Part 5 - Tentang Ketenangan
Saat sakit hati mendera, banyak hal yang menjadi enggan untuk dilakukan. Bad mood, itulah yang dirasakan Alya. Tidak ada semangat, karena semangat itu kebanyakan muncul mana kala hati sedang berbahagia dan antusias untuk menggapai sesuatu.
Hidup yang dijalani Alya seakan hambar, senyumnya yang kemarin-kemarin terus muncul karena tak sabar menunggu momen setelah wisuda. Kini, senyumnya seakan ikut tenggelam bersama mimpi-mimpi yang terpaksa harus ia kubur.
Lamaran yang dijanjikan Rama, angannya yang telah sering melayang tentang kehidupan indah pasca pernikahan, kini harus ia singkirkan, meski dengan berat hati dan semakin menyiksa batinnya.
Dua hari telah berlalu. Terapi hati yang ia lakukan atas petunjuk sang Ummi. Nyatanya belum berhasil mengembalikan keceriaan Alya.
"Sudah dua hari ini, Alya menyibukkan diri dengan memperbanyak salat sunah, zikir dan selawat sesuai intruksi Ummi. Tapi, kenapa hati Alya masih sakit saat teringat Bang Rama, Mi? Kenapa luka dalam hati Alya belum sembuh juga?"
"Sabar, Sayang. Ini hanya perkara waktu saja. Insya Allah, dengan izin Allah. Selama kamu pasrahkan dan menerima dengan ikhlas atas ketentuan-Nya. Allah akan segera menyembuhkan luka hatimu, Nak. Boleh Ummi tanya sesuatu?"
Alya yang memang sejak tadi tidur di pangkuan sang Ummi mengangguk. Momen pagi hari, santai berdua karena Azizah telah berangkat sekolah. Alya pun masih pengangguran karena awal bulan depan mulai mengajar.
"Apakah saat Alya salat, berzikir atau berselawat itu juga telah khusyu'? Hati dan pikiranmu fokus mengingat dan meminta pertolongan kepada Allah?"
Degh, hati Alya seakan terketuk cukup keras. Tidak lagi merasa tersindir, tetapi lebih ke arah tertangkap basah. Pasalnya selama dua hari ini, benar memang badannya melakukan gerakan salat dan lisannya mengucapkan zikir atau selawat. Namun, hati dan pikirannya sibuk dengan sosok laki-laki yang telah mengkhianatinya.
"Dalam surat Ar Ra'd ayat 28 sudah jelas dijelaskan (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Dari ayat ini sudah jelas kan, Sayang?"
Alya bangkit dari pangkuan sang Ummi lalu duduk. Tatapan Alya tampak sayu, begitu jelas terlihat gurat kesedihan di wajahnya. "Astaghfirullahal'adzim," ucap Alya seraya mengusap wajah. "Iya, Ummi benar. Hati Alya nggak ada khusuk-khusuknya ketika berzikir. Mungkin karena itu hati Alya tetap gelisah ya, Mi."
Fathimah tersenyum, merangkul pundak putrinya lalu mengusap-usap pelan. "Kegelisahan itu sumbernya di hati, kan? Jadi sudah seharusnya, sertakan lukanya saat ingin mengobati. Memintalah sama Allah dengan sungguh-sungguh, hati yang khudur. Mintalah dikaruniakan ketenangan hati. Ikhlaskan dia, yakinlah bahwa Allah telah menyiapkan jodoh yang lebih baik untukmu."
Alya diam menyimak dengan seksama apa yang diucapkan sang Ummi. Ia sadar, jika hatinya saat ini butuh asupan nasihat agar lebih tegar menghadapi kenyataan yang ada.
"Kita ini hanyalah makhluk Allah yang lemah, Nak. Tidak tahu apa yang terbaik buat kita sendiri. Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Bahkan, kebanyakan dari kita, hanya menuruti hawa nafsu belaka untuk meraih kebahagiaan kita. Sehingga lupa, jika takdir yang Allah tetapkan, terkadang menjadi sebuah ujian agar kita kembali dekat kepada-Nya. Kamu ngerti kan, Sayang?" Fathimah menatap lekat-lekat putri sulungnya. Senyum ia persembahkan, untuk menyalurkan kasih sayangnya.
Sang Bagaskara tampak bersinar menyilaukan mata. Namun, tidak terasa lagi panasnya menyengat kulit, membuat sesekali mata Alya menyipit saat diterpa sinarnya. Kendaraan roda dua yang dikemudi gadis berhijab warna maron itu, kini menyisiri jalan raya yang lumayan padat. Di belakangnya, duduk adiknya dengan kedua tangan yang begitu erat saling tertaut memeluk sang kakak.
