Bagian 6

"Ada apa?" Rio yang telah terlihat segar menghampiri Aruna yang duduk di ruang keluarga. Sebelumnya ia melihat ke meja makan, semua masakan terlihat belum tersentuh sama sekali. Sudah beberapa hari Aruna sering melewatkan makan, entah apa yang terjadi pada istrinya itu.

Malam ini Rio kembali mendapati Aruna yang lebih banyak diam, tak seperti biasanya. Meski tak banyak bicara, Aruna tak pernah sediam ini. Biasanya ia akan menanyakan keperluan Rio meski hanya jawaban singkat yang Rio berikan pada Aruna.

Hanya sebuah senyuman serta gelengan kepala sebagai jawaban Aruna atas pertanyaan Rio. Aruna yang sejak tadi duduk di sofa memandang kosong ke arah televisi menyala, membuat Rio bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi, sejak Aruna mengantarkan makan siang untuknya beberapa hari lalu, perubahan istrinya terlihat mencolok.

"Kamu makan aja dulu, Mas. Mau aku siapin?" Aruna mencoba menutupi dengan mengalihkan pembicaraan.

"Aku bisa ambil sendiri nanti." Bukan Rio tak menghargai Runa, tapi Rio hanya ingin Runa mengatakan apa yang terjadi.

Aruna yang semula akan beranjak, kembali mendudukkan diri, tak berapa lama kembali terhanyut dengan pikirannya sendiri.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" suara Rio memecah keheningan antara mereka.

Aruna masih diam dengan pandangan menerawang bimbang. Apakah ia harus menceritakan kejadian beberapa hari lalu pada suaminya dengan segala konsekuensi setelahnya.

"Enggak ada apa-apa, Mas." Aruna putuskan menyimpan semua sendiri. Ia tak ingin muncul masalah yang akan memperumit keadaan.

Rio diam, ia tak akan memaksa, nanti ia akan mencari tahu sendiri apa yang telah terjadi. Dirinya beranjak meninggalkan Aruna sendiri.

***

"Ya, La?" Rio menjawab panggilan masuk yang sedari tadi mengusik tidurnya.

"Bisa kesini sebentar? Aku butuh kamu, Yo."  Suara lembut sarat permohonan Shila terdengar.

Aruna yang sedari tadi memang belum bisa memejamkan mata, bisa mendengar jelas pembicaraan Rio lewat telepon yang tak sengaja tertekan loudspeaker.

"Ini udah terlalu malam, La. Besok aku ke sana." Rio melihat jam yang menunjukkan angka dua belas malam.

"Please, Yo. Aku butuh kamu. Aku takut." Suara Shila melemah, isakan mulai terdengar.

"Tunggu." Rio kemudian mematikan panggilan, mengusap kasar wajahnya lalu menghela napas kasar.

Aruna masih setia memejamkan mata saat Rio mendekat pada ranjang. Rio kini telah memakai jaket serta menggenggam kunci motornya.

"Aku pergi dulu, maafkan aku," ucap Rio sebelum menghilang di balik pintu.

Saat suara pintu tertutup, Aruna membuka mata kemudian menyandarkan tubuhnya pada punggung ranjang menatap sofa tempat Rio tidur sebelumnya.

"Kalau dia berharga, kenapa kamu malah nikahin aku, Mas? Sebenarnya apa mau kamu?" Aruna hela napasnya lemah, memutuskan beranjak mengambil air wudhu. Ia butuh sendiri, mengadukan semua pada Tuhan adalah cara terbaiknya untuk menumpahkan semua sesak di hati.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi, namun tak ada tanda sedikitpun jika sang suami akan pulang. Aruna yang masih masih duduk di ruang makan dengan segelas susu di tangan, memandang keluar jendela, gelap. Ada di mana suaminya?

Tring

Sebuah notifikasi pesan masuk memmbuat Aruna tersadar jika ia terlarut dalam lamunan. Ia kira Rio yang memberinya kabar, namun yang terlihat malah pesan dari nomor yang tak dikenalnya, membuat Aruna mengernyit. Siapa yang mengirimi pesan di pagi buta seperti ini? Perasaannya mendadak tidak enak, namun ia tetap membuka pesan itu.

Deg!

Sebuah foto terpampang jelas di sana, Rio yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala bertumpu pada ranjang serta sebelah tangan pria itu yang bertaut dengan telapak tangan lain cukup menjawab di mana kini pria itu berada. Rio masih bersama Shila.

Entah perasaan apa yang menjalar di hati Aruna kini, yang pasti ia hanya bisa pasrah. Rio benar suaminya, tapi Aruna selalu merasa jika dirinya tak berhak menempati posisi yang seharusnya ditempati oleh Shila.

Tak selang beberapa lama, sebuah pesan kembali muncul dari nomor tersebut.

