~ dua: bertemu lagi ~

Menunggu adalah hal paling melelahkan,
t

api menunggumu seperti tidak ada lelahnya.

🍂🍂🍂

Setelah kejadian kemarin, Aden merasa hari-harinya akan lebih berwarna. Meski ada beberapa alasan yang dirasa tidak mungkin, tapi setidaknya dunia yang pernah ada itu akhirnya kembali.

Sepagi mungkin ia berangkat ke sekolah. Walaupun biasanya ia akan berangkat awal karena jadwal piket menyambut anak-anak di gerbang, kali ini rasanya ia jauh lebih bersemangat.

"Pagi, Pak. Wajahnya cerah sekali, sampai mataharinya kalah dan milih bersembunyi," sapa Pak Rudi, satpam sekolah SD Al-Karomah.

"Pagi juga, Pak Rudi." Aden hanya membalas sapaannya dan mengabaikan godaan Pak Rudi.

Ia memarkir motor kemudian menuju ke depan pintu gerbang dan bergabung dengan beberapa rekan guru yang sudah berbaris di sana. Senyum, salam, sapa, salim, begitu semboyan yang diangkat oleh sekolah dasar yang sudah menjadi tempat mengajarnya.

Sesekali Aden memusatkan pandangan pada beberapa wali murid yang datang dengan mobil. Ia juga memeriksa dengan saksama wajah anak didiknya yang menggunakan bed kelas dua.

Sayang sekali keberuntungan tidak berpihak kepadanya, sebab sampai saat hampir jam masuk, sosok yang ia tunggu tidak juga hadir.

"Pak ...."

"Bu ...," ucap Aden bersamaan dengan suara yang memanggilnya juga.

Keduanya mendadak kikuk sampai tangan wanita yang sedang hamil besar itu mempersilakan Aden untuk berbicara terlebih dahulu.

"Apa siswa yang kemarin bermasalah itu izin? Karena sepertinya dia tidak datang hari ini."

"Oh, iya, Pak. Ibunya mengirimkan surat keterangan dokter, Rama butuh istirahat selama dua hari."

Aden mengangguk dan tersenyum sejenak, "Sekarang giliran Ibu yang menyampaikan sesuatu. Ada apa Bu Arini memanggil saya?"

"Begini, Pak. Waktu cuti saya sudah dekat, jumlah guru sebagai wali kelas terbatas, apa tidak keberatan jika Pak Aden menggantikan saya selama masa cuti?"

"Saya tidak masalah, asal semua sudah ada persetujuan dari kepala sekolah, Bu."

"Aman, Pak. Pak Kepsek dan guru dari kelas atas sudah mengetahui hal ini dari awal tahun pelajaran."

"Siap kalau begitu, Bu."

Bak gayung bersambut, sepertinya Aden tidak perlu uasaha yang keras untuk lebih dekat dengan seseorang yang ia rindukan ini. Satu fakta yang terbuka, kemarin ia tahu bahwa Galuh Candra Kirana, masa lalu yang ia tunggu ternyata menuju status baru.

Kemarin, Ratu Prameswari—sang kakak—awalnya sangat kekeuh untuk tutup mulut ketika ia menanyakan kabar Galuh melalui sambungan telepon. Namun, semua itu menjadi sia-sia belaka.

"Nggak apa-apa kalau Teteh masih tetap tutup mulut, toh aku bisa tanya langsung. Rama Candra Arvian nama anaknya 'kan? Dia sekolah di sini, di tempatku mengajar," ucap Aden.

"Sial! Bisa-bisanya, ya? Padahal Galuh ngerasa sekolah itu aman dari semua kenalannya. Salah sendiri dia nggak tanya-tanya dulu," ujar Ratu dari seberang telepon

"Mungkin jalur langit lebih berpihak sama aku, Teh."

"Cih, lagakmu. Jangan ganggu dia, Den. Dia sedang butuh ketenangan."

Setelah selesai mengajukan beberapa pertanyaan, kakak beradik itu akhirnya mengakhiri pembicaraann. Aden merasa puas sudah mendapat titik terang, tetapi tidak puas karena ada beberapa hal yang disembunyikan oleh sang kakak.

