~ lima: memori lama ~
Aku bisa belajar melupakanmu,
tetapi tidak untuk menghapusmu selamanya.
🍂🍂🍂
Sekembalinya kakak beradik dari nostalgia, keduanya langsung disambut oleh celotehan si kembar. Kedua keponakan Aden itu tidak memberinya waktu untuk beristirahat.
Keduanya langsung mengeluarkan PR untuk dikerjakan bersama paman kesayangannya itu. Ratu yang ikut menemani sesekali memandang ke arah Aden yang tampak menghela napasnya beberapa kali.
"Om, kalau yang ini bagaimana ngerjainnya? Ayra nggak paham."
"Kalau Aydan pas hitung yang ini nggak bisa, Om. Terlalu panjang dan banyak."
Kedua keponakan yang sebenarnya tergolong cerdas itu berusaha menarik perhatian sosok yang memang sudah lama mereka rindukan. Dengan sangat telaten Aden mengajari keduanya. Meski beberapa kali fokusnya sedikit terpecah.
"Den, jangan terlalu dijadikan beban. Coba berdamai sama keadaan, masa sekarang sudah berbeda dengan masa lalu."
Mendengar ucapan sang kakak, Aden menoleh lalu melempar senyuman manisnya. Lelaki dengan mata cokelat itu mengangguk dan kembali mengajari si kecil.
Dua hari rupanya terlalu singkat untuk dihabiskan bersama keluarganya. Aden kembali ke Jakarta dini hari. Hal ini untuk menghindari kemacetan yang biasa terjadi di hari Senin pagi.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, bayangan di masa lalu ternyata menemaninya. Ia ingat betul bagaimana hatinya terasa remuk ketika melihat sebuah undangan terbuka di ruang tengah.
"Teteh, Teh Ratu, Teteh!" teriak Aden dengan sangat keras.
Ayah, Ibu, dan Ratu segera menuju ke arah Aden yang sudah meremat undangan berwarna biru terang itu. Nama Galuh Candra Kirana dan nama seorang lelaki yang tidak ia kenal terpampang di sana.
"Kenapa Teteh nggak pernah cerita? Kenapa?" ucap Aden dengan suara tertahan.
"Galuh nggak ngizinin, Den, maaf."
"Den, lupakan dia. Kamu bisa mendapat yang jauh lebih baik, tapi bukan Galuh," pinta sang ayah.
Lelaki tertua di rumah itu mendekati Aden yang sudah terduduk di lantai. Tidak ada yang bisa Aden rasakan selain jantung yang berdebar menggempur dadanya. Ditambah dengan mata yang memerah dengan tetesan air mata yang mengalir.
Kepala Aden jatuh dan bersandar pada bahu sang ayah yang menemaninya duduk di lantai. Sementara dua orang perempuan lainnya memilih untuk menyingkir dan memberi ruang keduanya untuk berbicara.
"Aku boleh bahagia nggak sih, Yah?"
"Siapa bilang nggak boleh? Setiap manusia berhak untuk bahagia."
"Boleh nggak kalau besok aku datang ke nikahan Mbak Galuh?"
"Sama Teteh, ya? Jangan sendirian saja."
Aden mengangguk. Setidaknya, meski cinta yang ia jaga itu tidak berbalas, ia masih bisa hadir dalam momen bahagia. Bisa dibilang Galuh adalah cinta pertamanya. Benar-benar cinta yang paling pertama hadir dan membuat Aden jatuh begitu dalam.
Dari kejadian pengeroyokan, kemudian dari saking seringnya sang kakak mengajak Galuh main ke rumahnya, hal ini membuat Aden merasa terbiasa akan kehadiran Galuh.
Apalagi dengan perawakan Galuh yang memang supel dan mudah bergaul. Tatapan matanya jika berbicara dengan orang lain akan terlihat sangat berbinar. Menghargai lawan bicaranya, hal ini yang membuat Aden menjadikan Galuh orang yang spesial.
Hanya saja, jalaran tresno soko kulino yang digadang-gadang menjadi pelopor munculnya perasaan di hati Aden tidak berbuah baik, ia mendapat kabar pernihakan itu ketika ia sedang suka-sukanya pada Galuh.
"Den, makan dulu. Kalau demamnya masih nggak turun, kita ke UGD. Ini sudah tinggi banget."
Tawaran dari sang kakak hanya dijawab dengan menggeleng. Ya, sehari setelah acara pernikahan Galuh, setelah Aden berusaha menarik senyum di bibir demi melihat Galuh yang tersenyum lebar di hari pernikahannya, si bungsu itu tumbang.
Mungkin inilah yang dimaksud sakit batin mempengaruhi fisiknya juga. Seisi rumah dibuat kaget dengan kejadian Aden yang meringkuk di kursi ruang tengah sambil menggigil. Itu hanya sekelebat ingatan yang masuk ke dalam kepala Aden.
Begitu sampai di indekos pagi hari, Aden turun dan menghembuskan napasnya, seperti ada rasa lega yang sudah ia lepaskan. Ia membuka helm dan membawa beberapa barang yang ia tempati kardus dan diikat di bagian belakang motor.
