12
Warning: Part ini akan puanjang banget karena ini kapasitas 2 bab aku jadikan satu. Disarankan membaca sambil membawa cemilan biar tidak pingsan kebosanan.
Happy Reading!
Marvin POV
Demi Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?
Itu... sungguh... memalukan!
Semoga saja tak ada siswa lain yang melihat adegan sinetron di lorong kamar tadi. Mau kutaruh mana mukaku jika sampai ada yang memergokiku menangis gegara seorang pria? Mereka biasa mengenalku sebagai pengacau dan pembuat onar sekolah. Jangan sampai julukanku berubah menjadi seorang homo cengeng.
Ah persetan, aku tak mau ambil pusing! Toh, namaku memang sudah terkenal jelek. Tak masalah mau bertambah satu atau seribu hinaan sekalipun karena tetap saja intinya sama, aku adalah seorang pecundang sekolah.
Lain halnya dengan Ray, dia seorang primadona dan siswa berprestasi kebanggaan sekolah. Aku lebih mengkhawatirkan reputasinya menjadi buruk jika sampai kabar itu tersebar. Bodoh, kenapa dia seceroboh itu, mempertaruhkan nama baiknya sendiri hanya untuk mengejarku di lorong tadi?
Seharusnya dia tak perlu sampai senekat itu karena aku bukan seorang yang layak diperjuangkan. Hei, aku ini bukan siapa-siapa, hanya seorang pemalas sumber masalah. Apa susahnya merelakanku pergi? Dia seharusnya bisa dengan mudah mendapatkan seseorang yang jauh lebih hebat segala-galanya daripadaku. Aku sungguh bingung apa sebenarnya yang membuat Ray mati-matian mengejarku, diantara ratusan murid lain yang pasti dengan senang hati menerima cintanya. Sebegitu berartinya kah diriku baginya?
Sialan, playboy kampung itu sukses membuatku benar-benar tersanjung. Baru kali ini aku merasa begitu dihargai, sebab keluargaku sendiri pun memandangku sebelah mata.
Aku sering membuat kedua orangtuaku malu karena berulang kali dipanggil guru BP akibat kenakalanku. Mereka selalu membanding-bandingkan dengan kedua kakakku yang prestasi akademiknya membanggakan. Aku sudah seperti domba hitam dalam keluarga sementara yang lain berwarna putih. Aku merasa terkucilkan.
Namun di saat ada seseorang yang tulus menyayangiku dan menerima segala kekuranganku, aku malah membuangnya. Hanya karena dia seorang pria. Aku telah termakan gengsiku sendiri yang ternyata malah membuatku menyesali keputusanku. Damn, aku sungguh idiot!
Andai waktu bisa terulang kembali, tanpa ragu aku pasti langsung mengejarnya saat di taman tempo hari. Aku akan menjadikannya milikku, bahkan aku tak peduli jika dia masih berpacaran dengan Arif. Ketua osis busuk itu pasti dengan mudah kusingkirkan, atau kujual di rumah bordil biar jadi pelacur murahan.
"Vin... Vin..."
"Ah... iya, Jess. Ma-maaf, ada apa?" Astaga, ini sudah kesekian kalinya panggilan gadis itu membuyarkan lamunanku.
"Kenapa kamu melamun terus sedari tadi, Vin? Kamu juga tampak lesu dan tidak bersemangat seperti biasanya? Apa kamu sedang ada masalah?" Jess mengangsurkan tangannya ke depan, lalu mengusap lembut punggung tanganku di atas meja. Dia seperti bisa menangkap kegelisahanku.
"Oh... maaf, Jess. Aku tidak apa-apa, kok. Mungkin perutku yang lapar membuatku jadi sulit berkonsentrasi. Kamu tak perlu khawatir, yah!" Aku langsung menarik lurus bibirku, mengembangkan sebuah senyum.
"Vin..." Kedua manik mata Jess yang indah mengunci pandanganku. Sepertinya ada sesuatu yang serius hendak dia utarakan.
"Yah, Jess?"
"Tentang pernyataanmu semalam, maka jawabanku..."
"Tunggu sebentar, Jess..."
Aku langsung membetulkan posisi dudukku. Punggungku yang mengendur lemah segera kutegakkan kembali, menandakan bila aku sangat bersemangat untuk mendengar jawabannya. Meski sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang hendak diucapkan gadis itu dari gelagatnya.
Semoga saja Jess berubah pikiran pada detik-detik akhir dan menolakku. Astaga, kenapa pikiran semacam itu bisa sampai terlintas di otakku, hah? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Kenapa aku jadi semakin tidak waras saja? Bahkan kini tampaknya otakku mulai berdamai dengan hatiku hingga mereka berjalan selaras, tidak saling bertentangan seperti biasanya. Aneh!
