1

Marvin POV

Aku meletakkan tangan kananku di atas daun pintu kamar Ray yang baru saja berubah menjadi neraka bagiku. Aku ingin segera membuka pintu ini dan terbangun dari mimpi buruk yang baru saja kualami.

Jariku baru saja menggenggam knob berbentuk bundar di ujung sisi kanan pintu ketika benda itu memutar sendiri ke arah berlawanan dengan yang hendak kuputar. Gawat...ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamar ini.

Buru-buru kurapatkan badanku di pintu menahannya dengan lengan kiriku sembari tangan kananku sibuk memutar balik knob itu ke arah yang berlawanan agar kembali ke posisinya semula, mencegah pintu itu terbuka. Dia memutar ke kanan sedangkan aku ke kiri. Kanan--kiri--kanan--kiri hingga dia menjadi tidak sabaran dan mulai menggedor pintu itu.

Bukannya membantuku, Ray malah terpaku sambil cekikikan sendiri melihat tingkahku, terduduk di lantai masih dalam keadaan telanjang. Mataku melotot sambil mengerak-gerakkan kepalaku memberinya isyarat untuk segera menutup auratnya.

Ray memang menangkap maksudku namun ternyata itu menjadi bumerang bagi imanku. Dengan santainya dia bangkit berdiri, berjalan perlahan mendekat ke arahku. Dia ingin menggodaku dengan tubuh polosnya yang kini terpampang nyata di hadapanku.

Mataku dengan lancangnya mengamati setiap lekuk tubuhnya yang terpahat sempurna untuk ukuran remaja seusianya, tidak terlalu kekar namun pas dan berisi.

Aku hanya menelan ludah ketika melihat batang kemaluannya yang berukuran lumayan besar dalam keadaan tidurnya, menggelantung bebas bergoyang kesana-kemari.

Terlintas bayangan di pikiranku betapa sakitnya benda laknat itu bersarang di lubang pantatku semalam, bahkan rasa nyeri dan perih akibat ulahnya masih terasa hingga sekarang. Rasa mual dan jijik menyeruak seketika yang membuatku menjadi muak dan benci terhadap sosok yang makin mendekatiku saat ini.

Segera kupasang kuda-kuda dan siap menendang adik kecilnya sampai KO jika dia berani melangkah lebih dekat lagi menghampiriku. Namun ternyata dugaanku meleset, dia berbelok menuju ke sebuah lemari yang letaknya di pojok kiri tak jauh dari pintu kamarnya itu. Sial, mungkin aku terlalu ke-pede-an menanggapi tingkahnya.

"Ray...buka pintunya...!"

"Sedang apa kamu didalam, Ray? Cepat buka pintunya...!"

Pria itu mulai tak sabaran menggedor pintu kamar Ray sambil mulai meninggikan volume suaranya.

"Geser...!" ujar Ray berbisik agar tak sampai terdengar oleh pria di balik pintu itu, berniat untuk menggantikan posisiku. Tanpa aba-aba, Ray langsung menggenggam tanganku di atas knob itu. Aku terkejut seperti ada aliran listrik menyetrumku ketika tangannya bersentuhan dengan tanganku. Dia menatapku dan aku menatapnya. Hanya dalam hitungan detik saja, kepalaku tertunduk tak kuat beradu mata dengannya. Aku menarik perlahan tangan kananku melepaskan knob itu. Semua masih terasa aneh dan janggal bagiku.

"Vin, sembunyi di sana!" pinta Ray pelan sambil kepalanya diarahkan ke sebuah celah sempit diantara dinding dan lemari pakaiannya di pojok kiri kamarnya.

"Hah? Kenapa aku harus sembunyi?" tanyaku heran seolah-olah aku ini seperti selingkuhannya yang harus ditutupi keberadaannya. Apakah dia tak sadar jika aku dan dia sama-sama seorang pria? Kenapa Ray tak beralasan saja pada pria itu bahwa aku temannya yang semalam menginap untuk mengerjakan tugas?

"Please Vin, menurutlah! Aku minta tolong padamu kali ini," sahutnya pelan memasang wajah memelas. Aku mengalah sambil menarik badanku yang masih menempel di pintu dan dengan sigap badan kokoh Ray menggantikan posisiku menahan pintu itu.

