Bukan Anak Haram 6
Menghabiskan waktu bersama orang terkasih adalah kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan apa pun. Kedatangan Tristan setelah satu pekan di Makassar membuat dua sejoli itu seakan ingin menebus waktu yang hilang.
Seperti pagi itu setelah mereka menikmati keintiman semalam, Tristan tampak menikmati makan paginya.
Renjani memang tidak piawai di dapur, tetapi Jiak hanya membuat sandwich atau sekadar ayam goreng bukan hal yang sulit baginya. Terlebih sang suami bukan tipe pria yang rewel soal makanan. Apa yang disediakan, itulah yang dinikmati.
"Hari ini ada jadwal apa, Sayang?"
"Oh, nggak ada, cuma ada klien yang mau ketemu di restoran Asri siang nanti."
"Klien?"
"Iya, sebenarnya itu memang tugas Axel, tapi dia berhalangan hadir. Kamu nggak apa-apa, 'kan?"
"Nggak apa-apa, tapi kliennya laki-laki atau perempuan?" Tristan mengusap bibirnya dengan tisu saat selesai menghabiskan sandwichnya.
"Perempuan, Mas. Emang kenapa kalau laki-laki?" tanya Renjani dengan mata menggoda.
"Kalau laki-laki aku bisa gantikan tugas Axel."
Penuturan sang suami membuat Renjani terkekeh.
"Oh iya, aku nanti sepertinya pulang agak terlambat."
"Terlambat? Kenapa? Ada meeting atau ...."
"Iya, meeting, tapi sama Mama."
Dahi Renjani berkerut menunggu penjelasan suaminya.
"Mama minta aku mampir setelah pulang kerja," jelasnya.
"Oh, oke. Nggak apa-apa, aku bisa menunggu kamu untuk makan malam, kok. Kan rencananya aku mau masak buat kita makan malam."
"Emang kamu mau masak apa? Bisa?" Tristan meledek.
"Ih, bisa dong! Kemarin waktu Mas Tristan ke Makassar, aku belajar masak bareng Ria!"
Bibir pria itu membulat sembari mengangguk dia berkata, "Oke , aku mau buktikan. Pasti enak!"
"Sebaiknya jangan terlalu yakin," ungkap Renjani sembari memamerkan deretan gigi putihnya. "Karena aku masih belajar."
"Aku akan selalu yakin karena kamu istriku."
Ucapan Tristan membuat pipi Renjani merona.
"Thank you, Mas. Kamu benar-benar paling bisa membuatku happy," ujarnya sembari menyematkan kecupan di kening sang suami.
"Sure! Janjiku itu, dan tolong jangan pancing aku dengan kancing baju yang terbuka itu. Nanti aku akan cancel semua meeting gara-gara kamu!"
"Ih, Mas Tristan!" Renjani segera memegang bajunya yang memang kancingnya belum sempurna dia sematkan.
**
Mayang menatap ragu pada putranya. Keputusan yang dia buat sudah bulat. Dia tak mungkin membiarkan jejak masa lalu itu datang masuk ke dalam keluarganya. Setelah sedemikian rupa dia menghalau kehadiran Savitri, kini mana mungkin dia memasukkan keturunan perempuan itu yang kelak mungkin akan melahirkan cucunya.
"Kenapa, Ma? Kenapa Mama tegang begitu? Papa mana?" Tristan melonggarkan dasinya sembari bersandar.
"Mama mau bicara serius. Papamu ke luar kota. Malam nanti baru tiba."
"Oke, ada apa?"
"Kamu harus bercerai!"
Mata Tristan membulat. Dengan dahi berkerut dia menggeleng.
"Mama bicara apa? Jangan becanda, Ma."
"Mama nggak bercanda, Tristan. Seperti yang Mama bilang tadi, kalau Mama serius. Bahkan sangat serius!"
"Ma! Apa-apaan ini? Kenapa Tristan harus bercerai? Kenapa? Seserius apa, Ma?"
"Kamu nggak akan paham. Mama hanya minta kamu ceraikan istrimu!"
Suami Renjani itu terlihat mulai meradang. Wajahnya merah dengan rahang mengeras, sementara kedua tangannya mengepal erat.
"Nggak, Ma! Nggak!" Dia bangkit bermaksud hendak pergi.
"Tunggu, Tristan! Dengar penjelasan Mama!"
"Nggak, Ma! Apa pun alasan Tristan tidak akan pernah bercerai dengan Renjani!"
"Tristan, dengarkan dulu mamamu!" Wigati muncul dari dalam.
"Tante?"
"Duduklah!" titah Wigati.
Tak ada pilihan baginya selain mengikuti perintah.
