Bagian 7

Rumah asri berlantai dua di depannya kini terasa menyeramkan, bukan karena angker namun suasana di sini terlihat mencekam bagi Aruna. Di dalam sana papa mertuanya berada, ini kali pertama ia bertemu dengan papa Rio kembali setelah kekacauan yang dulu mereka berdua perbuat.

Asik dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba sebuah genggaman hangat melingkupi telapak tangannya. Rio menggenggamnya.

"Ayo masuk." Hanya sebuah kalimat singkat tanpa penguat yang Rio ucapkan padanya.

Perlahan tapi pasti, langkah Aruna bergerak maju menyusul mama mertua yang telah lebih dulu memasuki rumah itu. Bayang ingatannya pun mulai berkelebat di antara langkah-langkah Aruna.

***

"Nikah sama aku, Run. Aku yang akan bertanggung jawab sama kamu dan kehamilan kamu." Rio mengatakan begitu saja ketika Aruna beberapa saat sadar dari pingsan, perban di tangannya telah berganti hingga tak ada lagi noda merah di sana.

Aruna mengerjap, mencoba mencerna ucapan mantan kekasih yang telah menolongnya. Bram yang berhasil mengoyak harga dirinya, lari dari tanggung jawabnya begitu saja. Lalu Rio maju untuk mengambil alih tanggung jawab Bram, apa yang harus ia katakan? Menyadari Bram berhasil memperkosanya saja, ia sudah cukup hancur, ditambah fakta jika sekarang ia malah mengandung benih dari pria bejat itu, ia semakin merasa tak ada artinya lagi. Semua harga dirinya lenyap tak bersisa, ketika semua orang menganggapnya sebagai aib. Ia tak pantas untuk siapapun.

"Lebih baik kamu pulang aja. Kamu cuma akan dapat malu kalau nikah sama aku. Ini bukan anak kamu, jadi kamu nggak perlu nglakuin sejauh itu. Terima kasih karena udah nolongin aku. Aku akan berusaha urus diriku sendiri." Aruna memalingkan wajahnya, tak ingin melihat pada lawan bicaranya.

"Enggak, Run. Secepatnya kita akan nikah, meski kamu nolak sekalipun." sahut Rio.

"Kamu tolong pergi! Aku nggak butuh dikasihani," tolak Aruna yang kini telah beralih menatap sepenuhnya pada Rio.

"Ini satu-satunya cara biar kamu aman, Run." Rio mendekat selangkah.

"Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir." Aruna sedikit melunak dengan berusaha tersenyum. Rio tak akan pernah mundur jika mereka sama-sama keras kepala. Paling tidak dengan bersikap baik-baik saja, Aruna bisa membuat Rio tak memaksakan keinginannya.

"Kalau kamu baik-baik aja, kamu nggak akan bertindak sejauh ini." Rio mundur selangkah, memperhatikan Aruna hingga netranya menatap lekat pergelangan tangan yang masih terbungkus perban baru.

Melihat apa yang dilakukan Rio, Aruna reflek menutupi tangan kirinya dengan selimut. Ia tahu apa yang pria itu maksud.

"Aku udah baik-baik aja," kilah Aruna.

"Baiklah." Rio yang tidak kembali membantah membuat Aruna sedikit lega.

Namun siapa sangka jika keesokan harinya Rio kembali datang ke rumah sakit dengan membawa serta paman Aruna, seorang penghulu, sepupu laki-lakinya sebagai saksi dari pihak Aruna serta seorang teman Rio sebagai saksi dari pihak pria itu. Rio benar-benar nekat. Penolakan Aruna berakhir sia-sia ketika sang paman mengatakan jika kemarin Rio telah mengakui semua yang menimpa Aruna adalah perbuatan pria itu, dan Aruna harus menerimanya agar tak menambah malu keluarga.

***

"Kenapa cuma berdiri di sana?" suara mama Widya membuyarkan pikiran Aruna dan baru menyadari jika dirinya telah berada di dalam rumah. Aruna lihat ke samping, Rio? Kemana perginya suaminya itu?

"Rio udah di dalam, lagi ngomong sama Papa. Ayo masuk, kita tunggu mereka di ruang makan," ajak Widya pada menantunya.

Aruna hanya menurut ketika Widya membawanya menuju meja makan. Perasaannya semakin tidak enak, ketika Rio keluar bersama sang papa mertua dari salah satu ruangan tak jauh dari tempatnya, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Aruna dengan ragu berdiri, menghampiri papa Rio -Wirya-, hendak menyalami tangannya. Wirya tak menolak, namun masih bersikap dingin pada Aruna. Terlihat dari sepanjang makan malam, tak sedikitpun Wirya mengeluarkan suara, hanya sang mama mertua yang sesekali mengajak mereka berdua bicara.

"Kamu, ikut saya." Tanpa menatap Aruna, Wirya melangkah pergi. Tanpa dijelaskan, semua orang yang berada di sana tahu jika orang yang dimaksud Wirya adalah Aruna.

