~ tujuh: pilu ~
Semua memang tak mudah,
tetapi aku harap kamu tidak menyerah
🍂🍂🍂
Lelaki dua puluh empat tahun itu maju mundur ketika hendak memasuki kediaman Galuh. Baru saja ia maju dan memegang gagang pintu, suara kunci terbuka terdengar di telinganya.
Aden memilih untuk mundur dan membalikkan badannya sambil menyembunyikan Rama. Ia melihat sosok perempuan dengan pakaian mini dan dandanan yang menurutnya lumayan tebal.
Setelah teriakan terakhir terdengar, perempuan tersebut juga sudah tidak terlihat, berganti seorang laki-laki dengan badan tegap terdorong dari dalam. Sampai si lelaki itu menabrak dinding dan merosot.
"Jangan coba-coba menampakkan wajahmu di hadapanku. Hasilnya sudah jelas. Rama menjadi tanggung jawabku, dan kamu tidak berhak apa-apa atas rumah ini.
Galuh sangat terlihat emosi. Jejak-jejak airmata selama beberapa saat. Kunciran rambutnya sedikit longgar. Beberapa bak rambut berantakan, apalagi dengan luka di sudut bibirnya. Hal ini membuat Aden tercengang melihatnya.
"Luh, Rama anak gue, dia tetap butuh ayahnya."
"Oke, lo bisa nemuin dia kapan saja dengan izin gue, tapi ingat, sekali lagi lo cari masalah sama gue, jangan salahin kalau lo nggak bisa ketemu Rama lagi."
Sorot mata Galuh menunjukkan keseriusan. Ia tidak beranjak dan tetap menyodorkan wajah garang di hadapan sang mantan suami sampai lelaki itu pergi. Begitu sang mantan sudah tidak terlihat, tubuh Galuh bersandar pada dinding dan mulai merosot.
"Mbak Galuh," panggil Aden pelan. "Saya izin mau taruh Rama dulu di dalam."
Galuh menoleh dan mengangguk. Setelah mendapat izin, dengan cepat Aden menaruh Rama di sofa di ruang tamu. Suasana rumah itu benar-benar seperti kapal pecah.
"Rama tunggu di sini, Pak Raden mau bantu Ibun dulu, ya?"
Si kecil mengangguk. Ah, benar-benar anak baik dan penurut. Sayangnya di usia yang sekecil itu ia harus melihat bagaimana egoisnya orang dewasa yang merasa berhak atas dirinya itu saling beradu argumen dengan nada tinggi.
Aden berlari menuju pintu dan bergegas membantu Galuh untuk bangkit. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu. Aden memapah Galuh dan mendudukkannya di sebelah Rama.
Sepasang ibu dan anak itu langsung saja saling berpelukan. Galuh bahkan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher putra tunggalnya itu. Sementara si kecil memeluknya erat sambil mengusap punggung sang ibu sekenanya.
"Maafin Ibun, ya, Nak? Maaf belum bisa memberikan bahagia untuk Rama, maaf karena Ibun gagal untuk bertahan."
"Ibun, kalau banyak nangis ntar matanya bengkak, loh."
Sementara itu, daripada Aden mengganggu interaksi keduanya, ia memilih untuk membereskan kekacauan yang ada di depan matanya.
Ia memungut beberapa barang dan memindahkannya ke atas meja. Begitu juga dengan bantalan sofa yang berada jauh dari tempatnya. Belum lagi dengan serpihan kaca yang pecah dari pajangan dinding yang berserak di lantai.
Matanya memindai ke beberapa tempat, sampai ia menemukan pojok tempat alat kebersihan diletakkan.
"Nggak usah, biar gue yang beresin nanti, Den. Lo boleh balik."
"Nggak usah, Mbak. Mending temenin Rama istirahat. Dia sepertinya masih kaget."
Galuh melihat wajah putranya dan mengangguk
Ia membawa Rama ke kamar sesuai dengan perintah dari Aden.
Selang beberapa lama, Galuh keluar dari kamar tanpa Rama. Begitu sampai di ruang tengah, ia lumayan takjub karena rumahnya yang berantakan sudah jauh lebih baik dari sesaat setelah perang berlangsung.
"Kenapa belum pulang? Sudah hampir malam ini," tanya Galuh ketika ia masih melihat Aden duduk di sofa ruang tengah.