"Ok, Jess... aku siap mendengar jawabanmu sekarang." Aku melempar senyum sambil menatapnya lekat. Seandainya bisa, aku ingin menghipnotisnya lewat kedua bola mataku agar dia menolakku. "Tatap mata saya!"
Fuck! Sepertinya aku sudah tak tertolong lagi. Aku akan segera menjadi gila. Tubuhku memang di sini, tapi hati dan pikiranku sudah terlanjur dimaling si plaboy mesum itu. Argghh... sialan, bahkan rasanya aku sudah tidak begitu berminat jadi kekasih Jess sekarang.
"Iya, Vin. Aku mau..."
Jess tersenyum simpul, kedua matanya tampak berbinar seraya menurunkan dagunya hingga di depan leher. Dia lantas mengaitkan erat kedua jemari tangannya dan meletakkannya di atas meja, seperti ingin memancingku untuk segera menggenggamnya. Oh... apa ini yang disebut jurus malu-malu kucing?
"Jadi, kamu mau jadi pacarku, Jess? Yes!!! Thank you, Jess! Aku senang sekali malam ini!!!"
Apa aku sudah terlihat cukup heboh saat mendengar gadis cantik yang kuincar sejak lama memberi jawaban sesuai harapanku?
"Ssttt... jangan keras-keras, Vin. Malu dilihat banyak orang."
Aku juga tidak sedang menggenggam kedua tangannya, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang pria pada kekasihnya di saat baru pertama kali jadian. Sehingga Jess bisa menempelkan jari telunjuk pada bibir tipisnya agar aku memelankan suara.
Hmm... jujur, ada perasaan senang menyeruak dalam hatiku sebab akhirnya aku bisa memacari gadis incaranku. Tapi entah kenapa aku tak merasakan ada sesuatu yang istimewa. Mungkin, hanya sebatas bersyukur jika mulai sekarang aku tidak jomblo lagi. Yes, akhirnya aku laku juga! Yeayy!!
Ah... percuma, tetap saja aku terlanjur kehilangan mood malam ini, seberapapun kerasnya aku mencoba untuk bahagia.
Mungkin, kondisinya akan berbeda jika yang duduk di hadapanku sekarang adalah si playboy mesum itu. Aku pasti yang akan dibuatnya malu setengah mati dengan gombalan noraknya. Lalu dia akan memaksa menggenggam kedua tanganku meski aku tak mengijinkannya. Dia memang senang sekali membuatku jengkel hingga memancingku untuk memakinya. Dia pasti membuatku emosi dan naik darah. Dia pasti membuatku...
Ah sial, sampai kapan aku harus terus menghibur diri seperti ini? Selalu berandai-andai sesuatu yang tidak bakal terwujud. Aku sudah menolaknya dan tak mungkin bisa berjalan mundur kembali. Terlebih Jess juga sudah menjadi kekasihku sekarang. Jadi sebaiknya aku harus menghargai apa yang ada di depan mata bukan malah memikirkan yang lain.
"Vin... Vin... "
Shit, aku melamun lagi! Panggilan Jess barusan menarik kembali kesadaranku. Ah, sepertinya sikapku sudah mulai keterlaluan. Aku harus bisa menghargai gadis itu sebab dia baru saja resmi menjadi pacarku. Aku tidak boleh mengabaikannya. Aku harus berusaha lebih fokus padanya bukan malah tenggelam dalam angan-anganku yang tak pasti.
"Maaf, Jess... sepertinya aku benar-benar kelaparan tingkat akut hingga kepalaku terasa berputar-putar." Aku beralasan sembari memijit-mijit pelipisku.
"Mungkin karena sekarang malam minggu, Vin. Jadinya pesanan kita keluarnya lama sekali. Lihat saja, restoran ini sangat ramai dipadati pengunjung! Hmm... tunggu sebentar yah, Vin." Jess mendadak bangkit dari duduknya.
"Eh, mau kemana kamu, Jess?"
Dia hanya tersenyum ke arahku sambil kemudian memutar badannya berjalan sedikit menjauh. Rupanya Jess menghampiri seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja kami berdua. Lalu dia menunjuk-nunjuk ke arahku sambil berbincang dengan pelayan itu. Mereka berdua terlihat akrab. Mungkin Jess adalah pelanggan setia restoran ini hingga pelayan itu sampai mengenalnya. Sepertinya dia ingin mempercepat keluarnya pesanan makanan kami.
Ya ampun, apa itu artinya Jess menganggap serius perkataanku barusan? Padahal aku tengah berbohong mencari-cari alasan tapi dia malah jadi khawatir sungguhan dengan keadaanku. Ah, dia memang gadis yang baik dan juga perhatian.
Sepertinya aku harus berhenti memikirkan Ray mulai detik ini. Dia akan segera menjadi masa laluku. Aku harus berusaha menempatkan Jess dalam hati dan pikiranku sebagai yang utama menggantikan posisi si playboy norak itu. Tapi masalahnya, apa semudah itu untuk melakukannya? Entahlah, setidaknya aku harus berusaha mencoba sekuat tenaga.
