7

Raymond POV

Kenapa Jess tiba-tiba datang menemuiku di perpustakaan? Aku tahu dia adalah salah satu pacarku dan berhak menemuiku di tempat ini. Tapi aku sungguh tak rela jika waktu berharga yang jarang kudapatkan seperti saat ini, hanya berduaan dengan cowok impianku, terganggu dengan kehadirannya.

Seingatku, aku tidak pernah memberitahunya. Aku hanya bilang padanya jika hari ini aku tidak bersekolah karena diskors. Tapi, tentu saja aku tidak jujur menceritakan penyebabnya. Aku sudah mengarang indah dan gadis itu percaya padaku.

Aku curiga ini pasti ulah pacarku satunya lagi yang tinggal sekamar denganku. Hanya dia yang kuberitahu jika hari ini aku akan menghabiskan waktuku di perpustakaan sebelum jam istirahat sekolah, dan rencana-rencana setelahnya.

Aku terpaksa memberitahunya karena dia terus memaksa. Dia terlihat mulai posesif sejak kejadian Marvin yang tiba-tiba menonjok wajahku di lapangan dan aku memilih untuk diam saja tak membalas. Ditambah sikapku yang mungkin terlihat semakin mencolok baginya, begitu membela Marvin. Hingga aku sebagai korban yang tidak bersalah, harus ikut diskors akibat ulah berandalan cowok itu.

Dia pun sebelumnya terlihat tak suka aku pacaran dengan Jess. Tapi kenapa sekarang dia malah sengaja memberitahu Jess keberadaanku, memancing gadis itu untuk menemuiku. Sungguh aneh. Apa dia sudah mulai curiga padaku jika aku tengah bermain api di belakangnya? Lalu dengan sengaja mengirim Jess untuk merecoki kebersamaanku dengan Marvin?

Ah, biarlah jika dia curiga dan semuanya harus terbongkar pada akhirnya. Aku tak mau ambil pusing soal itu.

Saat ini, aku hanya ingin menghabiskan hari ini hanya berduaan dengan Marvin, cowok yang untuknya rela kuberikan seluruh hati, cinta, waktu, dan perhatianku. Aku sudah bertekad dalam hatiku aku akan menjadikan dia yang utama setelah Tuhan dan kedua orang tuaku, jika dia menerimaku jadi pacarnya. Aku akan berusaha setia dan tak akan mencabangkan hatiku. Dia bisa pegang janjiku ini.

Tapi, impianku itu masih jauh melayang di angkasa. Yang ada, aku malah terbakar api cemburu saat ini. Rasanya, aku ingin sekali mencongkel kedua bola mata Marvin. Dia tak pernah lepas memandangi Jess, mengikuti langkah kaki gadis itu sejak dari pintu perpustakaan hingga duduk di sebelahku saat ini. Bahkan, dia terlihat sangat gugup saat gadis itu menyapanya.

Dia tampak begitu kegerahan dan kikuk dengan kehadiran Jess disini. Rupanya dia masih menyukai Jess, meski gadis itu dengan sangat terpaksa kuubah statusnya menjadi pacarku.

Aku sengaja pamer kemesraan di depannya untuk membuatnya down. Aku ingin dia menyerah dan berhenti berharap mendapatkan cinta gadis itu, meski dengan resiko dia akan semakin membenciku. Tapi itu jauh lebih baik daripada harus melihatnya bersama orang lain. Aku sungguh tak sanggup.

Rencanaku sepertinya berjalan mulus. Dia terlihat terganggu dan mulai panas, melihat Jess yang sedang cekikikan kecil kugombali. Dia pun tiba-tiba beranjak bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk ke kantin.

Tapi, dasar bocah tengik! Dia masih saja curi-curi kesempatan menebar pesona pada Jess. Dengan manisnya dia menawari pacarku itu, ingin menitip apa di kantin yang untungnya langsung ditolak dengan sopan olehnya.

Bagus Jess, jangan biarkan harapan sekecil apapun timbul di hati Marvin untuk mendekatimu lagi, karena dia milikku. Hanya aku satu-satunya orang yang boleh memilikinya.

Sialnya, Marvin tidak menawariku hendak menitip apa di kantin, padahal aku sangat berharap dia bertanya padaku. Aku ingin titip sebuah kue muffin coklat yang tentu saja akan kuberikan padanya sekembalinya dari kantin. Dia sepertinya menyukai kue itu apalagi yang gratisan.

Aku ingin sekali segera menyusul Marvin tapi kedua tangan Jess masih bergelayut manja di bahuku, menahanku untuk berdiri. Aku pun memanggil namanya pelan untuk menungguku, setelah aku pamit pada Jess yang duduk di sebelahku.

