5

Marvin POV

Aku terduduk di atas ranjangku, bersandar pada dindingnya sambil mulai menggigit rakus sepotong kue muffin coklat di tanganku.

Clap...clap...clap...

Kue muffin itu langsung melumer di mulutku ketika bergesekkan dengan deretan gigi bercampur liurku. Rasanya mantap banget. Bukan! Bukan karena ini pemberian dari Ray tapi yang namanya gratisan selalu terasa lebih lezat daripada mengeluarkan duit sendiri. Bisa dari siapa saja. Itu fakta. Silahkan dicoba sendiri kalau tidak percaya. Sekali lagi bukan karena Ray.

Ray tengah duduk di atas pinggiran ranjang Rio sambil tersenyum-senyum tak jelas, terus memandangiku melahap muffin pemberiannya. Sesekali kedua bola matanya terlihat bergerak melirik kebawah. Oh, shit! Aku lupa kalau aku masih shirtless. Dia pasti membayangkan sedang melahap putingku itu seperti aku menyantap muffin pemberiannya. Mereka sama-sama berwarna coklat. Mereka sama-sama menggoda.

"Kenapa kamu kok ngeliatin aku terus? Mau? Nih..." gumamku tak jelas karena mulutku terisi penuh sambil menyodorkan muffin yang tinggal 1/4 bekas gigitanku, bahkan ada sedikit ludahku menempel disana.

"Ih, jorok kamu Fin...Tapi gimana rasanya? Enak?"

Aku menganggukan kepalaku.

"Mau lagi?"

"Boleh!"

"Mau aku bawain tiap hari?"

"Hah? serius?"

"He eh...dua rius malah," Ray mengulas senyuman licik di bibir tipisnya. Aku bisa mencium ada udang di balik rempeyek.

"Emmm...ma-mau deh kalau gitu," ucapku ragu-ragu sambil memasukkan potongan terakhir muffin itu ke mulutku.

"Be my boyfriend then!"

Bruarrr...mulutku menyemburkan kunyahan terakhir muffin tadi, berhamburan di atas sepreiku. Kata-kata Ray barusan seperti kulit durian menyedak di tenggorokanku. Ini kedua kalinya dia memintaku menjadi pacarnya, tapi kali ini caranya terkesan murahan banget. Jangankan sepotong muffin tiap hari, setruk penuh berisi muffin pun aku tak sudi menjadi pacarnya.

Aku masih waras. Aku masih sadar jika kita berdua adalah sesama mahkluk berpentungan yang haram hukumnya merajut asmara. Mungkin setengah otak Ray masih dikredit orang lain sampai tidak bisa berpikir rasional. Dasar orang gila!

Sial, sepreiku yang berwarna putih jadi kotor gara-gara dia. Ini belum saatnya aku ganti seprei. Bisa-bisa aku terkena hukuman menyuci spreiku sendiri dari penjaga asrama, jika aku meminta ganti sebelum saatnya. Aku tidak keberatan untuk mencucinya karena tinggal memasukkannya kedalam mesin cuci yang disediakan di laundry room asrama ini. Tapi, aku terlalu malas menggelar sprei itu pada seutas tali jemuran di balkon atas. Belum lagi nanti aku harus menyeterikanya jika sudah kering. Oh damn, I hate it so much! Butuh setengah jam bagiku untuk menyeterika sehelai kemeja seragam sekolahku. Apalagi sprei? Ampun, deh! Kain yang luasnya sudah seperti lapangan bola gitu, bisa-bisa lima jam baru selesai. Buang-buang waktuku saja!

Aku mengambil tissue yang terletak di atas meja dekat ranjangku untuk membersihkan remahan muffin yang menempel mengotori spreiku. Nodanya cepat meluber karena mungkin efek bercampur liurku yang dengan cepat terserap kain seprei. Bagus! Spreiku kini bermotif polkadot tapi tidak rata, cuma di bagian tertentu saja.

"Kita impas Fin, spreiku juga kotor akibat noda bekas mens mu waktu lalu."

Argghh...dia tidak perlu mengingatkan lagi kejadian suram malam itu. Aku sudah berniat melupakannya.

Ekor mataku kini menangkap Ray terlihat cengengesan memandangi pantatku yang hanya terbalut boxer hitam, menghadap ke arahnya bergoyang kesana-kemari. Aku memang sedang merangkak di atas kasurku membelakanginya, sambil menggosok-gosok noda yang menempel pada permukaan spreiku dengan tissue.