Tidak lama berselang, pesanan makanan kami berdua pun datang. Tampaknya cara yang digunakan Jess tadi itu sangat ampuh. Smart girl!
Aku mulai mencari topik untuk dijadikan bahan obrolan yang menarik. Mulai dari membahas musik, film, makanan favorit, negara yang ingin dikunjungi dan lain sebagainya. Kecuali satu tentunya, pelajaran sekolah. Topik itu pasti akan membunuhku secara perlahan karena bosan. Lalu arwahku bergentayangan menghantui si playboy mesum itu biar dia ketakutan setengah mati hingga terkencing-kencing di celana, gwahaha... Fuck, kenapa aku jadi teringat lagi padanya, hah?
Untungnya Jess merupakan lawan bicara yang mengasyikan. Untuk beberapa saat pikiranku bisa teralihkan dari si playboy mesum tidak penting itu. Kami berdua terlibat obrolan yang seru disela menikmati hidangan makan malam yang lezat rasanya. Rekomendasi Jess untuk dinner di tempat ini memang patut diacungi sepuluh jempol.
Tapi sialnya di tengah suasana yang mulai menghangat diantara kami berdua, aku mendadak jadi tersedak saat restoran itu memutar sebuah lagu yang paling aku benci setengah mati.
"Kamu kenapa, Vin? Apa kamu baik-baik saja?" Jess bertanya dengan raut wajah sedikit khawatir.
Aku hanya bisa menggerak-gerakan tangan seperti wiper kaca mobil ke arah gadis di hadapanku, sembari langsung meneguk jus alpukat pesananku untuk mendorong masuk makanan yang menyangkut di tenggorokan.
Dasar tai kucing! Kenapa harus lagu itu yang diputar dari jutaan pilihan lagu yang eksis di muka bumi ini, hah? Bagaimana aku bisa move on jika seperti ini caranya? Padahal baru saja aku mulai bisa menikmati kebersamaanku dengan Jess tanpa memikirkannya. Sampai kapan dia akan terus membayangiku meski fisiknya sudah tak lagi bersamaku?
And when you smile
The whole world stops and stares for a while
'Cause girl you're amazing
Just the way you are
Rasanya aku ingin menyumpal mulut Bruno Mars dengan kain bekas mengepel lantai agar dia berhenti bernyanyi.
"Wah... ini lagu favoritku lho, Vin. Aku suka sekali dengan liriknya. Dulu Ray sering menyanyikannya saat kami masih jadian hingga akhirnya aku pun jadi menggemarinya."
Bagus, Jess jadi ikutan menyebut namanya sekarang. Aku tidak sedang cemburu, hanya mendadak alergi mendengar namanya yang berhasil membuat hatiku mendongkol seketika. Entah kenapa aku jadi merasa jengkel dan kesal. Aku pikir lagu yang sempat membuatku melting itu hanya akan dilantunkan Ray untukku seorang. Tapi nyatanya dia juga melakukan hal yang sama pada Jess. Sial, sepertinya aku terlalu ke GR-an sendiri. Aku lupa kalau dia itu tukang gombal kelas ikan paus. Huh, dasar playboy cap silit kuda!
"Vin... Vin..."
"Eh... iya, Jess..." Mampus, aku melamun lagi barusan.
"Setelah selesai makan kita langsung pulang saja, yuk." Suara Jess mendadak terdengar lesu dan tidak bersemangat.
"Lho... kenapa Jess?"
Aneh, bukannya malam masih panjang? Terlebih besok adalah hari libur. Lalu kenapa Jess ingin pulang secepat ini? Apa berduaan denganku se-membosankan itu?
"Aku capek, Vin. Aku ingin istirahat."
Atau dia marah karena sedari tadi sering kuabaikan?
"Hmm... baiklah, Jess. Tapi kita mampir sebentar yah ke kedai ice cream. Aku ingin membelikanmu strawberry cheese ice cream. Bukankah semalam kamu bilang sedang ngidam ingin makan ice cream itu."
Aku masih berusaha untuk mengembalikan mood Jess yang entah kenapa mendadak memburuk. Tapi sayangnya gadis itu menggelengkan kepala menolak ajakanku barusan. Dia seperti tengah memendam sesuatu dan membuatku jadi merasa bersalah.
"Jess, kamu tidak apa-apa? Maaf, jika sedari tadi aku sering kali mengacuhkanmu. Aku janji mulai sekarang aku tidak akan melamun lagi karena perutku sudah terisi. Kamu jangan marah ya, Jess. Ayolah, Jess... jangan ngambek di hari pertama kita jadian. Maafkan aku, yah... yah..." Aku mencoba merayunya.