Entah karena memang sedang beruntung, atau Tuhan memang sedang berpihak kepadanya, Aden tidak mengerti. Mungkinkah ini semua adalah jawaban dari doanya.

Dua hari akhirnya berlalu, Aden sudah bersiap menunggu di depan gerbang sekali lagi. Dengan harapan yang ia nantikan akan muncul dan menyapanya. Namun, lagi-lagi sampai mendekati jam masuk kelas, Rama beserta sang ibu belum juga muncul.

Satpam sudah bergerak menutup gerbang, sementara itu Aden sudah berjalan menuju ruang kantor. Sayup-sayup ia mendengar suara teriakan yang meminta satpam menunda menutup gerbang. Hal itu membuat Aden membalik badannya dan tersenyum.

"Jangan dulu ditutup, Pak. Rama masih mau pamitan sama Ibun," teriak seorang anak dengan tas ransel bergambar tokoh kartun kesayangannya.

Aden terpaku untuk beberapa saat sampai ia mencoba memberanikan diri untuk mendekati sepasang ibu dan anak itu. Ia berjalan perlahan saat si ibu sedang memberikan beberapa wejangan sebelum si anak menuju ke kelas.

Begitu selesai, si anak berbalik dan nyaris saja menabrak Aden yang berdiri di belakangnya.

"Pak Raden, aku sudah sembuh," ucapnya sambil memamerkan deretan gigi yang tidak rata karena baru tumbuh menggantikan gigi susunya yang sudah lepas.

"Rama langsung ke kelas, ya? Sepatunya taruh di rak, dan langsung bergabung sama teman-teman."

Si kecil mengangguk, sekali lagi ia berbalik sambil melambaikan tangan sebelum berlari menuju kelasnya. Sang ibu memaksakan diri untuk menampakkan senyuman di hadapan putra semata wayangnya.

Begitu Rama sudah tidak terlihat, Aden memberanikan diri berhadapan langsung dengan sosok wanita dengan rambut berwarna keemasan itu.

"Mbak Galuh apa kabar?" tanya Aden

Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu hanya mengangkat kepala sebentar, matanya menangkap nama Raden Prameswara terpasang di baju lelaki itu. Nama yang selaras dengan nama sahabatnya.

Aden mencoba menjulurkan tangannya untuk bersalaman, tetapi hanya angin yang menyambutnya. Aden menurunkan tangannya sambil tetap tersenyum sambil sesekali menghela napas. Rasanya sungguh tidak karuan.

Degup jantung Aden mendadak meningkat. Tangannya menjadi lebih lembab, matanya lebih sering berkedip. Rasanya masih sama seperti dulu saat Galuh tiba-tiba muncul di rumahnya.

"Mbak, bisa lihat saya sebentar?"

Aden mencoba meminta perhatian sosok perempuan yang mulai tertunduk ketika menyadari siapa lelaki yang berdiri di hadapannya itu. Guru muda itu ingin melakukan lebih dari sekadar melihat wajah Galuh, ia hampir saja mengangkat tangan sekali lagi untuk mengangkat dagu perempuan di hadapannya itu.

"Maaf, saya sudah terlambat ke kantor, permisi," ujar perempuan dengan kemeja oversize yang dipadu dengan celana jin berwarna biru tua.

"Mbak Galuh, boleh kita ketemu lagi?" tanya Aden sebelum perempuan melangkah lebih jauh lagi.

Hanya sejenak saja Galuh terhenti, tetapi tanpa menoleh ataupun membalas pertanyaan Aden, ia pergi begitu saja.

***

Lebih dari sedekade yang lalu

Kepalaku masih terasa pening, tetapi suasana sekitarku ternyata sudah berubah. Terakhir kali yang aku ingat adalah aroma segar seperti laut yang terekam oleh indra penciumanku. Namun, kini aroma alkohol menyengat dan bau obat-obatan yang menghampiri hidungku.

"Heh, sudah bangun? Nyaris saja ibu jantungan dengar kamu di rumah sakit," ucap Teh Ratu yang berdiri di samping brankar sambil melipat tanganku.

"Siapa yang bawa ke sini, Teh?"

"Satpam sekolahmu. Siapa yang ngeroyok?"

"Kakak kelas, nggak tau juga siapa namanya."