"Pokoknya aku mau ke taman dulu lo, Mbak sebelum pulang," rengek Azizah saat motor terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah.
"Emangnya mau ngapain, sih, Dek. Mbak lagi males ah ke sana. Ada kenangan pahit banget di situ," ujar Alya di dalam hati pada kalimat terakhirnya.
"Iiih pokoknya mampir, Mbak! Aku tuh udah lama banget nggak ke sana. Pengin main ayunan."
"Males, ah."
"Iiih pokoknya mampir."
"Au!" Alya langsung berteriak saat merasakan cubitan dari sang adik.
"Kalau nggak mampir awas aja. Aku bakalan nangis dan mogok makan."
"Astaghfirullah. Nih anak, ya. Pakek acara ngancem segala lagi," gerutu Alya sembari melajukan motornya.
Selang beberapa menit, Alya memarkirkan motornya di parkiran yang telah berjajar motor lain. Tulisan "Taman Ungu" terpampang jelas di gapura tengah yang merupakan pintu masuk utama.
Tembok dan pagar berwarna ungu tampak mengelilingi beberapa bagian taman ini. Mungkin karena warna ungu yang dominan inilah, taman ini dinamakan taman ungu. Begitu kaki melewati gapura, di sebelah kanan dan kiri terdapat beberapa macam bunga yang tampak subur. Harumnya bunga-bunga itu langsung tertuju ke hidung para pengunjung.
Alya yang baru saja masuk bersama Azizah, bergandengan tangan. "Mbak beliin es krim, dong."
"Eh, nggak ada beli-beli ya, Dek. Katanya tadi hanya mau main ayunan ke sini."
"Iiih, mbak Alya pelit banget, sih. Uang yang dikasih Ummi tadi masih ada, kan?"
Alya menghela napas jengah dan sangat enggan untuk berdebat agar adiknya itu mengerti kata hemat. "Ya udah ayo, beli."
"Yeeey!" Azizah seketika bersorak gembira.
Setelah membelikan es krim, Alya memilih duduk di bangku panjang yang dekat dengan taman bermain. Taman bermain itu berada di paling ujung taman ungu ini. Ia duduk sendiri sembari mengawasi sang adik.
"Ehm."
Mendengar deheman yang cukup mengejutkan itu, Alya langsung menoleh. "Ngapain kamu ke sini?"
"Sendirian?" Bukannya menjawab pertanyaan Alya. Laki-laki itu malah melempar pertanyaan yang lain.
"Ih, dasar. Makhluk menyebalkan. Ditanya malah nanya." Alya semakin kesal.
"Hahaha. Kamu kenapa, sih? Katanya lagi galau?" Laki-laki yang tinggi menjulang itu mulai duduk di tepi bangku, samping Alya.
"Kayak kamu nggak aja,” ucap Alya ketus kepada laki-laki yang memang kenyataannya bernasib sama. Iya, laki-laki yang kini duduk di sebelah Alya namanya Alif. Laki-laki yang merupakan sahabat kecil dan juga tetangganya.
Dua makhluk tuhan yang sepertinya tidak akur jika dilihat dari nada percakapan saat bertemu. Nyatanya, ketika lewat chat saling curhat satu sama lain, saling memberi support, dan saling mendoakan kebaikan.
"Nggak nyangka ya, Put. Nasib cinta kita bernasib sama. Kandas di tengah jalan. Jadi cinta segi empat." Put adalah panggilan pendek Alif ke Alya, panggilan lengkapnya Siput Cilit yang kepanjangannya adalah Si Putri Cantik Jelita. Panggilan yang Alya sukai sejak kecil untuk dirinya.
"Nggak usah sok yang paling bernasib buruk gitu. Kamu mah enak laki-laki tinggal cari dan pilih lagi untuk ketemu jodoh. Sedangkan aku, harus nunggu siapa yang mau ngelamar. Jadinya, kesedihan yang aku rasain tuh dua kali lipatnya kamu." Tanpa ada saling pandang. Keduanya mengobrol dengan tatapan yang sama-sama ke arah depan.
"Enak ya kalau ngomong. Itu hanya teori kali, Siput Cilit. Prakteknya susah, apalagi yang berkenaan sama hati. Mana bisa hati diatur milih ini aja ya. Atau yang itu aja ya. Emang kecocokan atau ke klop-annya hati bisa direkayasa? Nggak tulus dong namanya."
Alya mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan pendapat Alif. Intinya, cinta yang sesungguhnya itu tidak bisa dipaksakan atau direkayasa oleh manusia. Cinta itu fitrah dari Allah Swt, hadir tanpa undangan, tapi sulit untuk dihilangkan.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top