Namun Jess tetap membisu, tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Gadis itu hanya terlihat diam sambil menopang dagu dengan salah satu tangannya. Sementara tangan yang lain sibuk mengaduk-aduk makanan di depannya dengan tidak berselera. Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Apa jangan-jangan lagu yang diputar barusan juga mengingatkannya pada Ray, yang berarti dia juga masih belum bisa move on sama seperti diriku? Lantas mengapa dia menerimaku jadi pacarnya? Apa aku hanya sebatas pelarian baginya? Ah, kenapa situasinya malah jadi rumit seperti ini.
"Vin, apa kamu tidak merasa capek?"
Mendadak Jess melontarkan pertanyaan yang langsung membuatku keningku mengerut bingung. Apa dia ingin menguji seberapa lama aku ingin bersamanya? Atau dia hanya ingin segera pulang?
"Mana mungkin aku capek bila ditemani pacar sepertimu, Jess. Mau pergi kemanapun malam ini pasti akan kutemani. Pegang janjiku itu, Jess." Aku tersenyum ringan, masih berusaha mencoba merayunya. Aku ingin mengembalikan moodnya yang mungkin mendadak hilang akibat aku sering melamun dan mengacuhkannya.
"Cukup, Vin! Mau sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini, hah?"
"Mak-maksudmu, Jess?" Astaga, sepertinya dia memang sedang marah padaku.
"Aku lelah Vin, terus berpura-pura jika semuanya baik-baik saja. Aku sungguh ingin memulai sebuah hubungan baru denganmu, tapi aku sadar jika cintamu bukan untukku."
Aku sedikit tersentak mendengar perkataan Jess. Sepertinya sikapku sudah sangat keterlaluan hingga dia bisa mengambil kesimpulan bila aku tak serius menginginkannya. Aku tak mau menyangkal ataupun membenarkan. Aku tak ingin ada yang tersakiti lagi. Jadi lebih baik aku diam saja.
Jess menghela nafas sambil kemudian menatapku dalam. "Aku tahu jika kamu mencintai Ray. Kumohon jangan memaksa dirimu untuk mencintaiku. Kamu adalah pria yang baik. Aku ingin kamu mengejar kebahagianmu, Vin."
Glek, aku menelan ludah. Kenapa dia mampu mengungkap sebuah kenyataan yang berusaha aku tutupi? "Eh... ka-kamu... sepertinya melantur deh, Jess. Aku bukan seorang gay dan Ray sepertinya juga bukan. Mana mungkin kami berdua bisa saling suka? Ada-ada saja kamu ini, Jess. Hehehe..." Ah sial, dia berhasil membuatku jadi kikuk seketika.
"Sudahlah, percuma kamu mengelak, Vin. Aku yakin jika dugaanku kali ini tidak salah. Aku sudah curiga sejak lama tapi aku selalu berusaha bersikap seolah semua baik-baik saja dan mengubur dalam-dalam prasangka burukku. Namun mataku terbuka saat Ray memutuskanku. Dia membangunkanku dari mimpi indah bersamanya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. Dia meminta maaf padaku tidak bisa melanjutkan hubungan kami berdua karena hatinya sudah dimiliki oleh orang lain. Dan aku yakin orang itu adalah kamu, Vin."
"Err... kenapa kamu bisa seenaknya mengambil kesimpulan tidak masuk akal seperti itu, Jess? Ingat, aku dan Ray adalah sesama pria. Dia juga seorang playboy kelas kakap. Jadi mungkin saja dia mendapatkan gadis cantik lain sebagai mangsa barunya." Aku mencoba mengelak dan mematahkan semua tuduhan Jess. Gila, masa aku harus mengakui diriku seorang homo karbitan di depan gadis yang baru saja menjadi kekasihku?
Jess menggelengkan kepala. "Tidak Vin, instingku kuat mengatakan jika Ray tidak pernah melirik gadis lain saat bersamaku. Namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang dia sembunyikan saat bersamamu. Kejadian di perpustakaan saat kalian dihukum tempo hari adalah awalnya. Demi untuk mengejarmu, dia tidak menghiraukan panggilanku dan pergi meninggalkanku begitu saja di perpustakaan bersama Arif. Padahal apa susahnya menemani sebentar pacarnya sendiri hingga jam istirahat berakhir? Apa belum cukup dia menemanimu semenjak pagi? Seharusnya dia bisa mencarimu saat aku sudah kembali ke kelas karena kalian berdua masih akan menghabiskan siang bersama.
Dari kejadian itu, perlahan aku mulai sadar bila Ray menganggapmu lebih dari seorang teman. Dia menempatkanmu sebagai proritas utama dalam hatinya melebihi posisiku sebagai pacarnya sendiri ataupun Arif, sahabat baiknya."
Sial, kenapa mendadak aku jadi merasa seperti terdakwa yang tidak diperkenankan menyanggah pada saat mendengarkan jaksa penuntut umum mengurai bukti-bukti kejahatanku?