"Pak Satpam sudah cerita."

"Ngapain nanya lagi kalau dah tahu?"

Sungguh kakakku satu ini sangat tidak bisa diajak kompromi. Seharusnya ia bisa menenangkan, setidaknya bersimpati sedikit dengan keadaanku. Nyatanya, ia malah bertanya hal yang sudah ia ketahui.

"Nggak ada cewek yang nganter? Cewek yang nolongin aku, Teh."

Teh Ratu menempelkan telapak tangannya ke dahiku.

"Nggak panas, loh. Kamu ngigau apa gimana? Jelas-jelas itu dua orang bapak-bapak baju satpam, cewek dari mana?"

"Ada, Teh. Cewek yang pakai parfum aroma laut."

Teh Ratu menggeleng mendengar pertanyaanku. Setelah itu hanya ada perdebatan saja antara aku dan teteh. Sudah tahu bagaimana akhirnya? Sudah pasti aku kalah telak jika harus berdebat dengan kakak yang usianya hanya berjarak empat tahun lebih tua dariku.

Wanita adalah pemenang, itu yang selalu aku ingat. Apalagi jika kakak pertamamu adalah wanita, maka tamatlah riwayatmu. Aku memilih untuk diam daripada memperpanjang urusan, tetapi bisa memperpendek umur.

Sampai setelah dirawat selama dua hari, aku masih belum bertemu dengan gadis bernama Galuh. Setelah kembali ke sekolah, mengurus masalah yang ada sampai terjadi pemanggilan wali murid, belum juga tampak sosok gadis penolongku itu.

"Pak Jaya nggak pernah kelihatan Mbak Galuh lewat sini lagi?"

Pak Jaya menggeleng, Pak Ahmad satpam satunya juga ikut menggeleng meski tidak ditanya. Apakah aku menyerah? Tentu saja tidak. Demi mengejarnya dan untuk mengucap terima kasih, aku masih mencari tahu tentangnya.

Selama beberapa hari aku selalu terlambat pulang sekolah. Bahkan menjelang malam hari aku baru sampai di rumah. Tepat pada hari ke tujuh, semangatku kendor dan memilih untuk pulang lebih awal.

Begitu sampai di depan rumah, satu motor yang tampak asing terparkir. Aku menoleh sejenak dan melihat helm unik dengan sepasang telinga kucing di atasnya. Akhirnya sekelebat ingatan mampir di kepala.

Ya, gadis yang menenteng balok kayu ketika menolongku kemarin menggunakan helm. Helm berwarna cokelat dengan sepasang telinga kucing di atasnya. Aku langsung berlari menuju pintu depan.

"Teh Ratu, di depan mo-tor siapa ...," ucapku dengan intonasi memelan.

Dua orang gadis di ruang tamu langsung menoleh ke arahku. Kakiku mendadak lemas hingga mundur dua langkah. Jantungku berdebar tak karuan sampai rasanya ingin melompat dari rongga dada. Tangan sedikit gemetar ketika tatapan mata gadis di sebelah Teh Ratu menatapku dengan sangat tajam.

Langkahku semakin mantap untuk mundur. Sampai akhirnya keluar dan menutup pintu secara perlahan. Aku memilih masuk rumah melalui pintu samping. Begitu sampai di dapur, aku mendapati ibu sedang menggoreng sesuatu.

"Bu, itu di depan siapa?" tanyaku sambil menuang air dingin ke dalam gelas.

"Temennya Teteh dari SMP."

"Kok aku baru tahu? Baru sekarang ke sini?"

"Galuh dah sering ke sini. Kamunya saja yang nggak betah di rumah, jadi nggak tau."

Aku semakin terpaku. Berhari-hari mencarinya, ternyata ia sudah tahu rumahku dan dekat dengan keluargaku. Ah, bodohnya aku. Belum juga selesai rasa terkejutku, Ibu malah dengan tega menambah beban hidupku.

"Den, ini diantar ke depan. Buat cemilan Teteh sama Galuh," ujar Ibu sambil menyodorkan nampan berisi es teh dan gorengan.

Alamak, cobaan macam apa ini? batinku.

🍂🍂🍂

Bondowoso, 08 Oktober 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top