10

Marvin POV

Rasanya aku mau mati. Ulu hatiku terasa sakit sekali hingga membuat nafasku jadi sesak. Perutku juga mulai mengeras dan kram. Aku kekenyangan tingkat akut.

Salahkan playboy mesum itu jika namaku sampai dimuat pada headline sebuah surat kabar. Seorang pelajar SMU ditemukan tewas mengenaskan didalam kamar asramanya akibat kebanyakan makan.

Bagaimana tidak, selain mentraktirku semangkuk bakso dan segelas jumbo jus alpukat, dia juga memborong seluruh muffin coklat yang tersisa milik satu-satunya stand kue di kantin untuk diberikan padaku, meski aku tak memintanya. Dia seperti bisa membaca pikiranku.

Dasar rakus, aku juga langsung melahap beberapa muffin pemberian Ray itu dan sisanya tergeletak dalam kantung kresek diatas meja belajarku. Entah kenapa barang gratisan itu selalu lebih nikmat rasanya.

Jadi disinilah aku sekarang, tengah bermalas-malasan diatas ranjangku dengan perut sebah dan sesak. Ray yang menyuruhku untuk segera beristirahat. Dia tak tahan dengan rengek dan keluh kesahku sebab perutku rasanya ingin meletus tapi tentu tak sampai membuncit. Ingat, perutku itu rata, sixpack dan juga merupakan kebanggaanku.

Ray lantas mengantarku kembali ke kamar sementara dia yang akan mengerjakan sendiri tugas dari Bu Ria di kamarnya.

Sebenarnya Ray ingin menemani dan tak mau meninggalkanku. Dia ingin mengerjakan tugas itu di kamar ini. Tapi dengan galak aku telah mengusirnya karena aku takut diperkosa lagi olehnya saat sedang tertidur. Aku dibebas tugaskan. Hmm... baik juga ternyata dia itu.

Tak berselang lama, semilir sejuk hembusan angin AC dalam kamar membuat kedua mataku perlahan terasa berat. Aku jadi mengantuk. Tapi entah kenapa aku masih belum ingin tidur, seolah ada sesuatu yang mengganjal dihati.

Aku lantas menarik paksa tubuhku untuk bangkit dari atas ranjang, berjalan malas menuju kasur kosong milik Rio disebelah, yang dipisahkan oleh sebuah nakas ditengah.

Lalu aku merangkak cepat diatas ranjang tak bertuan itu untuk mendekat pada dinding yang menghubungkan dengan kamar Ray. Jemari tangan kananku langsung mengepal dan segera mengetuk dinding itu beberapa kali.

Hanya selisih sepersekian detik dari ketukan terakhirku, terdengar tiga kali ketukan balasan dari penghuni kamar sebelah. Ajaib, ganjalan di hatiku mendadak lenyap saat mengetahui Ray berada didalam kamarnya. Sebuah senyum terkembang pada kedua belah bibirku tanpa aku sadari. Ugh, dasar bibir norak!

Aku langsung buru-buru kembali ke ranjangku sendiri untuk segera menikmati waktu tidur siang yang akan segera berakhir, sebelum sore menjelang. Aku lantas merebahkan tubuh diatas ranjangku yang empuk sambil langsung memejamkan kedua mataku. Selamat datang pulau kapuk. Selamat tidur, mesum! Aku terlelap dalam senyum.

**********

Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Aku sedikit terkaget saat melirik ke arah sebuah jam kecil diatas nakas. Sudah pukul enam sore.

Aku segera bangkit terduduk diatas ranjang sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Lampu sudah menyala terang tapi kamar tetap kosong tak berpenghuni. Tampaknya Rio sudah kembali ke kamar ini dan pasti dia yang telah menyalakan lampu kamar. Tapi pergi kemanakah si kutu buku itu saat ini?