Perasaanku sebal ketika aku harus menyelipkan tubuhku di celah yang sempit itu. Namun terbesit juga rasa penasaran siapa gerangan pria misterius itu yang mungkin adalah teman sekamar Ray. Jika ternyata benar, aku akan mengutuk pria itu menjadi homo. Karena gara-gara dia tidak pulang ke kamar ini semalam, aku harus mengalami kejadian horror itu.

Setelah kedua matanya memastikan posisiku aman tersembunyi di balik lemari pakaiannya, Ray lantas melonggarkan genggaman tangannya pada knob itu, sembari sedikit melangkah mundur menjauhkan badan kokohnya dari pintu. Dia memberi kesempatan pria itu untuk masuk.

Aku segera menarik kepalaku dan menyandarkannya di bahu lemari sejajar dengan badanku, setelah aku melihat pintu kamar itu terbuka. Aku bahkan tidak bisa melihat siapa yang masuk dari posisiku saat ini, hanya bisa mendengar suara mereka berdua yang mulai berargumen.

"Hei Ray...kenapa kamu menahan pintu ini dari dalam?"

"Maaf Rif, aku tidak mengerti maksudmu? Siapa yang menahan pintu itu? Aku barusan dari kamar mandi," Ray terdengar meminta maaf pada pria yang dipanggilnya Rif itu.

Apa mungkin "Rif" yang dimaksud Ray itu adalah Arif sang ketua OSIS?

"Aneh! Aku memasukkan kunciku namun aku tidak bisa membukanya."

"Mungkin itu hanya perasaanmu saja atau memang pintu itu yang agak macet."

"Kamu tidak sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku kan Ray?" tanya pria itu mulai curiga.

"Harusnya pertanyaan itu lebih cocok untukmu, Rif. Darimana kamu semalam, huh?" Ray mencoba berkelit.

"Aku menemani Lisa pulang ke rumah orang tuanya di luar kota. Papanya mendadak jatuh sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku terpaksa menginap disana karena sudah terlalu larut untuk balik kemari."

"Oww, jadi kamu masih berpacaran dengan Lisa? Bukannya kamu bilang padaku akan memutuskannya."

Lisa? Hmm...tak salah lagi dia pasti Arif sang ketua OSIS yang kekasihnya tak lain adalah wakilnya sendiri di organisasi kesiswaan itu.

"Please, Ray! Jangan mulai membahas hal ini lagi."

"Kenapa? kamu tidak sanggup? Atau kamu memang dari awal tak ingin melepasnya?"

"Hei...bagaimana denganmu Ray? Jangan selalu mencoba menyerangku! Mengacalah, Ray! Kamu juga tidak lebih baik dariku!"

"Apa maksudmu Rif?"

"Baiklah, akan kuperjelas. Dengar Raymond Sutanto, apa kau sanggup berhenti menjadi playboy yang memacari hampir setiap gadis cantik di sekolah ini?"

Ray terdiam sejenak seperti sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.

"Baiklah, Ray! Aku berjanji akan memutuskan Lisa jika kamu bersedia berhenti menjadi playboy dan mencoba lebih serius denganku."

Hah...! Apa-apaan ini! Apakah aku tidak salah mendengar? Ray dan Arif, dua siswa populer yang menjadi idola para gadis, ternyata bukan hanya sebatas teman sekamar tapi memiliki hubungan khusus, lantas bagaimana dengan nasibku? Ah...lupakan pertanyaanku yang terakhir.

"Sorry Rif...aku tidak bisa."

"Kenapa Ray? Kamu selalu seperti ini. Kamu yang memulai membahas hal ini tapi kamu yang akhirnya tidak menyanggupinya," suara Arif terdengar kecewa.

"Itu karena..........." Ray terdiam sejenak sebelum akhirnya menuntaskan kalimatnya "Pokoknya aku tidak bisa, Rif."

Grrrr...dasar kamu pria brengsek, egois, hidung belang, mesum, mata keranjang! Mengapa kamu tidak bisa setia pada satu orang saja Ray? Meskipun aku bukan pendukung gay, tapi aku merasa kasihan melihat Arif memiliki kekasih bejat sepertimu.