From : 0898988*****
Maaf, udah bikin Rio nggak balik dan pilih di sini sama aku. Dan dia emang dari awal seharusnya sama aku.

Tanpa bertanya pun Aruna tahu siapa pengirim pesan itu. Kayshila.

Dirasa tak perlu menjawab apa pun, Aruna kembali meletakkan ponselnya. Ia tandaskan susu yang masih tersisa setengah gelas, kemudian berniat kembali ke kamar. Rio, kenapa pria itu memperlakukannya seperti ini? Apakah Rio ingin membalas pengkhianatan Aruna dulu? Namun pemikiran itu segera Aruna tepis jauh, Rio bukan pria seperti itu, Aruna yakin itu.

***

Suara pintu yang terbuka membuat Aruna sama sekali tak menghentikan aktifitas memasaknya. Ia tahu siapa yang masuk, bahkan tanpa perlu menyapa orang itu.

"Sudah bangun?" Rio segera menyusul ke dapur ketika mendengar ada aktifitas di sana, mengambil air putih kemudian duduk di meja makan dan menandaskannya.

"Ya. Mas mandi dulu aja. Setelah itu sarapan." Aruna berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari sayur yang tengah ia masak.

Rio berlalu menuju kamar tanpa menyahuti ucapan Aruna. Aruna telah terbiasa dengan sikap Rio yang seperti itu, dan ia berusaha menerimanya.

Setelah menyelesaikan masakannya, Aruna menyusul Rio yang tak kunjung keluar dari kamar. Saat ia membuka pintu, ternyata Rio telah tertidur di atas sofa yang biasa pria itu tempati untuk tidur.

Aruna mendekat, berdiri tepat di depan Rio, menatap lekat wajah lelah suaminya yang tergambar jelas dari kantung mata yang muncul. Tangan Aruna terulur hendak menyentuh wajah sang suami, namun urung ketika ia mengingat foto yang terkirim padanya.

Tidak, ia tidak akan berusaha mengambil hati Rio kembali. Rio bukan miliknya, ia cukup sadar diri dengan hal itu. Shila yang Rio cintai, bukan lagi dirinya. Aruna telah memikirkan semua beberapa hari terakhir, ia hanya perlu bertahan sampai bayi ini lahir, dan semua akan kembali seperti semula.

"Kenapa?" Suara Rio mengejutkannya.  

"Ah, aku sudah masak. Mas bisa sarapan." Aruna mundur selangkah.

Rio melihat sekilas pada jam dinding di dekatnya, mengumoulkan semua kesadaran kemudian beranjak ke ruang makan. Ia butuh tenaga untuk kembali menghadapi permasalahannya.

***

"Aku pergi dulu," Rio keluar setelah menganti pakaiannya.

"Iya," cicit Aruna.

Lagi-lagi hanya percakapan singkat di antara mereka. Aruna mendesah, harusnya ia tak perlu menunggu hingga melahirkan, namun ia juga masih memikirkan perasaan ibu mertua yang mulai menyayanginya. Rio yang kala itu membawanya datang dalam keluarganya secara tiba-tiba, merusak semua rencana yang telah tersusun matang hingga membuat sang ayah mertua terkena serangan jantung. Ia tak ingin kembali merusak dengan menorehkan kembali luka pada keluarga suaminya dengan berpisah ketika semua masih terlihat rumit.

"Kenapa melamun?" Suara lembut itu mengusik Aruna dari pikirannya. Entah berapa lama wanita itu terlarut dalam pikirannya hingga tak sadar dengan kedatangan orang yang sudah berada di sebelahnya.

"Mama?" Aruna tak menyangka jika wanita yang ia pikirkan kini duduk di dekatnya. Rio tidak mengatakan apa pun soal rencana kedatangan sang mama.

"Iya, maaf ya Mama nggak bolehin Rio kasih tau kamu." Mama Rio menatap Aruna dan Rio yang terlihat masuk dalam rumah dengan membawa beberapa kantong plastik belanjaan.

"Runa kira tadi Mas Rio....," ucapan Aruna menggantung.

"Rio jemput Mama tadi. Mumpung ini hari libur, Mama pengen ajak kalian ketemu Papa. Kalau Mama yang minta kalian ke rumah, pasti akan ada aja alasan kamu." terang mama mertua Aruna.

Mendengar penuturan mama mertuanya, membuat Aruna seketika melihat pada tempat di mana Rio duduk untuk meminta penjelasan melalui isyarat tatapan matanya. Bukan mendengar jawaban, Aruna hanya mendapatkan anggukan kepala singkat dari suaminya itu.

Bertemu papa Rio? Apakah Aruna siap? Tak bisa ia bayangkan bagaimana reaksi sang papa mertuanya ketika melihatnya nanti. Perasaan Aruna mendadak tidak tenang, bagaimana jika ia mendapat penolakan lagi?

...






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top