Bukan Anak Haram 9


Hari sudah senja, dan Tristan masih setia di balik meja kerja menatap kosong pada layar tujuh belas inci di depannya. Pesan dari Wigati membuat dia memutuskan untuk menunda kepulangannya. Tantenya itu meyakinkan bahwa Renjani adalah benar-benar saudara sedarahnya. 

[Ceraikan segera Renjani, tapi kamu jangan pernah bilang alasannya kenapa. Itu akan membuat kamu dan mamamu lebih baik!]

[Kamu akan membuat mamamu lebih hancur hatinya jika sampai papamu dan Renjani tahu alasannya.]

Dia tak membalas pesan itu, Tristan membiarkan ponselnya tergeletak di meja, bahkan saat panggilan dari Renjani masuk. Mata pria itu terlihat berkaca-kaca, bibirnya bergetar dan rahangnya mengeras.

"Renjani." Tristan mengepalkan kedua tangan.

 Berulangkali dia mengusap kasar wajahnya. Selaksa luka telah demikian mengoyak hatinya. Dadanya terasa diiris tanpa jeda menyadari betapa cinta yang sangat itu harus tercabut karena sebuah hubungan yang diperbuat oleh papanya.

"Kenapa harus kita, Sayang. Kenapa harus aku, kenapa harus kamu!" pekiknya tertahan sembari memukul meja.

"Lalu apa yang harus aku katakan padanya, Tuhan? Apa yang aku harus sampaikan agar dia tidak terluka?"

Dia memijit pelipis, sembari mencoba mengatur emosi dan napas yang memburu.

"Semua ini membuat aku gila!" umpatnya lagi-lagi memukul meja.

"Pak Tristan, permisi, apa Bapak baik-baik saja?" Suara Fahmi security kantor terdengar di depan pintu. Pria berbaju biru gelap itu tak berhenti mengetuk karena khawatir.

"Saya baik-baik saja, Fahmi. Eum ... sebentar saya keluar. Saya cuma sedang ingin sendiri."

"Baik, Pak. Kalau bapak butuh sesuatu Bapak bisa panggil saya."

Tristan tak menyahut, pria itu menyandarkan kepalanya di kursi. Bayangan senyum Renjani menari di kepalanya. Suara manja perempuan itu memenuhi telinganya. Aroma segar cherry khas Renjani menguar di indra penciumannya menciptakan kerinduan yang demikian dalam. 

Semua tentang Renjani akan perlahan mau tidak mau suka tidak suka harus dia lepaskan. Meski hati dan otaknya keras menolak. Tristan semakin tenggelam dalam kebimbangan yang tak berujung. 

Sementara di luar, mentari sudah benar-benar tenggelam, langit sudah berwarna gelap, tetapi pria berkembang putih itu masih terpekur di kursi empuknya dengan mata menerawang.

**

Gelisah karena teleponnya tak juga diangkat, Renjani bergegas menukar pakaian tipisnya. Sedianya dia akan memberi kejutan yang sudah dia atur sedemikian rupa agar sang suami tidak lagi merasa tak berguna di ranjang. 

Semenjak kegagalan beberapa malam terakhir, dia merasa Tristan memang butuh sesuatu yang baru dan itu semua dia pelajari dari artikel di internet.

Setelah merapikan rambut dan memoles bibirnya dengan warna peach, Renjani meninggalkan rumah menuju kantor sang suami dengan mengendarai mobil sendiri. 

Sepanjang perjalanan hatinya cemas, karena menurut Hendro, security yang bertugas mengatakan bahwa semua karyawan sudah pulang dan kantor sudah sepi. Akan tetapi, menurut keterangan Fahmi security lainnya mengatakan jika Tristan masih ada di ruangannya dan sedang tidak ingin diganggu.

"Kamu kenapa sih, Mas?" gumamnya sambil terus mengemudi.

**

"Kamu bilang dia sudah menikah, apa kamu tahu di mana dia tinggal sekarang?" tanya Rahayu ibu dari Savitri.

Malam itu, Savitri dan Rahayu baru saja selesai makan malam di kediaman mereka.

"Nggak, Mi. Savitri masih belum tahu, tapi secepatnya pasti tahu."

Rahayu menyungging senyum, mata tuanya terlihat bahagia meski ada ragu di hatinya.

"Kamu nggak pernah ketemu Hasim?" 

Pertanyaan sang mami membuatnya menoleh.

"Nggak, dan Savitri tidak pernah berharap untuk bertemu lagi."

"Tapi, apa kira-kira Hasim tahu soal anaknya?"

Mama dari Renjani itu menggeleng lagi. Mana mungkin Hasim tahu jika anaknya masih hidup? Karena terakhir mere saling menelepon, Savitri mengatakan jika anak yang dikandung telah meninggal dunia.

"Dia nggak mungkin tahu karena ...."

