Part 4 - Tentang Kesabaran
Banyak orang bilang, sakit gigi itu lebih sakit dari pada sakit hati. Namun, bagi Alya yang belum pernah mengalami sakit gigi, sakit hatinya begitu menyiksa. Luka yang tak berdarah, tetapi perihnya seakan tersayat sembilu yang disiram air garam.
Perihnya tak biasa, tapi sangat luar biasa menyakitkan. Kekecawaan yang tercipta, menyesakkan dada karena pupusnya harapan yang telah lama ia elu-elukan.
"Enggak, enggak. Baaaaaang!"
Gadis berambut ikal itu langsung bangkit dengan mata terbuka lebar. Napasnya terengah-engah seraya memusatkan pandangan ke arah depan. Sampai hampir dua menit, posisi gadis itu masih tetap sama.
Tanpa satu kata pun yang keluar lagi dari lisannya, tiba-tiba cairan bening mengalir dari pelupuk matanya.
Menit kemudian, isakan mulai terdengar. Kedua tangannya menutup wajah, menyadari jika apa yang baru dialaminya adalah sebuah mimpi.
Rama meninggalkan dirinya di sebuah tempat yang begitu indah. Padahal, awalnya ia sedang asyik bersandar di bahu laki-laki tampan itu.
Peristiwa yang dialami Alya adalah kenyataan yang terbawa sampai ke mimpi, bukan mimpi yang menjadi nyata. Ah, ini menunjukkan jika gadis itu benar-benar terluka.
Kekecawaan di hatinya yang begitu menyiksa, membuat pikirannya hanya mengingat Rama, Rama dan Rama. Setiap hati yang patah, ingin sebenarnya ia menjauh dan menghilangkan itu semua.
Namun apalah daya, cinta di hatinya begitu dalam, sehingga ia sulit menerima kenyataan yang ada. Sakit yang dirasakan oleh pengkhianatan, tidak lantas dengan mudah mengubah cinta menjadi benci.
"Al, Alya." Bunyi ketukan pintu yang diikuti suara sang Ummi tidak membuat gadis itu berhenti menangis lagi. Sungguh, demi apa pun ia tidak bisa menghentikan air mata itu untuk tak menetes lagi. Derita hatinya begitu lara dan perih, ia tidak kuat menahannya seorang diri.
Beberapa saat tidak mendengar sahutan, Fathimah yang tadi mendengar suara teriakan Alya sungguh khawatir. "Alya, Sayang. Kamu kenapa, Nak?" Fathimah kembali mengetuk pintu. Namun, tetap saja tidak ada tanda-tanda putrinya membuka pintu.
Ditengah rasa khawatirnya yang semakin meresahkan hati, Fathimah pun mencoba memutar knop pintu kamar Alya. Tidak disangka, jika gadisnya tidak mengunci kamar.
Begitu pintu terbuka, isak tangis Alya semakin jelas. Fathimah pun dengan langkah cepat menghampiri, "Alya, kamu kenapa, Nak?"
Alya yang mendapati sang ummi telah berada di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung menghambur, memeluk Umminya.
Hening, tidak ada sepatah kata pun yang terdengar dari dua orang perempuan itu sampai beberapa menit. Fathimah hanya mengusap-usap punggung putrinya untuk menenangkan. Ia tahu betul, Alya kini sedang tidak baik-baik saja dan belum saatnya bertanya. Meski sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada putri sulungnya itu.
Entah sudah berapa menit berlalu, akhirnya isakan Alya semakin mereda. Napasnya pun mulai teratur, menunjukkan jika gadis itu sudah mulai tenang. Sang Ummi pun perlahan meregangkan pelukan itu, lalu mengusap air mata yang menganak sungai di pipi putrinya.
"Mau cerita sama Ummi sekarang?" tanya Fathimah, begitu keduanya duduk berhadapan.
Mata Alya begitu terlihat sayu dan sembab, aura kesedihan begitu tampak dari wajah ayunya. Fathimah yang sebenarnya tidak tega mendapati putrinya bersedih. Namun, tetap saja sebagai seorang ibu, ia harus tegar dan berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kamu kenapa, Sayang? Cerita ya sama ummi."
Alya menatap sang ummi lekat-lekat, air matanya kembali menggenang. Ia mendongak lalu mengerjap-ngerjap, berusaha menahan tangis. Beberapa detik kemudian, gadis itu menghirup napas cukup dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Setelah merasa lebih tenang, kembali ia tatap sang ummi. "Maafin Alya yang telah membuat ummi khawatir." Air mata kembali lancang menetes, tanpa bisa dicegah begitu satu kalimat itu terlontar dari lisan Alya.
