Bukan Anak Haram 5
Konon, menunggu adalah hal yang membosankan, tetapi tidak bagi Renjani. Menunggu kedatangan sang suami adalah hal luar biasa baginya. Seolah ingin membuat kejutan, dia menghias rumah sedemikian rupa agar tampak menyenangkan saat Tristan pulang.
Menurut rencana besok sore suaminya itu tiba. Selain kondisi rumah, dia pun menyiapkan diri agar terlihat cantik di mata pria yang dicintainya itu.
"Please, deh, Jani, udah berapa kali kamu rapikan gorden itu," protes Dia, rekannya saat dia bekerja satu kantor dengan Tristan.
Renjani tertawa kecil, lalu melangkah dan duduk di sofa tepat di samping Ria.
"Serius, Renjani, aku ikut bahagia dengan apa yang sudah kamu genggam sekarang!"
"Thanks, Ria," tuturnya lalu meneguk air mineral dingin.
"Aku nggak nyangka apa yang aku sempat cemaskan dulu tidak terbuka, karena mereka sangat menerimamu."
"Iya, Ria, tapi ... tapi aku ngerasa Mama Mayang tidak begitu nyaman dengan kondisiku, dan adiknya, Tante Wigati ... entah kenapa aku merasa ada yang ingin mereka ketahui lebih."
Kening Ria berkerut. Sambil memiringkan tubuh, dia bertanya, "ingin mengetahui lebih? Apa yang mereka ingin tahu?"
Renjani menggaruk alisnya lalu menggeleng.
"Aku nggak tahu, tapi kamu bisa paham, 'kan? Bagaimana cara memandang orang lain saat dia sedang mencari tahu tentang kamu."
"Dan itu aku rasakan saat Tante Wigati menatapku, Ria."
Ria menarik napas dalam-dalam.
"Ya jelas dia menatap kamu seperti itu, karena dia bari lihat kamu, dia ingin tahu banyak tentang kamu, ya menurutku itu wajar, sih."
"Bukan itu maksudku, Ria."
"Lalu?"
"Cara dia menatap, Ria, seperti ...." Renjani menggantung kalimatnya.
"Seperti apa?"
"Dia mencurigaiku."
Ria tersenyum lebar sembari menggeleng dia meneruskan gigitan apelnya yang masih separuh.
"Aku serius, Ria. Kok kamu malah ketawa!"
"Renjani, apa pun yang mereka pikirkan tentang kamu, itu tidak ada artinya asal kamu dan Tristan tetap saling berpegangan, dan lagipula kamu itu sudah jadi istrinya Tristan. Peduli amat soal tatapan atau apa lah itu yang dipikirkan si tante yang kamu maksud."
Renjani mengangguk pelan.
"Ria."
"Ya?"
"Kamu ingat apa yang pernah aku ceritakan soal masa lalu Papa Hasim, 'kan?"
"Iya, kenapa? Itu bukan urusanmu, Jani! Sebaiknya kamu mikirin gimana caranya biar aku nggak lapar! Dari tadi disuruh makan buah, aku orang Indonesia asli, Jani. Nasi, mana nasi!"
Melihat ekspresi Ria, Renjani tak sanggup menahan tawa.
"Iya, iya. Kita makan, eum ...."
"Aku ngga mau makan mie instan!" potong Ria karena tahu kebiasaan buruk Renjani. Rekannya itu tidak bisa masak, dan satu-satunya keahlian memasaknya adalah memasak mie instan.
"Ih, terus kita makan apa? Delivery aja ya. Ada ayam bakar enak langganan Mas Tristan! Sabar, aku pesenin!"
**
Airin tergopoh-gopoh menghampiri seorang perempuan paruh baya yang tengah duduk menghadap kolam ikan di belakang rumah besarnya. Perempuan yang baru saja tiba dari luar negeri lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu menoleh sejenak.
"Di mana dia? Kamu sudah bertemu?"
"Maaf, Bu, tapi saya kehilangan jejaknya, karena ibu asuhnya meninggal."
Wajah perempuan yang masih terlihat cantik itu menegang.
"Meninggal? Ibu itu meninggal?"
"Sudah lama? Kenapa kamu baru tahu soal ini? Bukannya kamu setiap bulan bertemu dengan ibu itu?"
"Maaf, Bu, tapi memang beberapa bulan belakangan, ibu itu sakit, dan saat sakit saya hanya bisa menitipkan uang itu ke anaknya."