Tapi bukannya berhenti, Marvin malah mempercepat langkahnya menjauh dariku. Dia tampak berlari kecil dengan tergesa-gesa sambil menundukkan kepalanya. Dia terlihat seperti orang yang sedang menahan emosi. Apa dia semarah itu padaku? Apa sikapku sudah sangat keterlaluan baginya?

Mungkin, aku harus minta maaf padanya.

Belum sempat aku melangkahkan kakiku untuk mengejar, Marvin tampak akan menabrak biang dari segala masalahku saat ini. Teriakanku terasa sia-sia karena tidak digubris oleh Marvin.

Boom!

Dua orang pria yang sama-sama kekar itu pun terjatuh saling menindih. Bunyinya begitu gaduh hingga mengundang banyak siswa berdatangan mengerumuni perpustakaan, karena memang saat ini sudah waktunya istirahat.

Pria dibawah Marvin yang tak lain adalah pacar gayku, Arif, tampak begitu emosi. Dengan kasar dia menghempaskan cowok di atasnya itu hingga terjatuh sedikit terguling di atas lantai, di sebelahnya.

Sambil masih terduduk di lantai, Arif pun mulai memaki-maki kasar Marvin yang hanya diam saja menerima cacian pedas yang keluar dari mulutnya. Bahkan, cowokku itu pun lupa kalau dia sedang berada di perpustakaan dan tengah disaksikan begitu banyak pasang mata yang sedang berkerumun.

"Hei, bego! Matamu dimana hah?"

"Kenapa kau diam saja? Bisu? Tuli? Jawab, anjing!"

Sepertinya, Marvin mungkin merasa bersalah karena dia yang menabrak cowok itu. Tapi, kenapa aku yang merasakan perihnya makian Arif padanya.

"Dasar otak udang, bisanya cuma buat keributan!"

Aku jadi tidak terima jika Marvin terus-terusan dihina. Aku tahu dia memang pembuat onar tapi aku yakin dia sebetulnya adalah orang yang baik, hanya mungkin salah pergaulan saja.

Aku pun mendekati mereka berdua yang masih terduduk di lantai sedang Jess kusuruh menungguku di belakang, tetap di bangkunya. Aku bingung harus memihak siapa. Aku dilema ketika harus melangkahkan kakiku ke arah mana.

Jujur, aku ingin langsung menuju ke arah Marvin dan membantunya berdiri. Tapi, dia kan masih marah padaku. Bagaimana jika dia malah semakin emosi melihatku? Terlebih makian Arif yang tak kunjung berhenti itu, membuatku bisa melihat kedua tangan Marvin mulai mengepal di sebelah pahanya dengan kepala tertunduk, dari posisiku berdiri saat ini.

"Woii...kamu itu pria bukan? Ditanya kok malah diem aja! Mau mewek? Duh kasihan, sana nyusu dulu gih sama mamakmu. Dasar banci!"

Gawat, rupanya Marvin mulai emosi. Aku tak ingin dia menghajar Arif. Bukan, bukan karena aku khawatir Arif akan terluka, dia pasti membalas. Tapi itu malah yang membuatku sangat takut. Aku tidak mau mereka sampai terlibat perkelahian.

Aku tidak mau sampai Marvin harus berurusan dengan BP lagi. Aku sudah cukup melihatnya ketakutan sampai wajahnya memucat, saat bu Ria akan memanggil kedua orang tuanya. Aku memang tak tahu seperti apa hubungan Marvin dengan kedua orang tuanya. Tapi, aku sungguh tak tega melihatnya begitu tertekan seperti itu. Aku sangat mencintai pemuda itu dan aku ingin selalu berusaha membuatnya bahagia.

Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku mendekati Arif. Aku hanya ingin menenangkan dia dan menghentikan makiannya pada Marvin. Aku hanya ingin Marvin tidak tersulut emosi mendengar hujatan Arif yang semakin kasar dan memekakkan telinga.

"Cukup Rif, mau sampai kapan kamu memakinya? Lihat, bahkan dia tak membalas makianmu. Dia sudah cukup merasa bersalah karena menabrakmu. Sudahlah," ucapku dengan berjongkok di sebelah Arif sambil meremas-remas lembut bahunya.

Lalu, aku pun menoleh ke arah Marvin di sebelahku dan ternyata dia sedang memperhatikanku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Tampak sedikit kecewa, marah dan sedih. Entahlah...

"Sshh...kenapa kau terdengar begitu perhatian padanya? Apa kau suka padanya hah?"