"Nggak usah minta maaf, Sayang. Bagilah beban kesedihanmu dengan Ummi. Biar kekhawatiran Ummi berkurang, ya."
Alya menunduk. "B-Bang Rama, Mi. Bang Rama ninggalin Alya. Dia menikah dengan wanita lain, Mi." Air mata semakin deras mengalir di pipi Alya.
Fathimah yang mendengar itu, tampak menghela napas cukup panjang. Akhirnya kamu benar-benar mematahkan hati putriku, Ram, batin Fathimah.
"Apakah dia bilang sebabnya, Nak? Kenapa dia meninggalkan kamu?"
"Katanya segan sama gurunya untuk menolak, Mi?"
"Ada sebab lain?"
Alya menggeleng.
Fathimah menghela napas. "Sabar, ya, Sayang. Ini sudah menjadi ketetapan Allah yang tidak bisa kita hindari dan harus diterima dengan lapang dada. Takdir Allah itu akan menjadi takdir terindah, jika selaras dengan prasangka baik hamba-Nya. Bisa jadi, Allah telah menetapkan jodoh yang lebih baik untukmu, Nak. Jadi, jangan terlalu larut dalam kesedihan, ya."
"Tapi, Mi. Alya itu cinta banget sama Bang Rama, Mi. Alya hanya ingin menikah dengan Bang Rama, Mi. Nggak mau dengan yang lain."
"Hush, nggak boleh ngomong gitu, Sayang. Nggak baik. Kamu bilang begitu, sama saja berarti protes dengan takdir Allah." Fathimah memperingati Alya yang kebablasan menyalahkan takdir.
"Bukannya kata Ummi, cinta itu fitrah dan hanya Allah yang kuasa menyelipkan ke hati manusia. Tapi kenapa jika cinta itu telah di alami kita berdua, lantas pada akhirnya kita dipisahkan, Mi?"
Fathimah meraih tangan Alya, satu tangannya ia genggam, lalu tangan yang lain mengusap-usap punggung tangan putrinya.
"Itulah makanya Ummi dari awal bilang sama kamu, Al. Cintailah ia sekedarnya, karena orang yang dicinta belum tentu jodoh. Cinta sebelum adanya ikatan halal itu ujian, Nak.
Ujian hati yang harus kita terima resikonya berupa patah hati, jika kenyataan tak sesuai harapan."
"Tak bisakah diusahakan lagi agar Bang Rama mau memperjuangkan cintanya kepada Alya, Mi?"
Fathimah menggeleng, "Jangan, Sayang. Jadilah hamba Allah yang qona'ah. Sabarlah, Nak."
"Sulit, Mi. Hati Alya sakit bangeeet. Alya pasti sulit melupakan Bang Rama, Mi. Karena dia adalah cinta pertama Alya. Bang Rama laki-laki salih, laki-laki yang Alya idam-idamkan kelak menjadi imam Alya, Mi."
"Sulit bukan berarti tak bisa kan, Sayang? Bersabarlah dulu menahan rasa sakit hatimu, Nak. Ini ujian untukmu, Al. Memohonlah kepada Allah untuk menunjukkan hatimu ke jalan yang lebih baik dan bisa menerima takdir-Nya. Karena hanya Dialah yang maha pembolak balik hati manusia." Fathimah menghela napas sejenak, lalu melanjutkan penjelasannya.
"Tidak ada yang mampu menolong, ketika manusia mengalami ujian yang menurutnya sulit kecuali Allah, Sayang. Meski menurut manusia sulit, jika Allah telah berkehendak, maka semuanya akan mudah, Nak. Ummi sudah sering sekali menyampaikan hal ini kepada jamaah pengajian. Jalan keluar bagi orang yang mengalami kesulitan atau ujian dari Allah ini salah satunya telah dijelaskan di dalam Al Qur'an surat Al Baqoroh ayat 153 yang artinya Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. Insya Allah, jika kamu menyerahkan masalah ini kepada Allah dengan sesungguh-sungguhnya kepasrahan, maka Allah akan membantumu, Sayang. Ingatlah, Nak. Setiap masalah yang menimpa hamba-Nya, Allah juga akan selalu menyertakan jalan keluarnya."
.
.
.
.
Bersambung
Assalamualaikum Sahabat Pembaca
Jazakumullah khoir ya udah mampir di cerita ini.💗💗💗
Sekalian mau kasih info, cerita ini sebenarnya udah tamat dan akan terbit lo.
Malah sekarang udah OPEN PO.
Jadi, bagi yang penasaran, bisa langsung peluk novelnya ya.
Harganya?
👇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top