Part-1-Tentang Takdir
Mentari kini lebih condong ke arah barat. Cahayanya tak lagi menyengat, tapi masih mampu mencerahkan isi bumi. Bunga-bunga yang terhias indah tampak segar di beberapa sudut taman. Sebab, baru setengah jam yang lalu diguyur sang rinai. Sejuk, begitulah hawa yang dirasakan oleh gadis yang baru saja memarkirkan motornya di sebuah taman.
Pengunjung taman, sore ini tampak lengang. Mungkin jalanan yang agak becek, membuat orang-orang enggan berkunjung. Namun, keengganan itu tak berlaku untuk Alya. Gadis berkerudung lebar itu dengan semangat melangkah menuju sebuah bangku panjang. Senyum terus terukir di bibirnya yang berwarna merah muda, tampak sekali kebahagiaan memancar dari wajahnya yang putih.
Helaan napas kemudian menguar, setelah ia berhasil duduk. "Sepertinya Bang Rama belum datang." Netranya menyisiri sekitar dengan teliti, mencari sosok laki-laki yang mengajaknya bertemu di tempat ini.
Setelah memastikan batang hidung laki-laki bernama Rama tak terlihat. Gadis yang berusia 22 tahun itu merogoh tas. Selang sebentar, ia menyalakan benda pipih yang berhasil ia ambil.
[Assalamualaikum. Kita ketemu di taman Ungu nanti jam 4 sore bisa, Dik?]
Sekali lagi Alya mengecek dan membaca pesan yang diterimanya tadi siang. Ia hanya ingin memastikan saja tidak salah baca, karena tak biasa-biasanya laki-laki yang menambat hatinya itu mengajak ketemuan seperti ini.
Tanpa pikir panjang lagi, setelah melihat jam digital di ponselnya menunjukkan waktu 14:10. Jemari Alya dengan lincah menari di layar ponselnya.
[Assalamualaikum. Aku sudah sampai di taman, Abang di mana?]
Begitu pesan terkirim, gadis berbulu mata lentik itu menghela napas cukup panjang. Bibirnya kembali tersenyum, selaras dengan debaran hati saat teringat perkiraannya sendiri, mengenai tujuan Rama mengajak bertemu hari ini?
Apalagi, memang waktu inilah yang memang ditunggu-tunggu oleh dua insan yang saling mencinta itu. Waktu di mana Rama berjanji akan secepatnya melamar usai dirinya lulus dan menjadi sarjana.
Setelah menikah dengan Bang Rama nanti, pasti aku akan menjadi wanita yang paling berbahagia di dunia ini. Hidup bersama orang yang kucinta dan ia juga mencintaiku. Ya Allah ... rasanya tak sabar momen itu terjadi. Hidup bersama Bang Rama. Ketemu tiap hari bebas kapan saja, tanpa ada lagi yang namanya menahan rindu seperti ini. Bisa shalat jama'ah bareng tiap hari dan nambah hafalan yang langsung disimak suami sendiri. Masakin tiap hari dan tidur ada yang nemenin. "Ups," ucap Alya langsung menutup mulut saat sadar--telah terbang tinggi di dunia khayalannya sendiri.
"Assalamualaikum."
Mendengar suara berat itu, Alya yang terkejut langsung mendongak. Senyumnya semakin merekah lalu menjawab salam.
"Sudah lama nunggu?"
"Eng-enggak kok, Bang. Baru juga sampai." Alya tampak gugup lalu menggeser duduknya semakin berjarak lebih jauh saat Rama mulai duduk di bangku yang sama. Ia benar-benar salah tingkah, karena ini adalah momen pertama kalinya bertemu berdua di sebuah taman. Meskipun kenyataannya di taman ini mereka tak hanya berdua. Tetap saja, jika bersama yang dicinta, serasa dunia ini hanya milik berdua.
"Maaf, kemarin aku nggak bisa hadir saat wisuda kamu. Ada pelatihan di luar kota yang nggak bisa aku tinggalin." Tak ada saling tatap, pandangan Rama lurus ke depan.
"Kenapa nggak kasih kabar? Udah sepekan lebih lo Abang tiba-tiba ngilang." Alya tampak kesal. Ia hanya bisa menunduk sembari memilin ujung jilbabnya, tak berani menatap sinis laki-laki itu.
