Part 3 - Menahan Diri
Perih hati semakin menusuk sebab kepiluan yang terus merongrong. Kekecewaan terus melesak, hingga menyesakkan dada. Air mata terus mengalir, susah untuk dihentikan.
"Ka-kamu jahat ba-banget, sih, Bang," ucap Alya ditengah isakannya. Entah sudah berapa kali ia mengusap cairan bening yang menganak sungai di pipinya. Namun, menetes lagi dan lagi cairan itu dari pelupuk matanya yang kini tampak membengkak.
Alya merasa takdir Allah kali ini kejam terhadap dirinya. Kenapa harus ada cinta, jika pada akhirnya tak bisa bersatu dalam pernikahan? Kenapa dipertemukan, jika pada akhirnya dipisahkan? Kenapa ada harapan, jika pada akhirnya dikecewakan.
"Ya Allah ... apa dosaku, hingga Kau hukum aku seperti ini? Hamba sangat mencintai-Nya, kenapa kau pisahkan kami? Bahkan, sejak lama aku setiap hari meminta padamu, agar berjodoh dengannya. Kenapa dia malah berjodoh dengan wanita lain? Padahal, kami berusaha menjaga kesucian cinta ini. Tetapi kenapa masih saja harus ada kata patah hati?" cecar Alya dengan banyak pertanyaan bernada protes itu.
Alya sungguh terpukul oleh kenyataan yang ada. Membayangkan hal buruk ini saja ia tidak pernah. Jadi wajar saja jika saat ini, gadis itu benar-benar dalam kubangan kesedihan.
Hampir satu jam berlalu, isak tangis terus terdengar. Bayangan Rama sejak pertemuan indah dengan Alya di tempat KKN-nya satu tahun yang lalu me-replay di pikiran gadis itu.
Pertemuan yang memberi kesan perhatian Rama terhadap dirinya kala itu. Rama rela tak memakai alas kaki karena merelakan sandalnya untuk Alya yang saat itu kehilangan sepatu di teras musola sekolah. Seringnya keduanya berjumpa, menyentil hati dengan sebuah rasa yang berawal dari kagum, simpati lalu menjadi cinta.
Akhlak yang baik, perhatian, dan kepedulian Rama, membuat Alya begitu mudah terpikat. Begitu pun Rama, belum lama mengenal Alya, tak bisa dielakkan jika hatinya berdesir hingga memunculkan sebuah rasa kagum dan nyaman. Melihat Alya yang tak hanya cantik rupa, tetapi juga akhlaknya. Ia pun mengetahui Alya adalah sosok penyabar saat mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah.
Namun, tak hanya itu Rama juga mengagumi gadis itu karena hampir setiap hari ia bertemu di musala sekolah saat dirinya usai atau sama-sama akan melaksanakan salat duha.
Dua insan yang saling jatuh cinta itu pada awalnya memang saling menjaga dan menyimpan rapi tanpa ada yang tahu. Meski dari gelagat interaksi yang sering ketahuan salah tingkah dan khilafnya ketika curi-curi pandang. Tetap saja, rasa itu tak terungkap sampai beberapa bulan. Sampai akhirnya, Rama mengutarakan cinta dan niatannya untuk melamar, sesaat sebelum tugas KKN Alya di sekolah itu usai.
Cinta yang saling bersambut memberikan efek kebahagiaan yang luar biasa untuk dua cucu Nabi Adam itu. Hari-hari yanh terlewati dengan rasa rindu yang menggebu, terkadang bisa terobati saat Alya menghadiri kajian di kampus yang diisi oleh Rama sebagai pematerinya. Rama adalah mahasiswa lulusan universitas Al Azhar. Seorang hafidz Qur'an yang banyak dielu-elukan oleh para perempuan. Selain tampan, ilmu agamanya pun mumpuni. Berakhlakul karimah dan ramah kepada siapa saja.
Meski tak banyak kenangan yang terlewati karena memang keduanya sama-sama saling menginatkan untuk membatasi dan menahan diri, baik itu dalam hal komunikasi yang seperlunya ataupun bertemu. Keduanya sadar, jika bukan mahram dan tidak mau sampai tergolong orang yang mendekati zina, karena merupakan perbuatan yang dapat menjerumuskan ke lembah nista. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an surat Al Isra' ayat 32. Artinya "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
Namun, untuk hal ini, Ramalah yang lebih sering mengingatkan Alya.