Gila! Sudah seperti orang mati saja tidurku hingga tak menyadari Rio keluar masuk kamar. Ah, biar saja! Palingan dia pergi ke kamar temannya yang sesama alim dan pintar untuk menggelar arisan buku pelajaran atau membahas ulang materi pelajaran hari ini. Ugh, pasti kehidupan dia itu sangat membosankan. Menjadikan buku pelajaran seolah seperti pacar yang tak ada bosan-bosannya dibahas terus-menerus.

Eh, apa baru saja aku menyebut kata pacar? Aku mendadak langsung berdiri diatas ranjangku teringat sesuatu yang sangat penting. Aku langsung melompat ke ranjang kosong Rio bak atlet olimpiade cabang lompat jauh dan mendarat dengan sempurna. Sepertinya aku layak dapat medali emas.

Aku langsung mendekat pada dinding kamar sambil kemudian segera mengetuknya untuk mengabsen. Tapi sialnya tak ada balasan seperti sebelumnya meski aku sudah mengetuknya berulang kali. Ketukanku semakin lama semakin keras hingga mirip sebuah gedoran, karena aku mendadak jadi khawatir sekaligus emosi.

Shit! Kemana saja si playboy mesum itu? Mengapa dia tak membalas ketukanku? Apa dia sedang mencret-mencret dikamar mandi? Bagus, sekalian saja dia kena diare terus masuk rumah sakit! Atau jangan-jangan dia sedang bercinta dengan pacar homonya itu? Fuck! Kenapa tiba-tiba hatiku memanas dan jadi bertingkah paranoid seperti ini?

Rasanya aku ingin segera melabrak ke kamar sebelah. Tapi apa tidak terlalu konyol alasanku marah sebab dia tak membalas ketukanku? Terlebih dia juga bukan siapa-siapaku. Apa aku punya hak untuk cemburu? Eh bukan-bukan, aku tak sedang cemburu kok. Aku hanya tak suka membayangkan dia bercinta dengan si ketua OSIS gembel itu. Masa seorang pria make love dengan sesama pria. Ugh, menjijikkan!

Ah sial, sial! Aku benar-benar tak bisa tenang. Rupanya mengacak-acak kasar rambut dengan kedua tanganku juga tak kunjung membuat jernih pikiranku. Aku malah semakin gelisah.

Namun mendadak kedua mataku menyipit saat menangkap sebuah benda yang berdiri diatas lantai, tersandar pada dinding lemari pakaian. Aku bergegas berjalan menuju benda itu dan segera meraihnya. Aku berniat mengembalikan pada pemiliknya. Aku jadi punya alasan yang kuat untuk mengunjungi kamar sebelah. Aku tersenyum puas.

Setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar Ray, terlihat badan pintu itu bergeser masuk kedalam sambil kemudian muncul seorang pria tampan yang mencuatkan setengah badannya dari balik pintu itu. Raut wajahnya tampak masam sekali melihat kedatanganku. Dia juga terlihat sedang bertelanjang dada tapi aku tak dapat melihat bagian bawahnya karena tertutup badan pintu. Sial, sepertinya dugaanku benar. Mereka pasti sedang bercinta. Grrr...

"Mau apa kamu kemari, hah?" semprotnya ketus tanpa basa-basi.

"Hei, Rif. Ray ada?" sapaku mencoba sopan.

Aku sebenarnya muak melihat wajah ketua OSIS bermulut sampah itu. Aku belum buat perhitungan atas penghinaannya. Tapi aku harus menahan diri karena Ray pasti sedih jika aku menghajar pacar homonya itu. Astaga, mengapa aku jadi repot-repot memikirkan perasaan si playboy mesum itu segala? Sial, sepertinya aku sudah mulai tak waras.

"Kenapa kamu mencari Ray? Ada urusan apa kamu dengannya, hah?" cecar Arif masih dengan nada ketus.

"Aku hanya ingin mengembalikan barangnya yang tertinggal di kamarku," balasku sambil meninggikan sedikit sebuah gitar akustik yang kupegang sampai dapat terlihat oleh Arif.