"Karena apa?"

"Karena yang dia tahu jika anaknya sudah meninggal." 

Mata Rahayu membulat.

"Kamu bilang kalau anakmu sudah meninggal? Kenapa, Savitri?"

"Itu akan lebih baik baginya daripada mereka tahu jika anakku baik-baik saja." Dia menarik napas dalam-dalam. Peristiwa silam yang cukup membuat hati dan dirinya berantakan kembali muncul satu per satu bak slide dalam film.

"Lagian, bukannya Papi dulu juga tidak pernah menginginkan anak Savitri?" sindirnya lirih.

Rahayu meletakkan gelas yang sudah kosong di meja. Apa yang diucapkan putrinya benar. Handoko memang sangat keras kepala. Dia tak ingin keluarganya tampak buruk di mata publik, apa pun alasannya. Hal itulah yang membuat almarhum suaminya dulu begitu menentang kehamilan Savitri, terlebih saat tahu siapa nama belakang suami putrinya. 

"Kamu tidak perlu sibuk mengurus perceraian! Papi yang akan mengurus semuanya!" Demikian ucapan Handoko saat memberikan ultimatum pada Savitri.

Mengingat itu, Rahayu meraih tangan sang putri dan menggenggamnya erat.

"Mami tahu kalau kamu sangat tersakiti waktu itu, tapi kamu tahu, 'kan? Kalau Mami tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan papimu, ya."

"Lagipula, saat menjelang ajalnya, Papi sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya" imbuh Rahayu.

"Iya, Ma. Dan cerita usang itu akan Savitri bungkus dan menggantinya dengan cerita baru yang indah untuk Renjani, anak Savitri."

"Dan cucu Mami," sambung Rahayu dengan bibir melebar.

**

Pelan Renjani mengetuk pintu ruangan Tristan. Sengaja dia meminta agar Fahmi dan Hendro tidak memberitahukan kedatangannya kepada sang suami.

"Mas Tristan?" panggilnya sembari mengetuk pintu, tapi tidak ada sahutan dari dalam. "Mas, aku buka pintunya, ya."

Tanpa menunggu jawaban, Renjani memutar kenop pintu lalu perlahan masuk. Matanya menangkap sosok sang suami yang terbaring di sofa dengan mata terpejam. Masih dengan sangat hati-hati, dia menutup kembali pintu dan melangkah mendekat.

"Mas Tristan?" gumamnya lirih khawatir membangunkan sang suami. "Mas kenapa, sih? Kenapa Mas jadi berbeda?" bisiknya sembari duduk di depan sofa tempat Tristan terlelap.

Renjani menarik napas dalam-dalam, dengan penuh kelembutan dia mengusap kening suaminya.

"Mas?"

Perlahan mata Tristan terbuka. 

"Renjani?" Dia berusaha bangkit dari rebah, tapi dicegah oleh sang istri.

"Mas kelelahan?"

"Nggak." Tristan mengusap wajah. "Maaf, ya. Aku ketiduran," imbuhnya.

"Mas nggak angkat teleponku, Mas juga nggak balas pesanku. Mas tahu itu semua membuatku khawatir."

"Maaf, Sayang." Dia mengusap puncak kepala Renjani lalu beranjak duduk. "Sini, duduk di sini!" titahnya menepuk ruang kosong di samping.

"Mas kenapa sih? Aku nggak ngerti kenapa Mas jadi beda." Perempuan yang mengenakan blouse putih itu bersandar manja di bahu Tristan.

"Aku cuma lagi banyak kerjaan. Aku nggak kenapa-kenapa. Jangan khawatir."

"Mas."

"Heum?"

"Apa Mas Tristan menyembunyikan sesuatu?"

Pria itu terdiam sejenak lalu menggeleng.

"Mas yakin?"

"Iya."

Meski jawaban yang didengar menunjukkan jika memang tidak ada yang disembunyikan darinya, tetapi tetap saja Renjani merasa Tristan tidak jujur. Karena semenjak kepulangan sang suami dari rumah Mayang beberapa waktu lalu, suaminya memang menjadi sangat berbeda hingga detik ini. Hal tersebut yang ingin diketahui olehnya.

"Apa yang dikatakan Mama Mayang padamu, Mas?"

Tristan menoleh sembari menyipitkan mata.

"Mama? Mama nggak bicara apa-apa. Kenapa?"

"Maaf, Mas, bukannya aku mau tahu urusan Mama dan kamu, tapi semenjak Mas dari rumah Mama waktu itu, Mas jadi lebih sering melamun dan berubah."

"Katakan, ada apa, Mas. Apa ada hubungannya dengan aku? Latar belakang aku?"

**

Semoga kisah ini masih menarik untuk dinikmati teman-teman.

Terima kasih sudah berkunjung ke lapakku. Salam hangat 🖤




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top