Part 10- Rida Kebahagiaan
Debar hati saat harus memutuskan jawaban untuk menerima atau menolak sebuah lamaran, rasanya campur aduk. Bingung, takut, dan segan yang Alya rasakan.
Bingung harus menjawab terima atau tidak, karena tidak ada kehadiran cinta dalam hati. Takut jika menolak akan menjadikan penyebab putus silaturahmi atau menjadikan dirinya kufur nikmat. Pasalnya, tidak ada alasan yang sesuai syari'at yang bisa Alya utarakan jika menolak Alif. Ia juga segan kepada Husna jika menolak, karena beliau yang begitu baik kepadanya.
Malam ini, Alya sedang duduk di depan meja riasnya. Seperti pesan Husna kemarin, Alya sekarang memakai gamis dengan long outer perpaduan warna hijau muda dan putih bermotif garis bagian dalam dan warna hijau tua di bagian luarnya.
Sebenarnya Alya telah siap dari lima menit yang lalu. Namun, ia enggan keluar kamar. Pikirannya sibuk menimbang-nimbang. Hatinya belum yakin atas apa yang akan ia putuskan. Kegelisan di hatinya bukan lagi akibat belum sembuh dari patah hati, tetapi lebih ke arah bimbang dengan perjodohan ini.
Alya yang menatap pantulan dirinya di cermin, menghela napas. Mungkin memang beginilah jalan takdir datangnya jodohku. Meski berat, kalau sudah ketentuan Allah, tidak mungkin aku terus mengelak untuk masa depan dan terpuruk dalam kubangan masa lalu yang menyakitkan. Bismillah ... ya Allah, tuntunlah lisan hamba nanti mengutarakan keputusan yang terbaik menurut-Mu.
Alya yang memang sedang halangan dan tidak salat berjemaah dengan sang ummi, sejak tadi hanya mengurung diri di kamar. Sudah merasa bosan seorang diri sejak tadi, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan menemui sang ummi.
Baru saja ia menutup pintu kamar, sebuah suara obrolan terdengar. Degh, ternyata mereka sudah datang, batin Alya yang kemudian meraba dadanya yang merasakan debaran.
"Mbak Alya." Suara Azizah terdengar ceria saat menyebut nama kakaknya.
Alya menoleh lalu tersenyum.
"Sini, Mbak. Udah ditungguin Ummi dan calonnya." Azizah nyengir di akhir kalimatnya, sengaja menggoda sang kakak.
Alya yang sedikit kesal langsung menghampiri sang adik. Setibanya di depan Azizah, ia cubit pipi tembem adiknya yang begitu menggemaskan.
"Ish, calon apaan, sih, dek. Sok tau ah kamu."
"Emang Mbak Alya nggak mau sama Mas Alif? Ya udah, Mas Alifnya buat Azizah aja ya kalau gitu." Ucapan polos Azizah mengundang tawa. Tidak hanya Alya yang terkekeh, tetapi Ummi beserta calon besan dan calon mantunya pun terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka semua bisa mendengar jelas ucapan Azizah, karena tubuh gadis cilik itu memang masih belum sepenuhnya berada di ruang tengah.
"Tuh, kan. Azizah aja bilang kayak gitu. Masak iya mau dikalahin Azizah?" ujar Husna yang mengundang senyum Fathimah. Alif hanya diam tertunduk.
Azizah pun menyeret tangan kakaknya menuju perkumpulan empat orang itu--Alif, Husna, Hasan dan Fathimah. Azizah kembali duduk di samping kiri sang Ummi, sedangkan Alya berada di sebelah kanan.
"Gimana, Nak? Kamu siap menjawab lamaran Nak Alif malam ini, kan?" tanya sang Ummi sembari mengusap punggung putrinya.
"Insyaa Allah, Mi," ucap Alya masih tampak ragu-ragu.
"Maaf, Tante. Bolehkah Alif minta waktu sebentar untuk ngomong berdua dengan Alya di luar?" Alif yang sejak tadi diam, akhirnya mengeluarkan suara.
"Iya, Nak silakan," jawab Fathimah lalu tersenyum. Ia sangat paham, jika dua insan itu butuh bicara dari hati ke hati.
Alif pun bangkit lalu melewati pintu yang kemudian di susul Alya. "Al, memang di antara kita belum ada cinta. Dan aku melamarmu bukan atas nama cinta untukmu yang tertahta di hatiku."