"Dan bukan hanya itu saja, Vin. Jauh sebelum kejadian di perpustakaan itu, aku sering memergoki Ray diam-diam memperhatikanmu saat kamu tidak sengaja melintas di hadapan kami berdua. Aku selalu berusaha berpikir positif dan membuang jauh kecurigaanku. Aku menganggap bila itu hanyalah sebuah pandangan aneh ataupun sinis terhadap siswa yang terkenal pembuat onar. Namun akhirnya kecurigaanku menjadi kenyataan saat dia memutuskanku setelah berhasil dekat denganmu.
Aku benar-benar terpukul saat itu. Lalu tiba-tiba kamu datang mencoba menghibur ketika aku menangis di taman sekolah. Kamu seperti embun yang menyegarkan hariku yang kelam, Vin. Aku merasa begitu nyaman dan lega menumpahkan air mataku dalam dekapanmu. Aku seperti mendapat sebuah harapan baru.
Namun sayang aku harus melihat apa yang seharusnya tidak boleh kulihat saat tanganmu mendadak berhenti mengusap punggungku untuk menenangkanku. Aku mendongak ke atas menatap wajahmu yang tertegun memandang ke arah di balik punggungku. Aku mengikuti sorot matamu hingga memalingkan mukaku ke belakang dan mendapati Ray tengah berdiri di sana. Tapi lagi-lagi aku berusaha menipu diri sendiri dengan menganggap cinta Ray padamu bertepuk sebelah tangan. Aku masih punya kesempatan untuk dekat denganmu. Bahkan aku sempat yakin jika kamu benar-benar suka padaku akibat perhatianmu yang intens padaku selama tiga hari belakangan. Namun sekarang aku sadar jika sebenarnya perhatianmu itu hanya sebatas rasa kasihan, mengingat kamu pernah mendekatiku dulu."
Rasanya aku mau mati sebab Jess menembak tepat sasaran. Dia seperti bisa membaca hubunganku dengan Ray. Apa dia keturunan seorang dukun ramal?
"Oh ya, Vin. Apa kamu tahu jika lagu barusan itu aku yang sengaja meminta pelayan memutarkannya untukmu?"
Great, aku salah sangka! Ternyata Jess bukan sedang mengkhawatirkanku tadi. Dia malah ingin membunuhku secara perlahan dengan lagu itu.
"Aku hanya ingin memastikan ke arah mana lamunanmu malam ini, Vin. Dan sepertinya dugaanku tidak meleset. Aku memang tidak tahu apa yang telah terjadi pada kalian berdua, namun yang pasti kamu sedang berusaha mati-matian untuk tidak memikirkannya saat ini. Lagu barusan pasti membuatmu semakin sulit mengusir Ray dari pikiranmu, bukan?"
"Eh... anu... Aku... aku..." Kurang ajar, Jess sudah berhasil membuatku jadi mati kutu! Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Argghh...
"Hihihi... kamu lucu, Vin. Kamu sudah seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri. Ah... aku merasa lega sudah mengeluarkan beban yang kusimpan dalam hatiku selama ini."
"Ma-maafkan aku, Jess. Apa kita berdua sudah tidak ada kesempatan lagi?"
"Tidak ada, Vin. Jangan sekali-sekali kamu memikirkan hal itu lagi. Apa kamu belum cukup membohongi diri sendiri dan juga diriku? Apa kamu juga ingin membuatku sakit hati seperti yang pernah Ray lakukan padaku, saat kelak kamu menyadari cintamu hanya untuknya dan lantas pergi meninggalkanku, hah?"
"Tapi... Jess aku sungguh menyayangimu. Aku berjanji akan belajar mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu."
"No! Aku tidak mau menunggu sesuatu yang tidak pasti, Vin."
Ah, syukurlah dia tidak mau sebab barusan aku hanya berbasa-basi untuk membesarkan hatinya. Akan terlalu kejam jika aku langsung mengakui mencintai Ray dan selama ini berusaha menyukainya namun gagal. Sepertinya dugaan Jess benar, aku hanya bersimpati padanya karena merasa kasihan.
"Jadi daripada kamu bersusah payah belajar mencintaiku, lebih baik kamu kejar cintamu yang ada di depan mata, Vin. Sebelum semua terlambat dan kamu akan menyesalinya. Lagipula kalian berdua tidak terlalu buruk sebagai pasangan. Malah terlihat serasi, hihihi..."
Ah, aku lega. Tampaknya mood Jess mulai membaik. Dia bahkan sudah berani menggodaku sekarang.
