~ tiga: getir ~

Ada yang menjadi beban pikiran,
tetapi bukan tanggungan keuangan.

🍂🍂🍂

Ruang kamar seluas tiga meter persegi dengan peralatan yang serba seadanya menyambut kepulangan Aden yang sudah lelah seharian berada di sekolah. Ia menuang air ke dalam gelas dan membawanya duduk di balkon kamarnya yang berada di lantai dua.

Kamar indekosnya ini sangat ia suka, sebab setiap kamar memiliki balkon tersendiri. Semilir angin semakin menambah suasana sore semakin syahdu. Ia selonjoran sambil menatap langit yang semakin jingga.

"Halo, iya, Teh?"

"Ketemu Galuh? Gimana responnya?"

"Nggak usah tanya, Teteh pasti tahu gimana."

"Si bujang, ditanyain bener-bener ...,"

"Ya, gimana? Pan Teteh lebih tahu dibanding Aden."

"Udah, ah. Ngomong sama kamu nggak ada faedahnya."

Sang kakak langsung menutup sambungan telepon secara sepihak.

"Yang telepon si teteh, yang ngambek si teteh. Hedeh, salah aing di mana?"

Aden beranjak ke dalam kamar, ia menghampiri meja kemudian membuka laci meja. Tangannya mengaduk beberapa lama sampai ia menarik gantungan kunci sederhana yang terbuat dari rangkaian pita berwarna-warni.

Ia ingat betul kapan dan siapa yang memberi benda tersebut. Sosok perempuan yang ia temui tadi adalah wanita yang memberikannya di masa lalu. Ya, masa saat ia masih mengandalkan rasa mendalam hanya pada seorang gadis saja.

Aden tersenyum melihat gantungan kunci yang masih ia simpan itu. Setelah melewati ribuan hari tanpa kabar bahkan sang kakah juga tidak memberi tahu apa-apa. Akhirnya hari itu datang juga.

"Sial, ini makin lama malah makin keingetan terus."

Lelaki dengan iris mata cokelat itu memilih untuk beranjak. Ia memilih untuk mencari udara segar sambil mencari makan malam. Mungkin itu adalah jalan terbaik supaya ia tidak hanya terpaku pada satu hal. Setidaknya, satu fakta bahwa mereka sudah ada di kota yang sama sudah cukup untuk menjadi pelipur lara selama ini.

Suasana kota memang berbeda semakin malam bukannya sepi, justru semakin ramai. Aden langsung menuju pada pertokoan yang banyak menyediakan makanan cepat saji.

"Pak Raden, duduk sini saja sama Rama. Tempat yang lainnya penuh."

Suara anak kecil tiba-tiba menarik perhatiannya saat ia celingukan mencari tempat kosong di kedai ayam goreng tepung yang sedang banyak peminatnya malam itu. Langkahnya sedikit tertahan kala menatap sosok di sebelah anak yang memanggilnya.

Aden menggeleng, "Bapak cari tempat di luar saja."

Siswa bernama Rama itu langsung turun dari kursinya dan menarik guru yang sudah membantunya tempo hari itu dari kejadian perundungan yang ia alami.

"Ibun, ini Pak Raden yang kemarin bantu Rama. Pak Raden, kenalin ini Ibunnya Rama."

"Raden," ucap Aden sambil menjulurkan tangannya.

"Galuh. Sori, tangan gue kotor," ujar perempuan di samping Rama yang tampak canggung.

"Ibun, kok pake gue? Saya atau aku." Rama menegur sambil menggerakkan telunjuk kanannya ke kiri dan ke kanan.

"Maaf. Saya Galuh, Ibunya Rama. Terima kasih atas bantuannya kemarin."

"Ibun, bukan Ibu," tegur Rama sekali lagi.

Bocah kelas dua SD itu sangat menggemaskan menurut Aden. Ia sampai mencolek pipi gembulnya. Seketika tatapan mata dari Galuh berubah menjadi sangat tajam.

Aden merasa salah karena ia tidak meminta izin terlebih dahulu sebelum menyentuh Rama. Ia hanya mengikuti refleksnya saja yang gemas dan tangannya ikut bergerak.

Sebagai penebusan rasa bersalahnya, ia mengambil tisu dan mengusap pipi Rama dengan perlahan. "Kalau boleh tahu, kenapa Ibun, bukan Ibu?"

"Kalau ibu itu, Ibu Guru, ibu rumah tangga, ibu jari, ibu kota, tapi kalau Ibun adalah Ibundaku tercinta sejagat raya," jelas Rama dengan mata berbinar yang berkedip dan membuat bulu matanya yang lentik seperti melambai-lambai.