"Kamu harus mendengarkan alasannya," imbuh tantenya.
Mayang terlihat menarik napas dalam-dalam seolah ingin mengumpulkan keberanian untuk mengungkap hal yang terjadi.
"Kamu nggak boleh meneruskan pernikahan itu karena ...."
"Karena apa, Ma? Karena latar belakang Renjani yang masih Mama korek-korek dan ungkit-ungkit itu?" sela Tristan dengan wajah kecewa bercampur marah. "Sudahlah, Ma. Yang menikah itu Tristan. Tristan yang memilih Renjani, jadi apa pun latar belakang dia, Tristan tak peduli. Tristan sayang dia, Tristan cinta Renjani, Ma!"
"Bagaimana kalau dia ternyata adikmu?" sergah Wigati dengan mata menatap tajam.
"What? Adik?" Tristan menggeleng cepat. "Sandiwara apa ini? Lelucon apa yang sedang Tante dan Mama mainkan? Apa-apaan ini!" Suaranya meninggi.
"Tidak ada lelucon! Dan ini bukan sandiwara, Tristan! Itulah yang sebenarnya terjadi. Renjani adalah adikmu. Kalian saudara sedarah!" jelas Wigati.
"Nggak! Ini nggak mungkin. Ma, jawab, Ma. Jawab, apa sebenarnya yang terjadi! Kenapa Tante bicara seolah tahu segalanya? Jawab, Ma. Apa yang dikatakan Tante itu bohong, 'kan?"
Wajahnya semakin memerah, tampak bulir keringat mulai muncul di dahinya.
"Mama, kenapa Mama diam? Ini semua hanya lelucon, 'kan?
"Benar, Tristan! Dia saudara sedarah. Renjani itu adikmu! Dia anak papamu dari perempuan yang hampir menghancurkan rumah tangga Mama dan Papa!"
Tristan membeku. Mendadak lidahnya Kelu dan tubuh seperti tak bisa digerakkan tatkala mendengar penuturan Mayang.
"Itulah sebabnya mengapa Mama ingin kamu berpisah secepatnya dengan istrimu!"
Pria itu tak menjawab, dia hanya menggeleng sembari memijit pelipis.
"Kamu tahu seperti apa jadinya kalau kamu tidak melepaskan dia, 'kan?" Kembali Mayang melanjutkan ucapannya. "Ceraikan secepatnya! Sebelum papamu tahu soal ini!"
Mata Tristan menelisik paras mamanya kemudian beralih ke Wigati.
"Papa belum tahu? Lalu kenapa Mama tidak mengatakan ini kepada Papa? Ada apa ini? Kenapa merahasiakan soal ini?"
"Papamu akan tahu nanti. Sekarang kamu harus berpisah dengan Renjani. Itu yang paling penting sekarang!" terang Mayang.
Tristan menggeleng, dia bangkit perlahan.
"Hentikan semua omong kosong ini, Ma. Please, Tante, jangan ikut campur dalam masalah ini. Dan kalau Mama juga Tante menganggap Tristan percaya dengan sandiwara ini." Dia menggeleng, "kalian salah. Tristan nggak percaya!"
Dengan langkah lebar, dia pergi meninggalkan Mayang dan Wigati yang masih duduk menatap kepergian Tristan.
"Mayang, apa tidak sebaiknya kamu langsung bicara ke Renjani? Sebab kalau Tristan, aku yakin dia masih keras kepala soal itu. Aku yakin dia masih akan sulit untuk percaya."
Mayang menggeleng.
"Aku yakin anak itu akan menanggapi sama dengan Tristan. Cuma satu jalan yang paling bisa kita lakukan agar anakku menceraikan perempuan itu."
"Apa?"
"Dia harus dibuat seolah-olah mempermainkan cinta Tristan!"
"Maksud kamu?" Wigati menatap penasaran.
"Bikin Renjani seolah-olah selingkuh!"
"Apa itu tidak terlalu jauh?"
"Hanya dengan itu Tristan akan lebih mudah melepas Renjani. Aku yakin itu!"
Wigati mengangguk samar.
"Aku kurang setuju, tapi kalau memang tidak ada jalan lain, ya mau bagaimana lagi."
"Aku tahu seperti apa anakku."
Sejenak ruangan itu hening.
"Aku tidak akan membiarkan ada keturunan Savitri di dalam keluargaku! Aku benci perempuan itu! Kenapa dia dulu tidak mati saja!"
"Mayang! Jaga ucapanmu!"
"Aku benci dia, Wigati! Dia yang membuat aku hampir mati karena Hasim begitu memujanya! Aku benci!" Mayang histeris.
**
Fyi, di KBM App udah di bab 9 ya.
Terima kasih 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top