"ARIF!" sentakku kasar sambil menjitak kepalanya. Ingin rasanya aku meninggalkan orang tak waras disebelahku saat ini. Dia bahkan tak sadar jika saat ini banyak siswa yang mengerumuni tempat itu. Untungnya, jitakanku barusan mampu meredam emosinya dan mengembalikan logikanya yang sempat hilang.

"Ow sorry...sorry, Ray. Lupakan perkataanku tadi. Aku hanya ingin dia minta maaf padaku, maka semuanya akan kuanggap selesai."

Aku menoleh ke arah Marvin lagi yang masih saja memperhatikanku dengan wajah sendunya. Dia duduk sendirian di atas lantai perpustakaan itu. Tampak kesepian di tengah ramainya gunjingan dan kicauan para siswa lain yang berkerumun sedang menyaksikan drama ini.

Aku rasanya ingin berlari memeluknya. Tapi itu tak mungkin, karena aku sudah memilih di sisi Arif saat ini. Aku hanya tak ingin Arif memperpanjang masalah ini.

Dengan berat hati, akhirnya kalimat yang menyakitkan hatiku itu pun terlontar.

"Fin, bisakah kamu minta maaf pada Arif, please."

Aku menatapnya dengan memelas. Kata-kata itu terasa begitu menyesakkan dada ketika meluncur dari mulutku. Aku yang sudah dengan sengaja membuatnya panas hingga dia akhirnya menabrak Arif. Tapi aku juga yang menyuruhnya minta maaf atas kesalahanku.

"Maaf, Rif."

Marvin pun tertunduk lagi setelah mengucapkan pelan kalimat pendek itu. Lalu, dia tampak bangkit berdiri dari posisi terduduknya di atas lantai, berjalan menerobos kerumunan para siswa yang mengelilinginya, meninggalkan tempat itu. Dia bahkan tidak menoleh padaku.

Egonya pasti terluka menelan mentah-mentah makian dan hinaan Arif tanpa membalas, namun masih harus tetap meminta maaf pada akhirnya. Tak ada yang membelanya. Bahkan aku yang sudah beberapa kali memintanya menjadi pacarku pun tetap menuruti kemauan Arif. Mungkin, dia jadi semakin membenciku saat ini.

Aku segera membantu Arif untuk berdiri. Aku mengajaknya kembali ke meja di pojokan dimana Jess sedang menungguku.

Terlihat kerumunan siswa itu pun langsung bubar karena syuting sinetron stripingnya sudah habis. Hanya tinggal cewek-cewek fansku dan Arif, yang langsung menyerbu meja tempat kami bertiga duduk.

Mereka tentu bukan bertanya tentang kejadian barusan, karena mereka sudah menyaksikannya sendiri. Namun lebih ke arah program OSIS ke depan atau kompetisi basket antar sekolah yang akan berlangsung atau bahkan sampai sedikit kehidupan pribadi kami. Terkadang mereka membutuhkan informasi itu untuk mengisi mading bulanan sekolah.

Aku sungguh tak bisa tenang. Aku tidak bisa konsentrasi meladeni pertanyaan mereka. Pikiranku terus terfokus pada Marvin. Apa yang sedang dia lakukan saat ini? Apa dia masih marah padaku?

Cukup! Aku tak tahan lagi. Aku ingin menemuinya. Aku tak peduli jika dia masih marah padaku. Bila perlu, aku akan mengemis-ngemis kata maaf darinya. Hanya satu yang kutahu saat ini dalam hati dan pikiranku yaitu aku ingin selalu berada di dekatnya. Kesempatan itu sudah datang dan aku harus mempergunakan sebaik-baiknya.

"Maaf teman-teman, aku ada urusan mendesak. Kalian bertanyalah dulu pada Arif, aku janji lain kali pasti aku akan bercerita banyak."

Aku langsung bangkit berdiri dan berlari meninggalkan perpustakaan itu. Aku sempat mendengar Jess dan Arif memanggil namaku berulang-ulang tapi tak kuhiraukan. Aku punya keperluan yang lebih penting dari mereka bahkan paling penting dalam hidupku. Aku ingin mengejar cintaku.

Semoga dia mau memaafkanku. Aku sungguh mencintai pemuda pembuat onar itu.

TBC

Viewernya cerita ini memang lumayan banyak sih. Tapi yang voment, wew mengenaskan. Dikit banget. Paling sedikit dari ceritaku yang laen.

Gpp deh meskipun pada pelit voment, karena ini cerita ringan jadi aku juga nyantai bikinnya. Dibaca aja udah sukur hehe...

Thanks banget buat yang udah meluangkan waktu untuk membaca karya abal-abalku ini.

Thank You.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top