"Eh, apa maksudmu, Jess? Apa kamu tidak sadar jika kami berdua adalah sesama pria? "
"Memang kenapa, Vin? Apa kamu takut ada yang mencemooh jika kabar kedekatan kalian berdua tersebar? Hei, kamu juga berhak bahagia seperti pasangan lainnya, Vin. Aku tahu seandainya kamu bisa memilih, kamu pasti lebih memilih untuk mencintaiku daripada Ray. Tapi hati tidak bisa berbohong, Vin. Dan itu bukan salahmu jika hatimu memutuskan untuk berlabuh pada Ray. Jangan terlalu memusingkan perkataan orang. Mereka tidak merasakan sendiri berada di posisimu hingga mudah sekali untuk mencela. Lagipula aku yakin tidak bakal ada yang curiga jika kalian berdua bisa bersikap wajar di tempat umum. Tenang saja, rahasiamu aman bersamaku, Vin. Aku akan selalu mendukungmu, hihihi..."
Aneh, kenapa dia mendadak jadi bersemangat sekali ingin menyatukan aku dengan Ray? Apa dia sedang frustasi karena pria yang mendekatinya ternyata semuanya homo baru meletek, hingga membuat otaknya jadi konslet?
"Jess, kenapa kamu memberi nasehat seolah aku sudah jadian dengan Ray saja? Kami hanya sebatas teman, Jess. Tidak lebih." Aku masih mencoba mengelak. Aku sengaja ingin melihat reaksi gadis tipe langka yang tengah cecikikan sendiri di hadapanku. Heran, baru pertama kali ini aku menjumpai wanita yang sangat mendukung percintaan antara sesama pria.
"Iya, aku tahu, Vin. Tapi aku yakin malam ini kalian berdua akan segera menjadi pasangan setelah kita pulang nanti, hihihi... Ingat, jangan lupa untuk mentraktirku, Ok!"
"Ok... beres, Bos! Tapi aku tidak janji, sebab aku memang tidak ada apa-apa dengan Ray, hehe... But anyway, thank you yah, Jess, untuk pengertian dan dukunganmu. Aku mungkin akan selalu berhutang padamu."
"Sama-sama, Vin. Kamu dan Ray adalah pria yang baik. Kalian berdua sudah selayaknya bahagia. Dan sepertinya kamu bisa membayar hutangmu dengan sering-sering bercerita padaku apabila kalian baru saja melakukan ehem... ehem... Wah, pasti sangat liar dan hot permainan kalian berdua itu! Hmm... aku jadi bingung, kira-kira siapa yah yang bakal jadi semenya? Sepertinya Ray lebih cocok jadi ukenya deh, secara dia kan lebih keren dan lembut dibandingkan kamu, Vin, hihihi..."
Entahlah, Jess sedang melantur apa. Aku sama sekali tidak mengerti. Dia menyebutkan istilah-istilah aneh yang baru pertama kali ini kudengar. Seme? Uke? What the fuck is that? Apa itu sejenis bahan bangunan?
Aku mengangkat tangan kananku ke atas untuk memanggil pelayan hendak meminta bill, setelah kami berdua menyelesaikan makan malam.
Namun ternyata kejutan dari Jess barusan belum cukup mengisi malamku. Kedua bola mataku mendadak membulat saat beranjak bangkit dari tempat duduk. Dari kejauhan aku dapat melihat dua orang siswa yang berasal dari sekolahku, baru saja masuk melalui pintu utama restoran. Mereka berdua tampak akrab satu sama lain. Bahkan lengan pemuda yang bertubuh lebih tinggi tampak melingkar erat di atas pundak pemuda berkacamata di sebelahnya. Huh, sejak kapan mereka berdua menjadi sedekat itu?
Sialan, dua ekor cecunguk itu sudah berani main rahasia-rahasiaan di belakangku rupanya! Untung saja saat ini aku punya urusan yang jauh lebih penting daripada mengurusi mereka berdua. Jika tidak, jangan harap kedua bocah tengik itu bisa makan malam dengan tenang berduaan saja. Aku pasti akan membuat perhitungan dengan mereka sebab tidak mau berterus terang padaku! Grrr...
**********
Akhirnya aku sampai juga di depan pintu kamar Ray. Berdiri mematung untuk beberapa saat seraya memandangi badan pintu. Entah kenapa aku jadi merasa sangat gugup. Dadaku bergemuruh hebat sementara jantungku berpacu dengan kencangnya. Bahkan hendak mengayunkan tangan untuk mengetuk pintu pun terasa berat bukan main.
Belum lagi keraguan yang tengah menyelimuti benakku saat ini. Apa hatiku siap menerima kenyataan jika ternyata Ray tengah bermesraan dengan Arif di dalam? Apa sebaiknya aku menunggu besok saja untuk menemuinya?
Tidak, aku tak boleh menunda lagi. Aku tak mau jadi pengecut meski aku harus siap dengan kenyataan yang menyakitkan. Tidak apa, aku yakin aku bisa mengatasi rasa sakit yang sementara itu sebab aku sudah bertekad akan merebut Ray dari ketua osis busuk itu. Aku harus memperjuangkan kebahagiaanku sendiri.
Badan pintu terlihat bergeser ke dalam setelah beberapa kali aku mengetuknya. Jantungku berpacu semakin kencang dan rasa was-was menyergapku seketika. Semoga saja bukan Arif yang membuka pintu.
