku akan meminta ijin guru pengawas untuk keluar sebentar dari lingkungan sekolah. Aku sungguh ingin kau memaafkanku. Aku ingin kau mengingatku sebagai Ray yang mencintaimu dan rela berkorban untukmu. Bukan yang membuatmu menderita dan selalu marah." Ray menghela nafas sejenak. "Kamu tunggulah disini sebentar, aku akan segera kembali!" lanjut Ray beranjak pergi setelah meletakkan seikat bunga itu di atas meja.

Dengan cepat aku langsung bangkit berdiri sambil secara reflek meraih lengannya. "Jangan pergi, Ray! Temani aku makan disini," pintaku sambil menatap wajahnya.

Ray tampak terkejut dengan reaksiku barusan yang bahkan aku sendiri tak menyangka akan melakukan hal seperti itu. Sepertinya aku sedang kesurupan.

"Tapi, Fin..."

"Kau tak perlu mencarikan bunga untukku lagi. Aku sudah memaafkanmu."

"Benarkah itu, Fin?" tanya Ray keheranan.

Aku menganggukan kepalaku.

"Thanks, Fin!" ucap Ray sambil memamerkan deretan rapi giginya. Dia tampak bahagia sekali. Tapi maaf Ray, aku tak sebaik yang kamu kira.

"Asal kau bayari makananku ini dan tolong belikan aku minum. Aku haus. Oh ya, aku tidak mau air putih atau es teh manis. Aku sedang ingin jus alpukat yang banyak susu coklatnya. Do you understand, Ray?" ucapku sambil tersenyum sangat puas.

Seikat bunga hidup hasil colongan? Sorry, that's not my tipe. Bagiku jauh lebih baik semangkuk bakso dan jus alpukat gratis yang mengeyangkan perut. Betul, tidak?

TBC

Jangan lupa voment yah kalau suka dengan pasangan ini. Jangan mau kalah ama si Matt yang nggak tahu kenapa tiba-tiba votenya langsung di atas cerita ini.

Mohon maaf jika ceritaku ini membosankan. Karena sebenarnya aku ini nggak pd untuk menulis. Takut mengecewakan dan bosan karena aku kurang pandai memainkan emosi pembaca atau merangkai konflik. Aku benar-benar masih pemula yang skillnya masih ecek-ecek.

Anyway thank you banget yah yang sudah mengikuti cerita ini, BMKG dan ceritaku lainnya. Nggak nyangka berawal dari iseng-iseng nulis eh sekarang malah banyak yang baca. Bahkan aku nggak pernah kepikiran bakal ada yang minta update segala padahal aku cuma penulis abal-abal. I really appreciate that.

Thank you very much guyz!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top