Bukan Anak Haram 4

Wigati berulangkali menarik napas dalam-dalam, kekhawatiran akan anak Hasim perlahan mulai terkuak. Skandal yang sudah lama terkubur kembali mengusiknya.

Semenjak pernikahan Tristan keponakannya, dia mulai cemas. Terlebih tatkala melihat sendiri paras Renjani. Meski sejak awal Mayang telah mengungkapkan padanya, tetapi dirinya semakin yakin setelah melihat sendiri apa yang dikatakan kakaknya itu.

"Apa kamu yakin?" Mayang menatap gelisah pada perempuan berkacamata hitam di depannya.

"Entah, tapi memang dia mirip dengan perempuan itu, tapi itu bukan jaminan jika menantumu anak dari Savitri."

"Tapi Mayang." Wigati melepas kacamatanya.

Siang itu terasa sangat terik, mereka berdua berada di sebuah kafe kecil di tengah kota.

"Kenapa?" Keningnya berkerut menatap sang adik.

"Kalau hal yang kucurigai benar, apa itu artinya pernikahan mereka harus dibatalkan?"

Mayang bungkam. Ingatannya kembali melayang pada beberapa tahun silam. Perselingkuhan Hasim dengan Savitri adalah masalah yang membuat dirinya hampir mengakhiri hidup.

Bukan hal mudah menjadi istri pria kaya yang dikejar banyak perempuan. Dan bukan hal yang mudah pula baginya kala itu dirinya masih harus sibuk dengan si kecil Tristan yang masih harus mendapatkan perhatian penuh, mengingat setelah lama menikah dia belum juga dikaruniai keturunan.

"Mayang!"

"Eh, iya?"

"Kamu dengar apa yang aku bilang barusan, 'kan?"

Mayang menarik napas dalam-dalam. Wajahnya terlihat muram.

"Dengar aku, kalau memang Renjani itu terbukti anak dari Savitri, itu artinya mereka bersaudara dan mereka tidak boleh menikah!"

"Aku tahu."

"Lalu, kalau sampai itu benar, berarti dia juga berhak memiliki harta suamimu. Harta ayahnya."

Mayang menatap Wigati.

"Ingat, kamu harus ingat kalau mereka bukan selingkuh, tetapi mereka pasangan yang sah. Kamu nggak lupa itu, 'kan?"

Mayang menggeleng pelan. Cerita usang itu kembali terlintas. Pertemuan Hasim dengan Savitri memang membuat benih cinta keduanya kembali bersemi. Mayang kenal baik dengan Savitri karena memang Savitri-lah yang mengenalkan Hasim padanya.

Pesona Hasim dan tentu saja dengan gelimang kekayaan yang dimiliki membuat Mayang ingin memiliki pria itu meski dia tahu baik Savitri maupun Hasim telah menjalin hubungan spesial.

Kilas peristiwa lampau yang kembali menyeruak membuat Mayang bimbang. Perempuan paruh baya itu menarik napas dalam-dalam.

"Aku mau kamu selidiki Renjani. Aku tidak mau semuanya terlambat. Aku tidak rela jika anak itu ada di tengah-tengah keluargaku."

Wigati menaikkan alisnya lalu mengangguk.

"Apakah itu artinya, jika benar terbukti kecurigaan kita, kita harus mengatakan ke Tristan?"

"Jangan! Itu akan menyakitinya. Aku nggak mau Tristan marah dan membenciku."

"Lalu? Kalau memang benar, apa yang harus kita katakan pada Tristan?"

Kali ini wajah Mayang terlihat meradang. Tangannya mengepal. Matanya terlihat memerah.

"Kenapa dia selalu datang mengganggu hidupku? Kenapa mereka tidak enyah bersama mobil itu?"

"Mayang! Hati-hati dengan bicaramu!" sentak Wigati. "Meski peristiwa itu sudah usai, tapi bukan berarti kamu bisa lepas dari masa lalu. Paham?"

Mayang membisu.

"Lagian, kamu terlalu cepat menyetujui keinginan Tristan. Seharusnya kamu bisa lebih waspada dan teliti untuk hal seperti ini. Kamu itu gegabah!" Wigati tampak menyesalkan keputusan yang sudah diambil sang kakak.

"Aku sangat mencintai Tristan. Kamu tahu itu Wigati."

"Iya, tapi itu akan jadi bumerang buat kamu. Dan anehnya kamu selalu dibutakan oleh perasaan!"

Menarik napas dalam-dalam, Mayang meneguk minuman di depannya. Kebahagiaan memiliki Tristan memang membuat dirinya menjadi terasa lebih berharga setelah lama berjuang mendapatkan seorang anak.