"Marvin??"
Aku menghela nafas lega saat mendapati wajah yang sudah kurindukan sedari tadi muncul dari balik pintu. Dia terlihat sangat kaget dengan kedatanganku.
"Malam, Ray..." Aku melempar senyum ke arahnya tapi dia malah menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang terlihat sendu dan muram.
"Mau apa kamu kemari, Fin?" tanyanya pelan tidak bersemangat.
"Hmm... aku ingin minta tolong padamu mengerjakan PR, Ray. Boleh aku masuk?" Aku menunjukkan buku tugas yang sudah kuambil terlebih dulu dari kamarku sebelumnya. Aku butuh bahan untuk membuka pembicaraan.
"Maaf, Fin. Sebaiknya besok saja kamu kembali. Aku sedang tidak enak badan. Aku ingin istirahat. Selamat malam, Fin."
"Tunggu, Ray!" Aku langsung menahan badan pintu yang tengah didorong Ray untuk ditutup. "Bilang saja kamu tidak ingin aku masuk karena kamu sedang asyik berduaan dengan Arif di dalam. Iya, kan?"
"Arif tidak ada di sini, Fin. Dia pergi mengantar Lisa pulang untuk menjenguk ayahnya."
"Lalu kenapa kamu tidak mengijinkanku masuk, Ray?"
"Seperti yang sudah kubilang, aku sedang tidak enak badan, Fin. Aku ingin tidur lebih awal. Aku janji aku pasti akan membantu mengerjakan PRmu besok. Kumohon biarkan aku sendiri malam ini, Fin."
"Cukup, Ray! Jangan berbohong lagi!" Entah kenapa mendadak aku menjadi emosi hingga tanganku spontan menggebrak badan pintu di hadapanku. "Bilang saja kamu tidak ingin bertemu lagi denganku, Ray! Aku tahu kamu sengaja menghindariku." Aku merasa tidak terima karena barusan dia menolak kedatanganku dan menyuruhku kembali.
"Maaf, Fin... aku... aku hanya butuh waktu sendiri. Hatiku belum siap menerima kehadiranmu saat ini. Kembalilah besok, aku janji akan membantumu mengerjakan tugas."
"Tidak, aku tidak mau menunggu sampai besok, Ray. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu sekarang. Aku memaksa dan kamu jangan berani coba-coba mengusirku!"
"Kenapa, Fin?" Ray mendongakkan kepala untuk memandangku dengan tatapan mengiba. Kedua matanya tampak berkaca-kaca yang membuatku jadi tidak tega. Aku merasa bersalah sudah menyakiti perasaannya.
"Kumohon Fin, hentikan... Kenapa kamu masih saja mendatangiku setelah mencampakanku? Apa kamu ingin menyiksa batinku dengan kehadiranmu di sini, Fin? Atau kamu sedang ingin mentertawaiku sekarang? Silahkan mengejekku sepuasnya, Fin. Sebab aku memang pantas mendapatkannya. Mungkin ini balasan yang setimpal karena selalu merebut setiap gadis incaranmu. Niatku yang ingin menjadikanmu hanya milikku, malah menjadi bumerang untukku. Aku harus kehilanganmu pada akhirnya."
"Hei, siapa bilang kamu kehilanganku, Ray? Kamu pikir sedang apa aku berdiri di sini sekarang jika tidak untuk menemanimu, bodoh!"
"Eh... maksudmu apa, Fin?"
"Sudahlah, jangan banyak tanya, Ray!"
Aku harus bertindak gesit, mumpung dia sedang bingung mencerna perkataanku barusan. Aku langsung mendorong badan pintu ke dalam hingga tubuhku cukup untuk menyusup masuk. Ternyata dia tidak berbohong, kedua mataku memang tidak menangkap kehadiran Arif di kamarnya. Bagus, berarti tidak ada yang bakal mengganggu kebersamaanku dengan Ray untuk saat ini.
"Kamu... kamu mau apa, Fin?" Ray masih saja tampak bingung melihatku yang kini sudah berdiri di dekatnya. Sial, mau sampai kapan dia terus bersikap polos seperti itu, hah?
Aku memajukan wajahku mendekat ke telinganya. "Aku ingin kamu bertanggung jawab atas perbuatanmu malam itu!"
"Mak-maksudmu, Fin?"
Argghh... kenapa dia mendadak jadi oon seperti ini? Apa dia tidak bisa menangkap maksudku jika aku bersedia menjadi kekasihnya. Bukankah dia sendiri yang mengutarakan akan bertanggung jawab setelah memperkosaku malam itu?
Ah sudahlah, daripada aku jadi geregetan sendiri lebih baik segera kubungkam saja mulutnya biar tidak bertanya terus-terusan. Tapi alih-alih membalas ciumanku dia malah mendorong dadaku hingga bibirnya terlepas dari lumatan bibirku. Sial, kenapa dia jadi sok jual mahal seperti ini, hah? Apa aku perlu pura-pura ngambek untuk menarik perhatiannya?