"Pantatmu sexy, Fin...Kenyal dan padat," ucap Ray tiba-tiba memuji sebongkah mangkok kembar yang terhampar di depannya.

"Hei, kamu minta kuhajar Ray?" balasku sambil melongokkan leherku ke belakang menatapnya sadis.

"Hahaha...itu kenyataan, my muffin. Aku sudah merasakannya sendiri malam itu. Anggap ini sebuah pujian dariku. You have the best ass in the world!"

Ergghh...nama itu lagi, nama yang paling kubenci. What? The best ass in the world? Berarti pantatku lebih sexy donk dari punya Kim Kadharsian? Forget it! Ray kalau ngomong 99% hoax dan hanya 1% fakta.

"Stop! Jangan panggil aku dengan nama itu! Aku tidak suka! Dan satu hal Ray, jangan pernah kamu ungkit kejadian malam laknat itu lagi...Itu kesalahan terbesar dalam hidupku dan aku ingin menguburnya dalam-dalam. Aku serius!"

Aku bergegas turun dari ranjangku dan menghampiri Ray yang terdiam, masih saja menatapku dengan tatapan penuh cintanya. Sepasang mata coklatnya yang bening dan jernih itu tengah mengintaiku, seolah menanti cintanya terbalaskan. Tapi maaf Ray, aku tidak suka padamu. Kamu hanya sebatas teman bagiku. Tak lebih dan tak kurang. Harga pas.

"Ayo keluar dari kamarku, Ray! Aku sudah menghabiskan muffinmu dan sekarang aku mau tidur lagi," ucapku sambil menarik paksa lengan kanannya untuk segera bangkit berdiri dari ranjang Rio.

"Eh..." Ray tampak kebingungan melihat ulahku.

"Nanti kamu boleh kembali lagi kalau aku sudah bangun, OK!"

Aku terus menarik lengannya, menyeretnya dengan paksa berjalan sampai di depan pintu kamarku.

"Tapi bagaimana dengan tugas dari Bu Ria, Fin?" Ray masih tampak tak rela terusir dari kamarku.

"Nanti siang kan masih ada waktu, Ray. Toh aku juga tidak akan tidur seharian," seruku meyakinkannya sembari tanganku membuka lebar pintu kamarku. Aku berpindah posisi ke belakang badannya. Aku segera menempelkan kedua jemari tanganku di punggungnya, berancang-ancang mendepaknya keluar.

"Tapi Fin,"

"Bye Ray!" Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya keluar dari kamarku sambil kemudian buru-buru menutup pintu itu dan segera menguncinya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

"Fin!...Fin! Buka pintunya donk!"

Aku melihat knob pintu kamarku berputar-putar diiringi teriakan Ray sambil sesekali menggedor badan pintu itu. Aku mengacuhkannya. Aku pura-pura tidak dengar sembari melangkahkan kakiku ke arah ranjangku.

Aku meluncurkan tubuhku ke atas ranjangku yang kini bersprei motif polkadot acak itu. Dalam posisi tengkurap aku segera menyahut bantalku untuk menutupi bagian belakang kepalaku, meredam suara gedoran pintu dan teriakan Ray yang semakin keras. Rasain deh tuh anak, mau teriak sampai pita suaranya putus pun tidak bakal aku bukakan.

Tak berapa lama berselang, keadaan menjadi sepi dan sunyi. Tak terdengar lagi kebisingan bunyi gedoran pintu itu diremix bersahutan dengan teriakan Ray. Rupanya DJnya KO, dia sudah menyerah. That's good! Kedua mataku pun mulai menjadi sayu dan melemah kehilangan wattnya. Rasa kantuk menggelayuti pelupuk mataku. Selamat datang pulau kapuk! Aku memejamkan mataku.

JRENGG....!!! Terdengar suara genjrengan gitar.

Kau membuat ku berantakan
Kau membuat ku tak karuan
Kau membuat ku tak berdaya
Kau menolakku acuhkan diriku

"Argghhh...Berisik! Berisik!" umpatku sebal karena suaranya membuat mataku terjaga, sulit dipejamkan. Aku menekan lebih erat lagi bantal yang menutupi kepalaku. Namun sia-sia, aku masih bisa mendengar suaranya yang merdu. Eh? Merdu? Tidakkk...! Suaranya bising mirip bunyi kricikkan kempyeng botol yang dipakai bencong mengamen di pinggir jalan.