"Kamu buat terserah gimana, yang penting mereka pisah."

Wigati memindai kakaknya.

"Tapi kalau ternyata mereka tidak ada hubungan darah?"

"Buktikan saja dulu!"

**

"Heran, masa telepon udah kayak minum obat," ledek Axel saat Renjani baru saja meletakkan ponsel kembali ke tasnya.

Tersenyum tipis, Renjani kembali ke laptop di pangkuannya.

"Tristan itu pencemburu. Iya, 'kan?" Pria beralis tebal itu melangkah mendekat lalu duduk di depannya.

"Kamu lebih tahu seperti apa sepupumu,"jawabnya asal.

Mengedikkan bahu, Axel tertawa kecil.

"Kemarin sebelum berangkat dia sempat pesan ke aku."

"Pesan? Pesan apa?" Renjani mengalihkan pandangannya.

"Dia titip kamu ke aku. Aku diminta agar tidak mengizinkan kamu kerja terlalu sibuk."

Bibir perempuan yang mengenakan blazer cokelat itu melebar. Dia tak percaya suaminya berpesan seperti itu kepada Axel. Karena setahunya, dia sangat cemburu pada anak Wigati itu.

"Axel, Mama minta kamu selidiki latar belakang Renjani."

"Untuk apa, Ma?"

"Ceritanya panjang, kamu ikutin aja apa yang Mama perintahkan!"

"Kenapa Axel?"

"Jangan banyak tanya! Selama Tristan ke Makassar, kamu harus tahu ayah paling tidak punya petunjuk siapa Renjani dan siapa nama ibu kandungnya!"

Axel menarik napas dalam-dalam saat teringat ucapan sang mama.

"Renjani."

"Ya?"

"Aku dengar kamu lulusan terbaik dengan predikat cumlaude?" Dia memajukan tubuhnya dengan tangan di atas paha.

"Well, itu cuma predikat saat kuliah, karena sesungguhnya hidup itu bukan untuk semua predikat yang kita raih."

Axel menaikkan alisnya lalu mengangguk.

"Jadi menurutmu predikat itu tidak ada gunanya?"

"Mungkin ada, tapi bukankah setiap orang berbeda dalam menyikapi apa pun itu?"

"Kalau kamu?"

"I'm happy, ketika bisa memberi kebahagiaan ke orang lain."

"Keluargamu maksudnya?"

Renjani hanya mengangguk, lalu kembali tersenyum.

"Aku salut sih dengan semua yang kamu raih. Aku dengar tentang kamu dari mama, dan Tristan. Jauh sebelum aku tahu kamu, Tristan pernah cerita kalau dia sedang dekat dengan seorang perempuan."

"Dan ternyata perempuan itu kamu, pantas dia selalu antusias kali bercerita tentang kamu," imbuhnya.

Mendengar penuturan Axel, Renjani tertawa kecil. Tristan ternyata sudah sering bercerita tentang dirinya ke Axel.

"Sebagian ceritanya tidak perlu kamu percaya, karena pasti berlebihan." Renjani mengibaskan tangannya sambil tertawa.

"Aku rasa tidak berlebihan, semuanya benar bahkan lebih dari yang diceritakan."

Renjani menggeleng cepat.

"Udah deh! Sekarang coba kamu cek email yang masuk. Sepertinya ada laporan terbaru dari pusat untuk finishing touch resort yang sedang kita tangani."

"Siap, Bos!"

"Ish, Axel! You're the boss here!"

"But you are my boss's wife, Renjani!"

Mereka berdua lalu terkekeh bersama.

**

Wigati menghela napas, setelah melalui pembicaraan yang cukup alot akhirnya adik dari Mayang itu berhasil mendapatkan informasi tentang istri keponakannya itu.

"Jadi dia benar-benar tidak memiliki keluarga?"

"Saya sejauh ini bisa bilang tidak karena memang anak itu hanya memiliki ibu angkat yang bernama Yani. Itu saja. Selebihnya saya kurang tahu."

Ruangan sejenak hening.

"Sebenarnya ada apa ya, Bu? Kenapa belakangan ini ada juga yang mencari Renjani?"

Wigati melepas kacamatanya. Sambil mengernyit dia bertanya, "Memang siapa yang mencari Renjani?"

Perempuan berkerudung itu menjawab, "Seorang perempuan bernama Asri."

"Asri?"

"Iya, Bu. Eum ... apa Ibu kenal?"

Samar dia menggeleng.

"Siapa Asri?" gumamnya masih dengan dahi berkerut.

"Iya, Airin Asriyani."

Masih menggeleng masih dengan dahi yang berkerut.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top