"Ok... ok... aku mengerti, Ray. Sepertinya kamu sudah tidak menginginkanku lagi. Maaf, sudah mengganggu istirahatmu." Aku segera memutar badanku hendak keluar dari kamarnya.
Satu...
dua...
tiga...
"Tunggu, Fin!"
Aha! Seperti yang sudah kuduga, Ray langsung meraih lenganku mencoba untuk mencegahku pergi. Kemudian supaya lebih terkesan dramatis, aku menolehkan wajahku, menatapnya jengah seperti adegan dalam sinetron. "Lepaskan tanganmu, Ray! Untuk apa kamu menahanku jika kamu sudah tidak menginginkanku lagi?"
Wah, sepertinya aku layak mendapat oscar untuk kemampuan beraktingku. Setelah ini dia pasti akan bertanya tentang Jess. Lalu aku akan menjawab jika hubunganku dengan gadis itu sudah berakhir sebelum dimulai karena aku lebih memilihnya. Kemudian dia menjadi terharu atas jawabanku dan kami berdua jadian setelahnya. End, happy ending deh.
Tapi tebakanku ternyata meleset sebab Ray tetap terdiam. Mengunci rapat mulutnya sembari menatapku lekat. Namun hanya sebentar, sebab dia mendadak menyeringai seperti singa lapar yang siap menerkamku hidup-hidup. Bahkan genggaman jemarinya pada lenganku terasa semakin erat mencengkeram. Gawat, apa yang hendak dia lakukan padaku!"
"Siapa bilang aku sudah tidak berminat padamu lagi, Fin? Aku selalu menginginkanmu meski kamu sudah menjadi milik Jess sekarang. Aku tak peduli jika kamu menjadikanku yang kedua. Tapi aku berjanji jika pada akhirnya nanti hanya aku satu-satunya yang akan memilikimu."
Celaka, selain mesum ternyata dia juga posesif. Sepertinya aku baru saja membuat kesalahan dengan membangunkan harimau tidur.
Tangan Ray langsung menarik kuat-kuat lenganku hingga badanku terseret limbung dan menubruk dadanya yang kekar. Lalu dia melingkarkan salah satu tangannya di pinggangku, menekannya sampai terkunci rapat dalam pelukannya. Sementara tangan yang lain meraih daguku agar pandanganku hanya terfokus pada wajahnya saja.
Glek, aku menelan ludah saat tatapannya yang penuh cinta itu kembali menembus manik mataku hingga ke dalam lubuk hatiku. Aku jadi merasa tersanjung sekaligus nervous luar biasa dan sedikit panik. Jantungku berpacu semakin hebat seraya keringat dingin mulai membasahi keningku. Apa sebenarnya yang hendak dilakukan playboy mesum itu padaku?
"Maaf, Fin. Tadi itu aku bukan berniat menolakmu karena aku akan selalu menikmati setiap inci dari bibirmu yang memabukkan itu. Aku hanya ingin mengingatkan jangan lupa menutup pintu saat kamu menciumku, my muffin." Ray mengulas senyum mesum sebagai penutup kata-katanya. Lalu tanpa aba-aba dia langsung melahap bibirku dengan penuh nafsu, sembari salah satu kakinya menendang badan pintu hingga tertutup.
Gawat, tamatlah riwayatku! Sepertinya playboy mesum itu salah mengartikan permintaanku. Dia benar-benar akan bertanggung jawab atas perbuatannya dengan memperkosaku lagi malam ini. Celakanya aku tidak dalam keadaan mabuk saat ini. Apa aku bisa menikmati benda sebesar punya Ray itu melesak masuk ke dalam lubangku yang sempit? Gila, membayangkannya saja aku sudah jadi ngeri sendiri apalagi menjalaninya nanti. Argghh... siapa saja tolong selamatkan aku dari tindak asusila yang akan segera dilakukan Ray padaku!
TBC
Ok, tugasku sudah selesai mengembalikan Marvin pada Raymond.
Jadi untuk sementara cerita ini akan berstatus on hold. Aku sudah menjadikan satu dua bab pada part ini. Sekalian memberi sedikit waktu untuk Marvin berduaan dengan Ray sebelum aku goncang lagi hubungan mereka, hehehe...
Sepak terjang Arif dan couple terbaru cerita ini, nantinya aku bahas setelah lebaran saja. Takutnya aku kelepasan menambahi sedikit bumbu esek-esek dalam cerita yang membuat batal bagi yang sedang berpuasa.
Sebagai gantinya aku akan menulis kelanjutan ceritaku yang lain, BMKG dan Supertar. Bagi yang belum baca cerita terbaruku berjudul Superstar silahkan mengubek-ubek profileku.
Ok, seperti biasa aku menunggu voment dari kalian.
Thank you very much!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top