Bagaimana caranya untuk
Meruntuhkan kerasnya hatimu
Kusadari ku tak sempurna
Ku tak seperti yang kau inginkan

Aku menarik tubuhku terduduk di ranjang dengan sebuah pertanyaan yang terus menghantui otakku. Apakah ini lagu ditujukan untuk menyindirku? Argghh...bukan, ini lagu bukan untukku! Dasar berisik!

Errr...tapi ternyata hatiku tak sanggup berbohong. Aku sebenarnya menikmati setiap lantunan syair yang meluncur dari bibir Ray. Hanya saja aku malas mengakui jika suaranya terdengar begitu merdu mengalun seirama dengan petikan gitarnya.

Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku..

Aku sadar jika Ray memang terkesan sangat norak, bernyanyi dengan lantang di lorong di depan pintu kamarku. Namun aku malah terlena mendengarnya bernyanyi untukku meskipun dia sedang menyindirku. Aku terkesan. Bahkan aku merasa senang. Baru kali ini ada seorang teman yang bersenandung untukku.

Ah...apa yang sedang kupikirkan? Apa aku sudah tidak waras? Aku tidak suka suaranya! Cempreng! Aku tidak suka lagunya! Lagu kampungan! Aku tidak suka semua yang berhubungan dengan dia. Kami hanya sebatas teman tak lebih.

Aku terpaksa beranjak turun dari ranjangku hendak membungkam mulut sumber dari segala kegaduhan dengan celana dalam bekasku. Oh jangan, nanti Ray bisa menyimpannya sebagai souvenir sebagai objek dari fantasy liarnya ber-onani ria. Ugh...membayangkannya mengocok penisnya sambil menciumi celana dalamku sungguh membuatku mual.

Aku buru-buru membuka pintu kamarku karena aku tak mau dihukum penjaga asrama gara-gara menjadi biang keributan. Terlebih jika sampai tersebar berita seorang pria menyanyikan lagu cinta semellow itu di depan kamarku. Bisa-bisa tak ada lagi cewek yang berminat padaku.

Tanpa adanya gosip ini pun aku sudah susah mendapatkan pacar, karena selalu diserobot oleh penyanyi kampungan itu. Aku mungkin benar-benar akan melewati masa indah SMAku dengan kejombloan. For God sake, aku tidak rela. Aku masih ingin merasakan apa yang namanya cinta monyet itu.

Aku tahu bila penghuni asrama di lantai ini tengah pergi bersekolah saat ini. Namun bagaimana jika ada yang sedang sakit atau membolos, lantas kemudian menyebar luaskan kejadian ini. Ah, aku tidak mau mengambil resiko membiarkannya terus bernyanyi.

"Woii berisikkk!!!" umpatku ketika melihat wajahnya saat pintu kamarku terbuka. Aku segera meraih kaos di daerah dadanya sambil menariknya paksa masuk ke kamarku lagi. Argghh...aku terpaksa memasukkan mahkluk hina ini ke dalam kamarku lagi.

Ray hanya cengar-cengir menatapku innocent dengan wajah polosnya, sembari menenteng gitar akustik yamaha berwarna coklat muda.

"Ray apa maumu huh? Kenapa kamu tidak membiarkanku tenang dan terus saja menggangguku?" tanyaku jengkel sedikit menyentak sambil jemariku melepas cengkeraman kaosnya.

"Entah Fin, aku juga tak tahu. Aku hanya ingin berada didekatmu saja. Aku merasa bahagia jika kamu perhatikan meskipun kamu selalu kasar dan marah-marah seperti saat ini."

Astaga, dia ini terbuat dari apa yah? Tembok? Beton? Tidak ada malu-malunya sama sekali berkata seperti itu.

"Apa kamu sadar apa yang barusan kamu ucapkan, Ray?"

Dia menganggukan kepalanya dan lagi-lagi sambil tersenyum tenang. Grrr...aku sudah ingin melayangkan tinjuku saja ke wajahnya yang tampan itu jika tidak mengingat jasa pembelaannya di ruang BP kemarin. Dia benar-benar pintar memancing emosiku. Sabar, aku harus sabar. Aku yang sudah memintanya menjadi temanku. Itu artinya aku juga harus bisa menerima segala kenorakan dan sifat kampungannya itu.

"Kita berdua sesama pria Ray, apa kamu sadar akan hal itu?"

