Bukan Anak Haram 8
Ternyata tak hanya malam itu Tristan gagal menjalankan kewajibannya sebagai suami, tetapi setelah dia coba di beberapa malam selanjutnya, tetap saja pernyataan sang mama selalu mengusik pikirannya. Bisa ditebak, sejak itu Tristan jadi sering uring-uringan bahkan dia menjadi jarang tidur karena merasa terganggu dan bersalah. Sejak itu pula pekerjaannya banyak yang terganggu.
Siang itu dia memutuskan untuk ke rumah mamanya untuk kembali memastikan apa yang pernah disampaikan sang mama padanya.
"Kamu tidak perlu bukti, karena Mama sudah punya cukup bukti untuk itu!"
"Tapi Tristan harus tahu, Ma! Tristan harus bisa menjelaskan ini semua kepada Renjani."
Pria yang memiliki rahang kokoh itu terlihat kusut tak seperti biasanya.
"Papa, Tristan harus bertemu Papa!"
"Nggak perlu! Papamu tidak boleh tahu kalau anaknya ada di sekitar dia!"
"Kenapa, Ma? Kenapa nggak perlu? Kalau memang Renjani anak Papa, bukankah itu akan baik buat dia dan buat Papa?"
"Tidak ada yang lebih baik selain menyembunyikannya, Tristan! Ini demi kebaikanmu!" sentak Mayang.
Putranya itu membuang napas kasar, parasnya terlihat sangat frustrasi.
"Ma, Tristan mau dengar yang terjadi sesungguhnya! Kalau Mama tidak mau menjelaskan, selamanya Tristan tidak aka pernah mengikuti anjuran Mama!" tegasnya.
"Ibu dari perempuan itu telah merebut papamu! Dia yang menyebabkan papamu berselingkuh dan hampir meninggalkan Mama!" jelas Mayang dengan mata menerawang, tetapi jelas terlihat kebencian dari setiap kalimat yang dia tuturkan.
Tristan memindai intens Mayang. Dari raut wajahnya tampak masih tak percaya dengan penjelasan tersebut.
"Papa selingkuh? Pria sebaik Papa selingkuh hingga memiliki anak?"
"Kamu harus tahu, bahwa kebaikan seseorang itu tidak hanya bisa dilihat hari ini. Ada banyak cerita di belakangnya yang bisa saja tidak pernah ada dalam pikiranmu!"
Tristan menggeleng masih mencoba meyakinkan bahwa Renjani bukan anak dari papanya.
"Lalu dari mana Mama tahu jika Renjani anak Papa? Dari mana Mama tahu jika Renjani anak dari hasil perselingkuhan Papa?"
Mayang menyandarkan tubuhnya ke sofa, sambil melipat kedua tangannya di dada dia berkata, "Latar belakangnya yang tidak jelas dan wajah yang dimiliki Renjani sangat mirip dengan perempuan itu!"
"Latar belakang, latar belakang! Itu terus yang Mama ungkit. Tristan menikah dengan Renjani karena cinta dan tidak peduli dengan latar belakang, Ma."
"Lalu soal mirip ...." Tristan menaikkan kedua alisnya lalu menggeleng. "Sejak kapan kemiripan dianggap memiliki hubungan darah? Ayolah, Ma! Apa yang Mama ungkap ini benar-benar sudah membuat Tristan tidak bisa bekerja dengan baik."
"Tristan! Dengar Mama! Tantemu, dia sudah menelusuri hal itu. Dia juga sudah mengorek keterangan dari orang-orang yang pernah dekat dengan ibu angkat istrimu, dan jawabannya hampir bisa dipastikan kalau dia adalah saudara sedarahmu! Dia anak papamu!"
"Ma! Nggak! Tristan nggak percaya!"
"Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa selidiki sendiri! Tapi harus kamu ingat! Sebaiknya kamu segera menceraikan Renjani. Karena selain Mama tidak sudi bermenantu anak haram, Mama juga tidak sudi ada keturunan Mama yang memiliki darah seorang perempuan murahan seperti Savitri!"
"Savitri?" Dia mendongak menatap Mayang.
"Savitri? Siapa Savitri?"
"Nama perempuan murahan itu!"
Tristan diam, dia mencoba mengingat apakah Renjani pernah menyebut nama itu, tetapi seingat dia, sang istri sama sekali tidak pernah bercerita tentang nama ibunya, karena menurutnya, dia hanya tahu Bu Yani ibu angkatnya.
"Kamu mau ke mana?" Mayang menatap sang putra yang beranjak dari duduk.
"Pulang."
"Ini masih siang. Kamu nggak balik ke kantor?"
Dia menggeleng cepat.
"Terlalu penat, Ma. Tristan nggak bisa berpikir dan berbuat apa-apa. Masalah internal berat buat Tristan."
"Supaya nggak berat, ceraikan segera! Ingat, pernikahan kalian adalah suatu kesalahan!"
Putranya itu tak menjawab, dia hanya mengedikkan bahu dan melangkah cepat menuju pintu sebelum menguluk salam.
**
"Masuk!" Suara Hasim dari dalam.
Pelan Tristan membuka pintu ruang pribadi sang papa di kantornya.
"Tumben. Duduk!"
Tanpa bicara, dia duduk berseberangan dengan Hasim.