"Anaknya tanya-tanya ke kamu?"
Airin menggeleng seraya berkata, "Dia hanya tanya siapa saya."
"Lalu kamu jawab apa?"
"Saya bilang, saya temannya."
Apa ibu itu sudah lama meninggal?'
"Sudah cukup lama, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Saya dengar kalau dia sudah menikah."
"Menikah?" Savitri membalikkan badan menelisik orang kepercayaannya selama ini.
"Menikah? Anakku sudah menikah?" gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Peristiwa yang tidak mudah itu kembali muncul di kepalanya. Semuanya begitu menyakitkan dan penuh dengan air mata.
Bertemu kembali dengan Hasim dan merenda kisah lama adalah satu kesalahan, meski tidak sepenuhnya salah. Jatuh cinta dengan pria yang memiliki tatapan teduh adalah kebahagiaan sejak dia sama-sama kuliah dahulu. Namun, rupanya ada hari yang demikian nelangsa saat tahu dia dan Hasim menjalin hubungan. Hati seorang perempuan bernama Mayang.
Mayang bukan orang asing baginya, perempuan itu adalah kawan karibnya. Mereka selalu bersama hingga akhirnya Mayang hamil buah cintanya dengan Hasim. Mengetahui itu, Savitri mundur membawa segenap rasa kecewa.
Waktu berlalu, dan Savitri masih belum bisa bangkit dari kecewa dan rasa terpuruk. Tiga tahun berlalu, Hasim kembali muncul mengisi harinya. Tak peduli petuah dari teman dan keluarga, Savitri melewati apa yang disebut tabu. Dia menikah resmi dengan Hasim di sebuah kota kecil kala itu.
Menyadari jika dirinya sudah menjadi istri kedua, Savitri cukup tahu diri. Dia tak meminta lebih. Baginya bersama Hasim adalah kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan apa pun. Meski keluarga besarnya berang dengan keputusan itu.
Namun, perceraian terjadi, karena Savitri diancam, pun demikian dengan Hasim. Mayang mengancam Savitri jika terus bertahan dengan Hasil, sehingga memilih menyelamatkan bayinya, sementara Hasim-pun tak berdaya. Semenjak itu dia memutuskan untuk jauh dari kehidupan mereka.
Dengan perut yang semakin besar, Savitri merawat kehamilannya sendiri, karena dia menolak untuk menggugurkan. Hingga akhirnya dia melahirkan di rumah Airin anak dari asisten rumah tangga papanya.
"Tolong jaga anakku. Aku nggak mungkin membawanya ke rumah papa, karena sudah pasti mereka tidak akan pernah ingin anak ini."
Airin yang usianya lebih muda tiga tahun dengan Savitri itu mengangguk. Kesetiaannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Airin menjalankan apa yang menjadi kewajibannya hingga Renjani menjadi dewasa dan cantik seperti ibunya.
Yani sendiri adalah kawan jauh Airin. Perempuan single itu tidak keberatan dan bahkan menyambut gembira saat bayi Renjani dibawa kepadanya. Mereka kompak membuat cerita jika Renjani ditemukan di sebuah kardus pada pagi buta.
Semua dilakukan karena keluarga Savitri tidak menginginkan bayi itu dan menjaga dari ancaman keji Mayang.
"Aku ajak mengikuti apa yang diinginkan orang tuaku. Nanti setelah dia besar aku akan kembali. Tapi kamu harus carikan orang tua asuh yang baik untuknya."
Kembali Airin mengangguk.
"Masalah biaya, kamu nggak perlu khawatir, berikan nomor rekeningmu. Aku akan mengirimkan biaya anakku setiap bulan!"
Savitri yang masih muda saat itu, pergi kembali ke rumah orang tuanya, lalu oleh sang papa, dia dikirim ke luar negeri untuk kuliah di sana.
"Maaf, jadi apa yang harus saya lakukan?" Suara Airin menyadarkannya dari lamunan.
"Cari info dengan siapa dia menikah dan dari keluarga mana!"
"Baik, Bu. Saya pamit dulu."
"Tunggu, Rin!"
"Namanya masih sama, 'kan? Renjani Anantari?"
"Tentu masih, Bu." Airin menyungging senyum.
"Kalau kamu sudah ketemu, kasi tahu aku. Aku ingin melihatnya dari dekat."
Airin hanya mengangguk lalu kembali berpamitan untuk meninggalkan tempat itu.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top