"Yup! Aku tidak keberatan dengan gendermu yang pria, Fin...Aku bisa menerimanya dengan lapang dada."

Ah...pantas dia bisa menjawab seperti itu. Dia kan memang gay yang sedang berpacaran sembunyi-sembuyi dengan sang ketua OSIS.

"Tapi bagaimana dengan Arif?" Astaga, mengapa kalimat ini bisa meluncur dari mulutku.

"Kenapa? Kamu tidak suka aku berpacaran dengan Arif? Kamu ingin aku meninggalkannya?" tanya Ray sambil mengubah mimik wajahnya menjadi serius.

"Haha...tidak perlu Ray, aku cuma iseng bertanya." Aku menjadi gelagapan sendiri.

"Apakah kamu sama sekali tidak ada sedikit rasa suka padaku, Fin?" tanyanya sambil kedua bola matanya menatapku teduh.

Ah...kesempatanya untuk membuatnya down akhirnya datang juga.

"Biar kutegaskan padamu Ray, kali ini dan untuk seterusnya. Kamu tidak perlu bertanya lagi...AKU TIDAK SUKA PADAMU! Jadi berhentilah berharap karena aku hanya menganggapmu sebatas teman tak lebih," jawabku sambil mengalihkan kedua mataku menatap tulisan di kaosnya. "NORMAL IS BORING FOR ME, CRAZY IS A LIFE" Wow! Terkesan Ray banget. Kaos dan tuannya sama-sama gilanya.

"Baiklah Fin, sekarang tatap mataku sambil katakan jika kamu tidak suka padaku,"

Grrr...dia mengerti kelemahanku. Tapi apapun akan kulakukan demi dia menyerah mengejarku.

"Baiklah...Aku - Tidak - Suka - Padamu. Puas?" seruku perlahan dengan menekan intonasi suaraku, sambil menatap matanya yang sanggup melelehkan gunung es itu. Gawat, aku tidak kuat jika harus lama-lama menatapnya. Aku bisa takluk.

"Tidak sedikitpun?" Sorotan mata Ray kini mencoba menelisik jauh ke dalam mataku mencari kebenaran.

"Sedikit..."

Sial! Mengapa aku seperti terhipnotis hingga kata itu pun lolos sensor dari mulutku.

"Hahaha...I know it, Fin..." ucap Ray berbinar. Dia tampak bahagia sekali.

Apa gelagatku semudah itu dibacanya? Apa aku terlalu lugu dan polos? Atau dia yang terlalu mahir dalam urusan percintaan? Dasar playboy busuk! Dia berhasil memperdayaiku lagi.

JRENGG....!!! Ray kembali memainkan gitarnya.

When I see your face
There's not a thing that I would change
'Cause you're amazing
Just the way you are

Ray melantunkan syair itu sambil menatapku lekat.

Argghh...wajahku mendadak terasa memanas dan mungkin sudah merona memerah. Apa ini yang dinamakan sedang blushing? Aku tidak ingin dia melihat wajahku. Dia orang pertama yang benar-benar membuatku merasa malu, bahkan melebihi rasa maluku ketika dihukum berlari keliling lapangan kemarin.

Aku buru-buru membalikkan badanku dan kabur dari hadapannya.

"Aku mau mandi dulu, Ray," ucapku sambil menyahut handuk yang tersampir di gantungan dekat pintu kamar mandi. Aku langsung mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar mandi berusaha menghiraukan suara merdunya. Berat dan sedikit serak dihiasi vibra yang pas, tidak over. Suaranya terdengar so sexy dan melelehkan.

Aku segera membuka kran pancuran showerku tapi aku tidak segera membasahi tubuhku dengan air yang sudah terpancar deras itu. Aku malah seperti orang bodoh yang sedang tersenyum-senyum sendiri, menikmati lantunan syahdu suara Ray di sela-sela bunyi gemricik air.

And when you smile
The whole world stops and stares for a while
'Cause boy you're amazing
Just the way you are

Argghh...tidak. Dia bisa membuat dinding pertahananku hancur. Aku benar-benar terbuai olehnya saat ini. Aku tidak mau jatuh cinta padanya. Ini salah!

Aku segera memelorotkan boxer hitamku dan segera membasuh kepalaku dengan pancuran air shower, sambil berharap pikiranku yang sedang kacau itu ikut luruh bersama kotoran yang menempel pada tubuhku. Aku hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak lebih!

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top