"Ada apa? Oh iya, kemarin klien kita Perusahaan Cakrawala mengatakan kepuasannya atas kerja departemen yang kamu bawahi. Selamat, Tristan! Papa bangga padamu."
"Jadi kamu bisa cek, bakal ada bonus tambahan buatmu dan anak buahmu. Kamu juga bisa ajukan libur untuk bulan madu lagi. Biar Papa bisa segera punya cucu."
"Thanks, Pa. Maaf, tapi ini bukan soal kerjaan." Wajah Tristan tampak tegang.
Alis Hasim saling bertaut. Matanya menyipit memindai sang putra.
"Kalau bukan soal kerjaan ... lalu soal apa?"
Menatap sang putra yang terlihat ragu, Hasim kembali bertanya, "Tristan, katakan! Ada apa?"
"Kamu ribut sama Renjani?" tebaknya.
"Nggak, Pa. Kami baik-baik saja."
"Lalu? Ada apa?"
"Pa, Tristan ingin menanyakan sesuatu, tapi Papa jangan marah dan Papa harus menjawab dengan jujur."
Masih dengan kening berkerut, Hasim mengangguk. "Iya. Katakan! Apa yang ingin kamu tanyakan!"
"Pa." Tristan menarik napas dalam-dalam seperti mencoba mengumpulkan keberanian.
"Ya?"
"Apa Papa pernah ...."
Pertanyaan Tristan menggantung saat pintu diketuk.
"Tristan? Kamu kenapa ada di sini?" Mayang muncul dari balik pintu.
Terlihat jelas kecemasan di wajahnya. Sementara Hasim heran karena Mayang tiba-tiba muncul.
"Mama? Tumben? Biasanya telepon dulu kalau mau ke kantor Papa."
Mayang tersenyum, dia melangkah mendekat setelah menutup pintu.
"Tristan? Kamu ...."
"Nggak apa-apa, Ma. Eum, Pa, Tristan balik ke kantor dulu, nanti aja kita sambung ngobrolnya." Dia bangkit dari duduk lalu tersenyum tipis pada sang mama.
"Loh, Mama datang kok kamu malah pergi?"
"Nggak, Ma. Kebetulan aja barusan Bobi kirim pesan kalau ada hal yang harus diselesaikan. Pa, Tristan balik dulu. Ma," pamitnya yang disambut anggukan oleh kedua orang tuanya.
"Tristan kenapa, Pa?" tanyanya cemas setelah duduk di sofa yang terletak tak jauh dari meja Hasim.
"Nggak tahu, tiba-tiba dia datang dengan wajah serius dan entah, bicara pun nggak selesai tadi."
Sedikit menghela napas lega, Mayang kembali bertanya, "Dia bicara apa?"
Hasim menggeleng, pria paruh baya yang rajin berolahraga itu melangkah lalu duduk di samping sang istri.
"Kan Papa bilang tadi kalau dia belum selesai bicara, cuma yang Papa ingat tadi dia mau tanya sesuatu dan belum sempat pada poin pertanyaan, Mama datang."
Mayang mengangguk samar, dia kemudian tersenyum tipis.
"Pa."
"Hmm?"
Dia terlihat bimbang, ada satu sisi yang sangat dia ingin ungkapkan, tetapi di sisi lain, tentu saja akan banyak peristiwa yang bisa saja terjadi jika dia mengatakan tentang sesuatu yang dia tahu. Terlebih, beberapa waktu lalu Wigati akhirnya bisa menemukan seseorang yang bernama Airin Asriyani.
Perempuan yang menurut informasi dari pengurus panti asuhan adalah seseorang yang datang dan mencari Renjani. Waktu itu, Wigati mendesak agar dia bisa bertemu dengan Airin. Dari pertemuan itu, makin jelaslah identitas sebenarnya Renjani.
"Ma? Mama? Kok malah ngelamun?"
"Eh, nggak kok, Pa, cuma Mama merasa ada hal yang buruk pada pernikahan anak kita."
"Maksud kamu?"
"Iya, Tristan, belakangan ini dia sering murung."
Hasim bersandar sembari tersenyum.
"Wajar, Ma. Namanya juga mereka itu dia individu yang berbeda. Kalau ada selisih paham atau ketidaksamaan dalam berpendapat, itu wajar. Kita juga begitu, 'kan? Lagipula, mereka itu barusan berumahtangga."
"Iya, Mama tahu, tapi di mana-mana kalau pernikahan masih hitungan bulan itu pasti masih seneng-senengnya, Pa," tangkis Mayang.
"Ya emang kenapa? Tadi Papa tanya soal rumah tangganya, Tristan bilang mereka baik-baik aja, kok!"
"Sudahlah, Ma. Sudah, urusan mereka biar jadi urusan mereka. Baik Renjani maupun Tristan mereka udah pada dewasa jadi biarkan mereka selesaikan, dan yang lebih penting, hubungan mereka didasari cinta, bukan?"
Mayang mengatupkan bibirnya. Bicara soal cinta, Hasim memang memiliki rasa cinta yang kuat pada Savitri, meski pria itu akhirnya menikahinya.
Masih teringat lekat bagaimana akhirnya Hasim memutuskan untuk kembali padanya kala itu. Andai Wigati tidak ikut andil dalam masalahnya, mungkin kini dirinya sudah kesepian tanpa Tristan dan Hasim.
**
Yang punya KBM App, bisa baca sampai bab 11 yaa. Terima kasih 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top