Untung saja Aden masih bisa mengejar Upacara Bendera Senin pagi. Ia juga akan memulai kelas pertamanya di kelas dua untuk menggantikan rekannya yang ambil cuti melahirkan.
Aden melangkah memasuki kelas yang penuh warna. Pajangan kelas dan juga beberapa hiasan kelas menyegarkan pengelihatannya. Ia tersenyum ketika anak didiknya berebut untuk bersalaman dengannya.
"Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, kita mulai dengan berdoa terlebih dahulu. Siapa yang mau memimpin doa hari ini?"
Seluruh siswa antusias mengacungkan tangannya dan hendah maju, tetapi akhirnya Aden membaca susunan pengurus kelas dan ia memanggil nama si ketua kelas.
"Sebagai permulaan, ketua kelas yang memimpin. Mulai besok, bergilir dari siswa yang duduk di pojok kanan, ya? setuju?"
Seisi kelas kompak menyahut, "Setuju."
Menjadi wali kelas nyatanya melelahkan. Awalnya Aden mengira akan sangat mudah melalui hari menjadi wali kelas. Nyatanya? Ia kewalahan menghadapi tingkah anak didiknya.
"Bapak, Ayu mau tanya. Kemarin kan ke alun-alun, terus katanya ada Bupati, Ayu salaman, lohh, kok Bupatinya cowok? Bukannya namanya Bupati itu ibu-ibu? Seperti Bu Ningsih, Bu Jean, Bu Ninis."
Ya, satu pertanyaan acak dari anak didiknya itu sudah membuat Aden memaksakan senyumnya untuk muncul. Belum lagi dengan anak laki-laki yang suka sekali mengganggu siswa lainnya.
Jika sudah seperti ini, maka ice breaking dengan cara bernyanyi bisa menjadi solusi supaya anak bisa lebih fokus lagi. Hanya satu anak saja yang tampak duduk anteng di kursinya sambil sesekali ikut tertawa ketika melihat temannya tertawa.
Rama tampak masih malu-malu untuk bergabung dengan temannya. Status sebagai anak baru masih melekat, padahal beberapa teman sudah mengajaknya untuk bermain bersama.
"Yeay!" teriak semuanya ketika mendengar bel istirahat berbunyi.
Mereka yang membawa bekal bergegas mengambilnya dan duduk di pelataran depan kelas untuk makan bersama. Aden yang mendapat bekal nasi tutug oncom yang dibungkus daun pisang akhirnya memilih untuk bergabung dengan anak didiknya.
Aden membuka bekalnya dan mendapat reaksi yang luar biasa, anak didiknya berseru wah secara bersamaan. Ketika hampir seluruh siswa duduk di pelataran, lagi-lagi, Rama hanya berdiri di sebelah pintu.
"Rama, ke sini, makan bekal sama Pak Raden!" pinta Aden sambil melambaikan tangannya.
Si kecil mendekat dengan ragu-ragu, dan memilih duduk berhadapan dengan Aden. Suara riuh anak-anak membaca doa makan langsung terdengar.
Aden menatap manik mata Rama, "Ibun nggak bawain bekal?"
"Disuruh jajan di sekolah sama Ibun," ucap Rama sambil menggigit kuku jarinya.
"Kukunya jangan digigit." Tangan Aden menurunkan tangan Rama dan memberinya selembar tisu basah. "Ayo dimakan, ini namanya nasi tutug oncom, lauknya tahu sama tempe bacem. Rama suka yang mana?"
"Tempe," ucapnya pelan sambil mengambil sebutir nasi lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
Sorot mata anak lelaki itu jauh berbeda dengan sorot mata yang pernah ia temui beberapa hari lalu di kedai ayam goreng. Matanya tampak sayu, ada kantong mata yang samar-samar terlihat.
Beberapa siswa yang sudah selesai makan berpamitan untuk pergi bermain, hanya sisa beberapa siswa saja yang masih duduk sambil bercerita. Rama masih saja makan dan mengambil butir nasi satu persatu.
"Mau disuapin?" tanya Aden dan langsung menarik perhatian Rama.
Si kecil mengangguk. Ia membuka mulutnya dan menerima suapan demi suapan yang masuk ke dalam mulutnya.
Wajah Rama perlahan mulai berseri, ia menatap Aden yang tetap menyuapinya dengan sangat telaten. Sampai akhirnya senyum yang sempat hilang itu kembali. Rama seperti mendapat energinya kembali.
"Rama kangen disuapin Ibun, tapi kata Ibun Rama harus bisa sendiri dan tidak merepotkan orang lain. Apa Rama sudah merepotkan Pak Raden?"
Pertanyaan si kecil sukses membuat suapan terakhir untuk Rama tertahan selama beberapa saat. Dengan cepat Aden menggeleng.
"Besok kita makan bekal bareng lagi, ya? Sambil disuapin lagi, mau?"
🍂🍂🍂
Bondowoso, 20 Oktober 2023
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top