"Cepat dihabiskan makanannya." Galuh bersuara dengan tegas dan langsung mendapat respon dari putra semata wayangnya itu.

Sepuluh menit berlalu. Aden memakan pesanannya itu dengan sesekali mencuri pandang pada perempuan di hadapannya. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, hanya bertambah ada anak yang duduk di sampingnya.

Keduanya sangat mirip, tidak bisa disangkal bahwa Rama memanglah buah hatinya. Begitu Rama beranjak mencuci tangan di wastafel, Aden yang juga sudah selesai langsung menyusulnya dan membantu si kecil untuk mengeringkan tangannya.

"Sudah? Sekarang kita pulang."

"Boleh saya antar pulang?" Aden sigap menawarkan diri setelah Galuh beranjak dan membereskan barang bawaannya.

Galuh hanya menoleh sebentar lalu keluar dari kedai itu. Langkahnya lebar sampai Rama beberapa kali tersandung dan nyaris terjerembab karena tidak bisa menyamai langkah kakinya.

"Ibun, kenapa cepat-cepat?"

Galuh mengabaikan suara dari anaknya. Ia terus saja menggandeng, lebih tepatnya sedikit menyeret bocah bercelana panjang dengan kemeja kotak-kotak. Melihat hal itu, Aden langsung bertindak.

Lelaki dengan kaos berwarna hitam itu langsung berdiri di hadapan Galuh. Untung saja refleks ibu muda itu cukup baik, sehingga terhindar benturan yang tidak diinginkan.

"Lo ngalangin jalan, permisi."

"Sori," ucap Aden dan menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Galuh.

Lagi-lagi perempuan itu berjalan dengan cepat sampai Rama benar-benar terjatuh. Aden segera mengejar dan membantu Rama memeriksa kaki mungilnya. Setelah dirasa semua baik-baik saja, Aden menangkup wajah Rama.

"Anak pinter," ujar Aden dan mendapat senyuman dari Rama.

Aden menoleh lagi pada Galuh, sungguh ia ingin meminta penjelasan yang lebih panjang lagi darinya. Kenapa perempuan itu terkesan menghindar, padahal ini pertemuan ketiga setelah sekian lama tidak pernah bertemu.

Namun, masih saja Galuh menunjukkan gelagat tidak bersahabat untuknya. Jika seperti ini keadaannya, akan sangat tidak baik ke depannya. Apalagi untuk beberapa waktu ke depan ia adalah wali kelas Rama, anaknya.

"Mbak, kalau keberatan tinggal bilang, bisa kan?"

"Lo salah ketemu gue lagi. Lo nggak boleh deket gue, Den."

Akhirnya Galuh menyebut namanya. Meski dengan nada yang sedikit bergetar, namanya terucap lagi dari bibir ibu anak satu itu.

"Kenapa nggak boleh? Siapa yang bakal ngelarang?"

"Lo nggak perlu tahu," ucap Galuh sambil mengambil tangan Rama dari genggaman Aden dan mulai menariknya menuju area parkir.

"Mbak, Rama kesakitan." Aden masih berusaha mengejar karena melihat raut wajah Rama yang tampak kesakitan setelah ditarik paksa oleh sang ibu.

Aksi kejar-kejaran sampai area parkir akhirnya selesai saat Galuh sudah sampai di mobilnya dan memasukkan Rama ke tempat duduk penumpang si sebelah sopir. Suara debam pintu yang ditutup sangat keras sampai Aden pun juga kaget.

Galuh kembali lagi ke depan mobil tempat Aden berdiri. Perempuan itu seperti menahan amarah. Ia berhadapan dengan Aden dengan mata yang memerah.

"Mbak ...,"

"Lo nggak seharusnya ketemu gue, lo juga nggak seharusnya di sekitar gue. Anggap kita nggak kenal. Lo guru anak gue, dan gue wali murid. Udah, gitu aja."

Setelah berujar panjang, Galuh langsung berlalu dan menuju kemudi. Namun tangannya dicekal oleh Aden. Awalnya Aden mengira akan mendapatkan perlawanan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Galuh berbalik dengan wajah yang sudah mulai basah oleh air mata.

"Please, gue sekadar pengin tenang sama Rama, Den."

Mendengar sosok di depannya memelas dengan wajah sendu dan sangat penuh makna, Aden luluh. Ia melepaskan tangan Galuh. Kali ini rasanya ia yang tertampar. Ada apa? Mengapa sosok yang ia kenal bertahun-tahun silam ini seperti tenggelam dan menyimpan ketakutan dari sorot matanya. Apa yang sudah terjadi dan ia lewatkan selama sepuluh tahun belakangan?

🍂🍂🍂

Bondowoso, 12 Oktober 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top