Aruna bergantian melihat pada mama Widya dan Rio, namun hanya dijawab dengan anggukan kepala sebagai isyarat oleh keduanya. Setelah mendapatkan jawaban, maka Aruna segera bangkit dan menyusul Wirya yang lebih dulu masuk dalam ruangan yang ia lihat sebelum makan malam tadi.

***

"Saya rasa kamu tahu maksud saya memanggil kamu kemari." Tanpa basa-basi Wirya berkata pada Aruna.

Aruna bergeming, berusaha menebak arah pembicaraan dari papa mertuanya. Aura ketegangan terlihat jelas di dalam ruangan ini.

"Tinggalkan Rio setelah anak itu lahir. Dia tak seharusnya menanggung sesuatu yang tidak dia perbuat." Sebuah pukulan tak kasat mata yang Wirya berikan membuat Aruna membeku di tempatnya berdiri.

"Kenapa? Kamu terkejut? Orang kepercayaan saya sudah mengatakan semua kebenarannya, meski Rio tetap bersikeras mengakui apa yang tidak dia lakukan di hadapan saya. Entah apa yang ada dalam pikiran anak itu, saya tidak menyalahkan kamu. Cukup saya minta kamu tinggalkan dia setelah anak kamu lahir. Dan saya akan menjamin kehidupan kalian setelahnya." Wirya duduk di kursi kerjanya, menautkan kedua telapak tangannya di bawah dagu dan menatap Aruna dengan tatapan intimidasi.

Aruna tetap diam, ia tak menyalahkan sikap Wirya karena memang seperti itu kenyataannya.

"Baik," cicit Aruna.

Hingga beberapa saat Aruna keluar dari ruang itu, namun Wirya masih tetap berada di sana. Rio yang melihat Aruna keluar, menghampiri untuk mengajak istrinya itu kembali ke rumah mereka.

"Nggak nginep di sini aja?" tanya mama Widya ketika melihat Aruna mengambil tas yang sebelumnya menantunya itu letakkan di sofa ruang keluarga.

"Lain kali aja, Ma. Besok Rio mesti berangkat pagi-pagi, kejauhan kalau berangkat dari sini." sahut Rio sebelum Aruna mengeluarkan jawaban.

"Oh, yaudah kalau gitu. Kalau akhir pekan kalian senggang, nginep di sini ya. Mama kesepian," bujuk mama Widya.

"Iya, Ma." Aruna berusaha tersenyum, meski dalam hati ia sendiri tak yakin apakah bisa menuruti ucapan sang ibu mertua.

"Udah larut malam, Ma. Nggak baik kalau Aruna kelamaan di luar. Kita pamit ya, Ma." pamit Rio dengan mencium punggung tangan sang mama, begitu pula yang dilakukan Aruna.

"Hati-hati di jalan ya." Hanya anggukan kepala dari Rio dan Aruna sebelum keduanya masuk dalam mobil dan menjauh dari kediaman orang tua Rio.

***

Keheningan terjadi selama mereka dalam perjalanan pulang. Aruna lebih memilih melihat ke luar jendela, sedang Rio fokus mengemudikan mobilnya hingga tidak terasa telah sampai di rumah mereka.

Aruna turun untuk membuka kunci rumah, dan memilih segera membersihkan diri sebelum tidur agar badan dan pikirannya terasa segar kembali.

Selang beberapa lama selesai membersihkan diri, Aruna merebahkan dirinya di ranjang setelah meminun vitaminnya. Saat akan memejamkan matanya, Rio masuk dalam kamar dan langsung membersihkan diri ke kamar mandi.

Ceklek

Pintu kamar mandi terbuka, Aruna yang sejak tadi belum bisa tidur sama sekali, seketika berusaha merapatkan kedua matanya. Ia sedang tidak ingin bicara apa pun sekarang.

Kaki Rio yang semula melangkah menuju sofa, tiba-tiba berbelok ke arah ranjang. Pria itu tatap lekat wanita yang kini terpejam di depannya. Ada rasa bersalah yang melingkupi ketika ia merasa masih menyembunyikan sesuatu dari istrinya ini. Namun ia juga tak bisa mengatakan semua sekarang sebelum apa yang coba ia selesaikan benar-benar selesai. Ada alasan dibalik semua sikap dan keputusannya, tapi akan ada saatnya Aruna untuk tahu semua, bukan untuk sekarang.

"Aku harap apa pun yang Papa bilang sama kamu, bukan sesuatu yang bikin kamu jauh dari aku," gumam Rio namun masih bisa terdengar oleh Aruna.

Hingga lingkupan hangat yang semula membelai surainya menghilang disertai langkah Rio yang menjauh, membuat bulir bening terbebas begitu saja dari ekor mata Aruna.

Sebenarnya apa maksudnya semua ini, Mas? batin Aruna dengan tangan yang meremas selimut yang sedari tadi membungkusnya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top