"Mbak ... Mbak Alya. Makan, yuk. Ummi dapat nasi goreng sosis, nih.
Mumpung masih anget kata Ummi."
Suara ketukan pintu yang disusul celotehan Azizah terdengar, Alya terdiam sebentar menahan isakannya.
"Kamu makan aja dulu, Dek. Mbak Al belum laper."
"Yakin, nih, Mbak Alya nggak pengin? Kayaknya enak banget lo, Mbak."
"Iya, Dek. Makan dulu aja."
Tak ada suara sahutan Azizah lagi.
Alya kembali meletakkan kepalanya di atas bantal. Memandang undangan yang tergeletak di sampingnya, membuat air matanya kembali berderai. "Seharusnya Alya dan Rama yang terukir indah di undangan itu. Kenapa malah nama perempuan lain yang bersanding dengan nama kamu, Bang? Jika hatimu tersakiti oleh perjodohan ini, kenapa kamu tak berusaha menolaknya? Untuk apa segan kepada Ustadz Ridho? Bukankah cinta itu tidak bisa dipaksakan? Kamu jahat banget, Bang. Sudah memberikan harapan palsu untukku. Aaaaaa!" Alya kembali menenggelamkan kepalanya ke bantal lalu menjerit.
"Kamu jahat, Bang. Kamu tega sama aku." Alya terus memukul-mukul undangan yang ia letakkan di atas bantal, lalu merematnya kuat-kuat, hingga bentuknya bulat seperti bola pimpong.
Nada dering ponsel terdengar, Alya perlahan bangkit lalu meraih benda pipih itu. "Ngapain, sih. Si tegak lurus nelepon-nelepon. Aaah, pasti dia mau pamer kebagaiaan dan akan bersenang-senang di atas kepatah hatian aku." Alya kembali melempar benda pipih itu saat teringat chat Alif--sahabat kecilnya--tadi pagi akan melamar wanita yang ia cintai.
Arrrgggh, kenapa nasib cintaku begini amat ya. Menyedihkan dan menyakitkan. Alya meremas jilbabnya sendiri. Kesal dan kecewa dengan kenyataan yang tak berpihak untuk kebahagiaannya.
Saat sibuk meratapi takdir hidupnya, ketukan pintu terdengar, lalu disusul kemudian suara lembut sang ummi."Al, Alya."
Alya langsung panik, buru-buru menghapus jejak air matanya. Menghela napas sejenak, lalu membereskan kertas-kertas yang berserakan di kasurnya. Kemudian ia masukkkan kertas dan amplop itu ke laci. Ia tidak mau sampai umminya tahu, jika dirinya saat ini sedang patah hati.
"Iya, Mi sebentar."
Alya bergegas menuju meja rias. Lalu mengusap bedak tipis di wajahnya, terutama di area mata. Ia tak mau Umminya melihat matanya yang sembab. Setelah memastikan aman, barulah ia membuka pintu dan tak lupa menyampirkan handuk di bahunya.
"Ada apa, Mi?"
"Kamu belum mandi, Al?" tanya sang Ummi saat melihat putrinya masih memakai gamis sama dengan yang tadi ia lihat sebelum pergi ke rumah tetangganya.
"Hehehe belum, Mi. Ini mau mandi. Alya mandi dulu ya, Mi." Alya mengecup pipi Fathimah sebelum akhirnya berlalu dari hadapan sang Ummi.
"Keasyikan nonton film lagi?"
Alya menoleh sebentar lalu nyengir.
"Alya, Alya. Nonton Film kok ya sampai nangis gitu."
Degh, hati Alya seakan terketuk, kaget jika perempuan yang begitu ia sayangi itu memang tak pernah bisa di bohongi. Begitu besar kasih sayang dan perhatianmu, Mi. Udah aku tutup-tutupin bekas tangis ini, masih saja ketahuan, batin Alya ditengah langkahnya menuju kamar mandi.
Helaan napas keluar dari mulut Alya, merasa lega jika saat ini berhasil menyembunyikan patah hatinya. Aku nggak mau menambah beban pikiran, Ummi. Ummi sudah lelah memikirkan banyak hal seorang diri semenjak Abi meninggal. Tapi, aku pun tahu, kira-kira sampai kapan aku bisa bertahan menyembunyikan ini, batin Alya yang memang sampai saat ini belum pernah bisa menyembunyikan hal sekecil apapun dari perempuan yang merupakan madrasatul ulanya.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Yuk Ramein d kolom komentar.
Gimana cerita ini menurut kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top