"OK, Ray...! Jadi tetaplah pada kesepakatan kita. Kamu boleh dekat dengan gadis manapun asal jangan sampai selingkuh dengan seorang pria."

"Maafkan aku, Rif..."

Hmm...kamu meminta maaf untuk apa Ray? Karena tidak bisa berhenti menjadi playboy atau karena sudah berselingkuh denganku? Eh...bukan...bukan...aku tidak berselingkuh dengannya tapi dia yang memperkosaku. Itu dua hal yang berbeda.

"Maafkan aku juga Ray, jika tak memberitahumu semalam tentang kepergianku. Aku hanya berusaha menjadi pacar yang baik bagi Lisa. Aku membutuhkan orang yang bisa kusayangi tanpa harus sembunyi-sembunyi, Ray."

"Tak masalah, Rif. Aku sangat paham kondisimu karena aku juga melakukan hal yang sama denganmu. Hanya saja aku tidak bisa berkomitment dengan satu gadis saja."

Ugh...gombal! Kamu juga tidak bisa berkomitmen dengan satu pria saja Ray. Aku adalah bukti nyata yang menjadi korban ketidak setiaanmu pada Arif.

"Thanks yah, Ray atas pengertianmu. Aku mencintaimu."

"Sama-sama, Rif. Aku juga mencintaimu."

Hoekk...Aku merasa mual. Mengapa aku harus berada di tempat yang salah menjadi saksi dua sejoli yang parahnya sesama pria itu sedang memadu kasih. Aku sudah muak dan ingin segera keluar dari tempat ini.

Tapi bagaimana reaksi Arif ketika melihatku tiba-tiba *tadaa...* muncul dari balik lemari pakaiannya. Apa yang harus kukatakan padanya?

"Sorry Rif, rasanya Doraemon salah mengirimku lewat pintu ajaibnya hehe..."

atau

"Sorry Rif, aku baru belajar ilmu teleport eh munculnya ternyata disini hehe.."

atau

"Sorry Rif...pacarmu telah meniduriku semalam.."

Argghh...aku terjebak disini...!

Hmm...kenapa tiba-tiba suasananya menjadi sunyi dan sepi seperti ini, tidak terdengar lagi suara mereka berdua.

Aku segera melongokkan kepalaku untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan mereka berdua.

For God sake...! Aku terbelalak kaget melihat kedua orang pria itu saling memagut bibir mereka satu sama lain. Mereka berciuman.

Anehnya, Ray tampak tidak menikmati ciuman itu sambil matanya terjaga menatap terus ke arahku, sedangkan Arif tampak begitu menghayati ciuman itu. Rupanya dia menyuruhku untuk segera keluar dari tempat persembunyianku dengan kedipan matanya.

Tanpa pikir panjang aku memanfaatkan moment yang pas ini untuk segera kabur dari kamar mesum itu. Dengan perlahan kuputar knob pintu kamar itu dan segera keluar dari ruangan itu sembari kemudian menutupnya perlahan.

Fiuhh...aku menghela napas lega ketika berada di lorong depan kamar itu. Akhirnya aku menghirup udara kebebasan. Dengan langkah mantap aku bergegas menuju ke kamarku yang selisih satu nomor dengan kamar Ray.

Masih tersisa 30 menit lagi untuk melakuan ritual pagi, bersiap-siap berangkat ke sekolah yang letaknya di sebelah gedung asrama ini.

Aku bertekad untuk melupakan kejadian semalam, karena itu adalah sebuah kesalahan fatal dalam hidupku yang tak ada gunanya untuk diingat.

Terlebih lagi, Ray sudah memiliki Arif dan aku tak mau hadir menjadi pihak ketiga diantara mereka. Ralat...aku tidak peduli dengan apa yang mereka berdua lakukan karena itu bukan urusanku.

Maaf Ray...Indonesia memilih...kamu harus pulang saat ini dari hatiku...Tombol delete all permanently kupencet untuk menghapus dia dari hidupku. Finished!

TBC







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top