"Nungguin Mbak Galuh buat pamit. Maaf saya tadi ke dapurnya. Ini buangnya secara terpisah karena belingnya berbahaya. Terus sebagian benda sudah da di atas meja. Kalau yang lainnya sepertinya sudah kembali ke tempat biasanya."
"Kenapa? Kenapa belum pulang dan malah beberes?"
"Karena saya yakin Mbak sendiri sudah lelah, jadi mending istirahat saja. Saya pamit dulu," ucap Aden sambil menuju pintu keluar.
Galuh masih saia terpaku di tempatnya. Ia tidak menyangka lelaki yang dulu ia anggap bocah ingusan bisa lebih dewasa pemikirannya. Waktu memang berlalu dengan begitu cepat apalagi memang keduanya tidak pernah bertemu setelah Galuh menikah.
Ibu satu anak itu kembali mendekati pintu masuk setelah bel berbunyi. Ia membuka pintu dan dikejutkan dengan sosok yang tadi sudah pamit untuk pulang.
"Kenapa balik lagi?"
"Saya nggak tahu apa Mbak masih suka sama bakso. Ini saya belikan untuk makan malam dan obat untuk luka luar. Saya benar-benar pamit kali ini."
Guru muda itu akhirnya benar-benar pergi diiringi dengan pandangan yang masih ragu dari Galuh. Sampai akhirnya Galuh tersenyum kecil sesaat sebelum ia memasuki rumah dan membawa bungkusan di tangannya dengan riang.
Aden kembali ke indekos dengan perasaan yang tidak tenang. Apalagi setelah mendengar semua sumpah serapah dari mulut Galuh. Sungguh tidak ada hal yang paling menegangkan selain hari ini.
Dia masih tak habis pikir yang sebenarnya. Beberapa hal yang masih di luar pikirannya masih ia jadikan beban.
Setelah melihat semua yang ada di depan matanya, benar kata sang kakak. Galuh butuh tenang. Rama dan Galuh butuh waktu untuk berdamai dengan situasinya.
Aden mengambil ponsel dan memilih nomer yang akan ia hubungi. Dengan sabar ia menunggu deringnya sampai akhirnya tersambung.
"Halo, Teteh?"
"Hm, apa? Tumbenan telepon."
"Aku janji nggak akan gangguin Mbak Galuh. Dia benar-benar butuh waktu, Teh. Dia butuh itu untuk berdamai dengan dirinya dan keadaannya."
"Apa yang terjadi? Kenapa? Ada apa?"
"Mantan suaminya tadi bikin berantakan di rumahnya. Bawa perempuan lain dan bikin Mbak Galuh ngamuk."
"Memang kurang ajar tuh manusia. Lah, kamu ngapain ke sana?"
"Nganterin Rama balik, soalnya dia nggak dijemput."
"Ya Allah, dia nggak apa-apa? Dia lihat dan dengar kejadian itu? Bener² lihat?"
"Teteh sampai tahu sejauh itu? Beneran sejauh itu?"
Aden benar-benar tidak menyangka, memang benar bahwa sahabat itu pandai untuk berpura². Sangat pandai untuk menjaga rahasia bahkan dari keluarganya sendiri.
Hanya suara permintaan maaf yang Aden dengar. Mau menuntut bagaimana, toh semuanya sudah terjadi. Apa yang dilewati sudah berlangsung selama beberapa tahun.
Mau marah, toh, sudah kejadian. Setidaknya ada penjagaan yang harus dilanjutkan olehnya meski beberapa waktu terlewati, masanya sudah terganti, dan beberapa momen tidak bisa Aden nikmati.
"Teh, aku tahu ini nggak akan lagi sama seperti dulu. Aku juga tahu ini nggak akan mudah, tapi apa Teteh beneran nggak keberatan kalau aku jaga Mbak Galuh?"
Si sulung terdiam untuk beberapa saat. Sampai akhirnya kata-kata yang paling diharapkan itu muncul.
"Lanjutkan apa yang kamu yakini, jangan sampai mengecewakan. Dia terlalu banyak terluka, jaga dan hargai dia." Ucapan Ratu mengakhiri percakapan mereka malam itu.
🍂🍂🍂
Bondowoso, 28 Oktober 2023
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top