"Hmm... berarti Ray tadi main ke kamar sebelah. Sial, awas saja dia itu!" gerutu Arif pelan tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Lalu dia menatap tajam ke arahku. "Sini, berikan padaku gitar itu!" serunya kasar dengan nada memerintah.

"Err... sorry, Rif. Aku ingin mengembalikannya sendiri pada Ray. Bisa minta tolong panggilkan dia?"

Enak saja! Arif pasti ingin aku segera menyingkir dari tempat itu. Dia pasti sudah tak sabar ingin melanjutkan kegiatan esek-eseknya yang terhenti sementara akibat kedatanganku. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Tchh... dia tak ada disini! Cepat sini berikan gitar itu padaku!" ucap Arif makin tak sabaran.

"No way! Aku tahu Ray pasti didalam. Sudah, cepat kamu panggilkan dia!"

Aku yakin Arif sedang berbohong. Ray pasti sembunyi didalam tengah terburu-buru memakai pakaiannya saat ini.

"Hei... apa kamu tuli, hah? Ray tak ada disini. Terserah, jika kamu tak percaya. Kamu bisa kembali nanti. Aku sedang sibuk sekarang! Buang-buang waktuku saja!"

Tentu saja aku tak percaya. Dengan sigap aku langsung mendorong badan pintu yang sepertinya akan segera ditutup oleh Arif untuk menerobos masuk. Aku ingin memergoki si playboy mesum itu didalam. Dia sudah tak bisa lagi menghindar.

Sungguh malang nasib Arif yang tak siap menerima serangan tiba-tibaku. Aku bisa melihat sekilas dahinya membentur pinggiran pintu kamar. Aku tak peduli.

Namun, ternyata dugaanku salah. Ray tak ada dikamarnya. Aku hanya melihat dua buah ranjang kosong yang salah satunya terdapat sebuah ponsel android tergeletak diatasnya. Mungkin itu milik Arif.

Gadget itu mengeluarkan suara berisik semacam lenguhan atau desahan dua orang pria saling bersahutan, bergumam oh yes dan oh no. What the heck! Apa Arif sedang memutar bokep diponselnya itu. Tapi mengapa tak ada suara ceweknya? Aneh.

Aku menoleh ke arah Arif yang sepertinya berdiri mematung dibelakangku, didepan dinding kamar dekat pintu.

Kedua bola mataku langsung membulat saat mendapati tubuh polos Arif tanpa sehelai benang pun menutupinya. Hanya terlihat salah satu tangan Arif yang menutupi bagian vitalnya. Sepertinya aku baru saja mengganggu aktivitas solo karirnya. Rasain deh!

Tersadar dari kebekuannya, Arif segera menutup pintu kamar itu hingga aku sempat melihat dengan jelas batang kemaluannya menggelantung bebas, saat tangannya terangkat mendorong knob pintu tersebut. Lumayan besar dalam kondisi tidurnya namun tak sebesar punya Ray.

Aku menjadi penasaran dengan film yang tengah diputar oleh gadget milik Arif tersebut. Apa dia sedang bermasturbasi sambil menonton film itu? Lalu seperti apakah bokep yang hanya berisi desahan nikmat sesama pria itu bentuknya?

Aku memutar kepalaku untuk kembali menatap ke depan sambil meletakkan gitar yang kupegang diatas lantai. Aku lantas melangkahkan kaki mendekati ranjang dengan gadget berisik yang tergeletak diatasnya. Lalu aku segera meraih benda itu sembari kemudian mencermati adegan yang disuguhkan pada layarnya.

Aku terhenyak kaget. Arif bukan tengah memutar bokep gay biasa tapi lebih seperti sebuah rekaman private sex dirinya dan... Shit! Aku tak sanggup menyebut namanya. Hatiku mendadak terasa perih dan panas.

Aku langsung membanting kasar benda sialan itu ke atas kasur. Emosiku perlahan naik. Rasanya aku ingin menonjok seseorang.

Aku mempercepat langkahku menghampiri Arif yang tampak berdiri tertegun dengan wajah memucat mengetahui rahasianya baru saja terbongkar.