Mendengar Alif mendengar namanya disebut dengan benar, ia tahu jika kali ini laki-laki itu sedang serius mengungkapkan sesuatu. Alya siap mempertajam telinga untuk mendengarkan apa yang ia utarakan.
"Tapi kamu pasti tahu, jika di antara kita ada cinta dan rida dari orang tua kita. Jika orang tua kita rida, bukankah itu berarti Allah juga meridai?"
"Lagian, di antara kita banyak saling tahu sama lain karena memang kita dekat sejak kecil, kan? Hal ini menurutku sudah cukup buat bekal kita untuk hidup bersama. Insya Allah akan lebih mudah menumbuhkan saling mengerti dan memahami di antara kita nanti saat hidup bersama. Apalah gunanya cinta, Al? Kalau pada akhirnya malah menyakiti dan bikin patah hati. Mending nikah dulu, barulah kita rajut sama-sama benang cinta itu kemudian, kan?"
Alya yang sejak tadi menunduk, menoleh sebentar lalu membuang muka saat Alif juga membalas tatapannya. Ia akhirnya memilih memandang lurus ke depan.
"Iya, Lif. Omongan kamu ada benernya juga."
Hati Alif akhirnya lega mendengar jawaban Alya.
"Aku ingin membuat bunda bahagia. Dia sangat mengharapkan kamu untuk menjadi menantunya," ujar Alif mengutarakan harapan terdalamnya. Karena ia pernah mendengar penjelasan gurunya agar berbakti kepada kedua orang tuanya yang telah mengandung dan banyak berkorban untuk anak-anaknya sebelum ia dilahirkan ke dunia ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Luqman ayat 14 yang artinya: "Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada Akulah kembalimu."
"Aku janji, Al. Aku nggak akan menuntut kamu untuk melakukan semua tugas seorang istri untukku. Apalagi memaksamu untuk mencintaiku, aku nggak akan melakukan itu karena aku pun merasakan luka yang sama dengan kamu. Jadi, cukup lakukan apa pun yang membuat kamu bahagia, selama itu tidak melanggar syari'at agama."
Alya tampak menghirup napas cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Iya, Lif aku paham. Bismillah, ya. Semoga ini menjadi langkah yang terbaik buat kita ke depannya."
"Aamiin Allahumma aamiin. Ya udah kita masuk, ya."
Alya mengangguk lalu mengikuti langkah laki-laki itu.
Setelah keduanya duduk kembali di tempat semula. Fathimah pun bertanya. "Gimana, Sayang?"
Hati Alya mendadak berdebar kencang. Ia hela napas sejenak untuk mengurangi kegrogiannya yang datang tiba-tiba. Dalam hati ia begitu berharap, jika jawabannya kali ini tidak mengundang penyesalan di waktu yang akan datang.
"Bismillahirrahmanirrahim, Alya terima lamaran ini."
"Alhamdulillah." Rapalan puji syukur terdengar kompak dari orang-orang yang berada di ruang tamu kecuali Azizah.
"Yah, nggak jadi punya pangeran ganteng Mas Alif, dong. Udah diambil mbak Alya duluan, sih." Azizah pura-pura cemberut, membuat orang-orang sekelilingnya tertawa bahagia.
Acara pemasangan cincin pun di mulai dengan bacaan basmalah oleh Husna yang memasangkan ke jari kanan Alya. Kemudian dilanjutkan Azizah yang memasangkan cincin perak kepada Alif.
Dua keluarga yang bakal menjadi keluarga besar itu tampak begitu bahagia. Impian sejak lama ingin menjodohkan putra putrinya akhirnya menjadi kenyataan.
Alya dan Alif sama-sama menundukkan kepala, sepertinya mereka berdua lebih memilih sibuk dengan pikiran masing-masing.
Selamat tinggal Bang Rama. Ternyata, Allah memang tidak berpihak atas harapan kita untuk berjodoh. Mulai sekarang, aku harus bisa melupakan kamu dan menghapus cinta dihatiku yang tertoreh namamu Bang. Ya muqollibal qulub, Bantulah hambamu yang lemah ini ya, Allah, rintih Alya dalam hati penuh harap Allah mengabulkan doanya kali ini.
.
.
.
.
.
TAMAT VERSI WATTPAD
Lanjutannya di novel versi cetak ya.
Penasaran? Langsung Order aja 😍
Harganya masih bisa tebus harga PO ya
Setelah ini insya Allah spoiler" aja ya up nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top