"Iya, maaf."
Alya pun tampak menghela napas sebentar, lalu menganggukkan kepala.
"Iya, iya. Aku maafin. Yang penting sekarang, Abang udah ada kabar dan kekhawatiran aku juga lenyap."
Hening beberapa detik, sepertinya keduanya kini sibuk dengan pikiran masing-masing.
Alya yang tidak ingin kehilangan euforia dalam hatinya. Ia menghela napas sejenak lalu tersenyum.
"Ehm, hidup ini begitu indah ya, Bang. Allah begitu baik kepadaku. Akhirnya semua cita-cita dan harapanku akan segera tercapai. Kemarin aku lulus kuliah dengan nilai terbaik. Ummiku begitu bahagia dan bangga kepadaku. Dan selanjutnya, tinggal harapan besar hatiku yang aku tunggu-tunggu akan segera tiba. Tak lama lagi, kita bisa--"
"Enggak, Dik."
Alya sontak terkesiap saat ucapannya dipotong dan Rama mengucapkan sebuah kata penolakan. "Enggak apa maksudnya, Bang?"
"Enggak semua harapan dan rencana kita diwujudkan oleh Allah."
"Kenapa begitu? Maksudnya gimana, sih? Yang jelas dong, Bang kalau ngomong," cecar Alya yang hatinya tiba-tiba berdebar semakin kencang. Sebab, kegelisahan mulai mendera karena merasa ada yang ganjal.
"Segala takdir yang Allah tentukan untuk hamba-nya adalah terbaik. Namun, bukan berarti takdir yang baik menurut Allah itu sesuai dengan harapan manusia. Karena adakalanya, Allah menentukan takdir tak sesuai dengan keinginan hamba-Nya. Kamu ingat kan hal ini dijelaskan dalam Al Qur'an?"
Alya mengangguk. "Tapi aku lupa ayat berapa. Kalau nggak salah sih suratnya Al Baqoroh, kan?" Alya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan setelah melihat Rama mengangguk.
"Iya, Bener. Ini adalah salah satu ayat favorit Abang. Karena Abang anggap sebagai nasihat berharga dalam menjalani hidup ini. Surat Al Baqoroh ayat 216 yang artinya, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal baik bagi kamu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagi kamu. Dan Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." Rama yang merupakan seorang hafidz Qur'an, dengan lancar membacakan arti ayat tersebut.
"Kita harus bisa selalu berusaha menjaga hati. Dikala mengharapkan sesuatu dan setelah ikhtiyar, jangan lupa untuk tetap tawakkal 'alallah atas hasilnya. Jaga hati dari harapan yang melambung terlalu tinggi, agar tidak terlalu kecewa jika harapan itu tak menjadi nyata." Rama menoleh, lalu memaksakan senyumnya saat Alya juga membalas tatapannya.
Hanya sebentar saling tatapan itu, karena keduanya langsung kembali memandang langit yang mulai muncul semburat warna jingga.
"I-ya, Bang. Aku paham, kok. Sadar juga ini kalau sedang khilaf. Udah melambungkan harap begitu tinggi atas hubungan kita. Tapi, hati kita udah merasakan hal yang sama. Jadi, kan--" Alya yang sejak tadi mengetuk-ngetukkan jari pada bangku kayu itu, tampak menggingit bibir bawahnya--ragu untuk melanjutkan ucapannya sendiri.
"Ehm, maaf ya, Dik. Aku nggak bisa lama-lama di sini, karena ada urusan penting setelah ini. Aku kemari mengajak kamu ketemuan, mau ngasih ini ke kamu. Sekali lagi maafin aku, Dik. Aku harus buru-buru jalan, semoga kamu selalu dalam kebahagiaan dan rida Allah. Assalamualaikum." Setelah sebuah amplop berwarna coklat yang ia sodorkan diterima Alya. Rama pun langsung bangkit dan berlalu dari hadapan gadis itu.
Alya tertegun, menatap Rama yang tergesa-gesa meninggalkannya sendiri. Matanya enggan berkedip, menatap punggung laki-laki itu semakin menjauh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top