"Dimana dia, Rif?" Aku menatapnya dingin.

Arif diam saja tak menjawab. Emosiku semakin memuncak melihat kebisuannya itu.

"Brengsek!"

Aku langsung menonjok wajah Arif hingga dia terhuyung mundur beberapa langkah kebelakang. Anggap saja itu bayaran atas penghinaannya padaku tadi siang dan sudah bercinta dengan Ray.

"Apa kamu bisu, hah? Jawab! Dimana dia, Rif?" sentakku ketus.

"Di-dia menemui Jess..." balas Arif pelan sambil memegangi pipinya yang terlihat memar.

"Bangsat!" Aku mengumpat didepan Arif yang wajahnya tampak pucat dan khawatir.

"Vin... tolong jaga rahasiaku itu," ucap Arif memohon.

Aku tak menggubrisnya. Aku segera membuka pintu kamar itu sambil kemudian membantingnya kasar hingga menimbulkan bunyi dentuman yang keras, saat aku keluar dari sana.

Aku tahu sebenarnya aku tak berhak untuk marah. Mereka berdua adalah sepasang kekasih yang wajar saja untuk melakukan hubungan intim. Tapi entah kenapa aku tak terima. Hatiku terasa sakit saat melihat Ray tengah menikmati oral service yang diberikan Arif pada penisnya.

Lalu sekarang dia juga pergi menemui Jess. Dia pasti sedang asyik mengencani gadis itu. Anjing! Apa dia tak memikirkan perasaanku? Apa ini yang dia namakan sungguh-sungguh mencintaiku? Bullshit!

Sepertinya aku telah melakukan sebuah kesalahan besar dengan memintanya menjadi temanku. Aku tak rela dia perlahan menghancurkan hidupku hanya karena aku berhutang pembelaan didepan guru BP. Cukup! Aku sudah tak mau punya hubungan apapun jenisnya dengan pria itu.

Aku segera menuju ke kamar Reza dan Bondy. Hanya mereka berdua sahabat terbaik yang tak pernah mengecewakanku. Aku ingin mengajak mereka untuk menemaniku merokok diatas balkon. Aku ingin menenangkan pikiranku yang kalut.

Tapi sayangnya hanya ada Bondy yang saat ini tengah berdiri disebelahku sambil mulutnya terus mengepulkan asap rokok, diatas balkon asrama. Reza sedang pergi keluar entah dengan siapa. Bondy pun tak tahu.

Aku juga tak bisa mengontak Reza karena sebagai siswa kami tak diperbolehkan untuk membawa HP ke dalam lingkungan asrama. Hanya siswa berprestasi dan aktif dalam kegiatan sekolah yang diijinkan. Seperti kedua orang pasangan homo brengsek itu.

"Vin, are you OK?" tanya Bondy disela hisapan tembakaunya.

Aku hanya menghela nafas. Aku sedang tidak baik-baik saja. Pikiranku kacau dan ruwet. Bahkan sepertinya nikotin tak banyak membantu kali ini.

"Apa kamu sedang putus cinta? Tapi aku tak pernah melihatmu dekat dengan cewek manapun, Vin," tanya sahabatku itu polos.

Aku hanya terdiam sambil terus menghisap rokokku dalam-dalam. Seandainya saja Bondy tahu jika ini bukan karena seorang cewek melainkan seorang cowok, apa dia akan jijik, mentertawaiku atau bahkan menjauhiku?

"Wah aku tak menyangka Vin, akhirnya ada juga yang suka padamu, hehe... Anyway siapa orang yang bernasib jelek itu, Vin?"

"Sialan kamu, Bon!" sahutku sambil meninju pelan lengannya. "Huuhh... aku hanya merasa suntuk dan jenuh hari ini, Bon. Setelah seharian berkeliaran hanya berdua dengan playboy kampungan itu demi mengerjakan tugas hukuman dari guru BP," sambungku lagi berkilah.

"Wah, bagus donk itu, Vin! Kamu bisa menyerap ilmu dan triknya untuk dapat mengencani gadis-gadis cantik di sekolah ini. Tak banyak orang yang bisa menjadi teman si populer itu. Dia suka memilih-milih teman. Seharusnya kamu bersyukur bisa dekat dengannya walau cuma sekadar menjalani hukuman. Sayang sekali, tampaknya kamu malah menyia-nyiakan kesempatan langka itu."

Andai saja kamu tahu, Bon. Dekat dengan Ray itu tak seindah yang kamu bayangkan. Hanya rasa sakit yang bisa kudapat. Sakit anusku, sakit digombali, sakit dibohongi, sakit hati, sakit pikiran, dan sakit-sakit lainnya termasuk sakit perut hingga hampir mati kekenyangan.

Rasanya aku ingin benar-benar mereset hubunganku dengan si playboy mesum itu kembali ke angka nol. Kembali lagi seperti dulu sebelum kejadian laknat malam itu. Aku dan dia menjadi seorang asing lagi. Bahkan untuk menjadi temannya pun aku tak mau.

When I see your face
There's not a thing that I would change
'Cause you're amazing
Just the way you are

Eh, kenapa tiba-tiba aku mendengar alunan merdu petikan sebuah gitar yang diikuti dengan suara Ray diselanya. Sebuah lagu yang sempat membuat melting di kamarku tadi pagi. Apa telingaku sedang rusak hingga salah dengar? Atau otakku yang sudah exhausted sebab terlalu banyak berpikir tentang dirinya hingga suara jembretnya pun jadi terngiang-ngiang saat ini? Tapi bukannya sekarang dia sedang menemui Jess?

Aku menoleh ke arah Bondy disebelahku. Dia malah tampak terperanjat memandang ke arah belakang dibalik punggungku.

"Bon, kamu baik-baik saja, kan? Kamu tidak sedang kesambet, kan? Kenapa kamu melongo seperti itu? Mingkem napa? Kamu jangan membuatku jadi takut donk, Bon!"

"Ssttt... jangan berisik, Vin! Gila, suaranya merdu banget, tidak kalah dari Bruno Mars!"

Memang sialan sahabatku itu. Dia membuatku mau tak mau memutar kepala ke belakang untuk melihat penampakan yang berhasil menarik perhatiannya.

Tapi lebih terkutuk lagi pemandangan dibelakangku saat ini. Kenapa aku harus melihat sosoknya disaat aku tengah memutuskan untuk melupakannya? Apa dia tak bisa menggangguku besok saja di sekolah, setelah hatiku siap?

Sepertinya aku tidak bisa lari dari masalah ini. Baiklah, aku akan menghadapinya.

And when you smile
The whole world stops and stares for a while
'Cause boy you're amazing
Just the way you are

Aku segera memutar badanku untuk berjalan menuju Ray yang tampak tersenyum menatapku sambil terus memainkan gitarnya. Dia tampak sumringah aku berjalan mendekat padanya.

"Hai... Fin... " Dia menghentikan petikan gitarnya sejenak untuk menyapaku dengan tersenyum manis.

Aku langsung merebut gitar itu dari tangan Ray dan langsung membantingnya keatas lantai hingga menimbulkan bunyi gaduh yang lumayan keras. Dia tampak terperangah dengan sikapku barusan.

"Mulai sekarang aku ingin kamu menjauh dari hidupku, Ray! Aku tak ingin berurusan lagi denganmu! Bahkan aku tak ingin menjadi temanmu lagi, paham!" sergahku dingin sambil segera berlalu dari hadapannya yang tampak masih tertegun, mencoba mencerna kejadian barusan.

Bondy terdengar sedang meneriakkan namaku beberapa kali tapi aku menghiraukannya. Aku ingin kembali ke kamarku saat ini, karena hanya ditempat itu Ray tak bisa menggangguku.

**********

Aku hanya melamun sepanjang jam pelajaran berlangsung. Reza dan Bondy sepertinya mengerti dengan kondisiku yang kacau meski mereka tak tahu pasti apa penyebabnya.

Mereka hanya sebatas tahu jika hal ini ada sangkut pautnya dengan Ray. Mungkin mereka mengira jika kali ini gadis buruanku berhasil diserobot lagi untuk kesekian kalinya oleh playboy mesum itu, hingga aku jadi dendam dan benci padanya.

Aku pun menolak ajakan Reza dan Bondy untuk pergi ke kantin saat jam istirahat tiba. Aku sedang tak ingin melihat wajah Ray sebab dia pasti disana tengah dikerubuti oleh fansnya seperti hari-hari sebelumnya.

Aku lebih baik menahan lapar daripada bertemu dengan orang plin-plan seperti dia itu. Tekadku sudah bulat untuk menghapus dia dari hidupku. Aku lelah dan capek. Aku menyerah dengan perasaan terlarangku itu.

Aku lantas memilih untuk melangkahkan kaki menuju ke taman sekolah yang beberapa kuntum bunganya telah dicuri Ray kemarin untuk diberikan padaku. Ah, sial! Aku jadi teringat padanya lagi.

Tapi aku tak mengurungkan niatku untuk pergi ke tempat itu sebab ada beberapa kursi panjang di area tersebut yang dapat kugunakan untuk merebahkan tubuh. Aku ingin tidur siang sejenak ditemani rindangnya pepohonan dan angin siang yang bertiup sepoi-sepoi. Mungkin hal itu dapat membantu untuk menenangkan hati dan mengusir kepenatan dalam pikiranku.

Namun saat aku tengah mengedarkan pandangan hendak memilih bangku panjang untuk segera menaruh tubuhku diatasnya, kedua mataku malah menangkap seorang gadis yang tampak tengah menangis sesenggukan, sambil terduduk diatas salah satu bangku diarea taman itu. Dia adalah Jessica.

Tergerak oleh rasa kasihan, aku segera berjalan mendekat menuju ke arah Jess. Mungkin, aku bisa menghiburnya.

"Jess, kamu tidak apa-apa?" tanyaku pelan sambil meletakkan pantatku diatas bangku, disebelahnya.

Dia tidak menjawab hanya terus menangis. Aku merasa semakin iba karena aku memang paling tak tega melihat cewek menangis. Terlebih aku pernah menyukai dia.

"Aku tahu sebenarnya aku tak berhak ikut campur dengan masalahmu, Jess. Tapi terkadang kamu butuh orang untuk berbagi, menumpahkan segala beban di hatimu. Itu akan membuatmu merasa jauh lebih baik, trust me," ucapku bersimpati sambil memegang lembut bahunya.

"Ray memutuskanku Vin, huwaaa...." Jess menangis lebih kencang yang membuatku reflek segera meraih kepalanya untuk membenamkannya diatas dadaku. Aku memeluknya sambil mengusap-usap lembut punggungnya, membiarkan dia menangis sepuasnya untuk mengeluarkan ganjalan dihatinya. Aku sungguh tak tega.

Namun mendadak kedua mataku terbelalak kaget saat melihat seorang pria berdiri mematung agak jauh dihadapanku. Dia tampak shock hingga sebuah tas kresek hitam dalam genggaman tangannya terlepas, jatuh ke bawah. Terlihat beberapa kue muffin coklat menggelundung berserakan diatas lantai taman, dari dalam tas kresek hitam itu.

Dia tampak marah dan kecewa sambil segera membuang mukanya. Dia lantas membalikkan tubuhnya untuk berjalan menjauh dari tempat itu.

Shit! Aku tersadar telah melakukan sebuah kesalahan besar. Sepertinya semalam dia pergi menemui Jess untuk memutuskan hubungan mereka bukan sedang asyik berkencan seperti yang kukira.

Argghh... apa yang harus aku lakukan sekarang?

TBC

Wah panjang banget chapter ini. Ya anggap saja ini tebusan untuk update yang lama hihi... Kurang baik apa coba aku?

Udah gitu aja.

Thank you buat yang berbaik hati mau comment dan vote. I really appreciate that.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top