Bukan Anak Haram 3

Dalam hidup adakalanya kita merasa tak ingin beranjak dari rasa bahagia. Rasa indah yang membuncah itu kini dirasakan Renjani. 

Memiliki keluarga baru. Sebuah keluarga utuh yang dia berjanji untuk menjaga kehormatannya. Renjani ingin membuktikan bahwa dirinya adalah perempuan baik yang layak untuk memiliki kebahagiaan meski mungkin sebagian orang memandang dan menilai sebelah mata.

Matahari masih bersembunyi saat tersadar ketika tangan Tristan mendarat di perutnya.  Mendadak Renjani kembali merasa tegang seperti semalam saat pria berhidung mancung itu membawanya kepada puncak bahagia yang berbeda. Masih dengan perasaan tegang, dia mencoba memindahkan tangan kekar tersebut, tetapi rupanya Tristan tersadar dan justru semakin mengeratkan pelukan.

"Mau ke mana?" Suara seraknya terdengar dengan mata terpejam.

"Ke kamar mandi. Ini sudah pagi, Mas."

"Kenapa kalau pagi? Kamu tahu sekarang kita sedang apa, 'kan?" 

Kutarik napas perlahan. Aroma pantai masuk dari sela-sela ventilasi, suara ombak menyapa seakan mengundang untuk hadir dan merayakan kebahagiaan bersama.

"Kita jalan ke luar, yuk, Mas. Eum ... Mas nggak lapar? Kita cari makan di luar yuk!" Renjani mencoba merayunya.

"No, Dear! Aku mau hari ini kita di kamar sampai besok. Makan tinggal pesan, nanti mereka yang kirim. Please." Tristan masih pada posisi semula.

"Lagi pula, kita di sini masih lama, dan ... aku masih belum bisa melupakan yang semalam."

Mata Renjani membulat. Dia menoleh menatap pria yang masih enggan  membuka mata. Tristan masih belum mengenakan pakaian dan tentu saja hal serupa terjadi padanya.

"Kenapa? Mau sekarang?"

"Mas Tristan!"

Tristan terkekeh geli, tanpa aba-aba dia kembali melakukan hal yang semalam mereka nikmati bersama, meski tentu saja kali ini Renjani sudah mulai terbiasa dan belajar agar dia lebih bahagia.

**

Menikmati menjadi istri seorang pewaris perusahaan property dan jasa transportasi bagi sebagian perempuan pasti bahagia, tetapi rupanya Renjani tak ingin seperti itu. Meskipun Tristan melarang  bekerja, dia tetap ingin memiliki hasil dari keringatnya.

"Kamu nggak mungkin jadi asistenku di kantor seperti dulu, Sayang."

"Kamu itu, asisten pribadiku khusus. Di mana pun!" Dia memainkan alis menatap sang istri.

Tersenyum, lalu menarik napas dalam-dalam dia menyodorkan sarapan untuk Tristan.

Ini adalah hari pertama setelah mereka selesai berbulan madu selama hampir dua pekan. Mereka tidak hanya menghabiskan waktu di satu resort, tetapi kami berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurutnya dengan berpindah tempat, ada banyak hal yang bisa dia dapat, termasuk menikmati bulan madu dengan sebaik-baiknya berdua.

"Sebuah survei menemukan, faktor kebaruan memberi pengalaman seks yang lebih menyenangkan. Penelitian lain juga menunjukkan tubuh melepaskan dopamin ketika berhubungan intim di tempat dengan suasana berbeda, termasuk di motel atau hotel," ucapnya kala itu.

"Ya meskipun aku yakin aku tidak akan pernah bosan jika bersamamu," godanya yang selalu  membuat Renjani merasa dicintai.

"Sayang? Kok malah melamun? Kamu emang mau kerja di mana sih?" Suaranya menyudahi ingatan tentang bulan madu.

"Terserah, Mas Tristan, tapi ... aku ingin mengaplikasikan ilmu yang aku punya, Mas. Biar bagaimanapun aku cumlaude di jurusan publik relation."

Dia tampak tersenyum lebar lalu mengangguk.

"Oke, nanti aku carikan tempat yang pas untuk kamu. Atau ...."

"Atau apa?" tanya Renjani cepat.

"Semangat banget," ledeknya.

Perempuan yang mengenakan baju rumah tanpa lengan itu hanya tersenyum tipis karena memang benar-benar ingin menunjukkan jika dia punya kemampuan sendiri dan bukan hanya menunggu suami memberi meski memang itu adalah kewajibannya.

Tristan lalu menceritakan jika perusahaan mereka telah menandatangani kesepakatan dengan investor lokal untuk pengembangan resort dan tempat wisata.

"Mungkin kamu bisa menangani di sana, tapi ...."

"Tapi?"

"Aku nggak mau kamu terlalu sibuk, karena aku izinkan kamu kerja bukan untuk kerja. Paham?" Dia memainkan jarinya saat bicara tentang kerja.

"Kamu hanya mengaplikasikan ilmu, karena kamu nggak akan kekurangan apa pun siap materi. Kamu istriku, Renjani."

"Iya, Mas. Aku paham."

**

Bahagia! Itu saja yang kini ada dalam hidup Renjani. Memiliki suami baik, memberikan kenyamanan dan semua yang diinginkan adalah hal yang dulu selalu diimpikan. Hanya saja tentu tidak semua jalan lurus tanpa kelokan. 

Mertuanya, terutama Mayang, dia masih sering berubah sikap. Sekali waktu sangat hangat, tetapi di lain waktu dia begitu dingin. Akan tetapi, dia  terus berusaha mengabaikan dengan terus berbuat baik.

Seperti beberapa waktu lalu saat itu Renjani dan Tristan ke rumahnya. Ada kebiasaan di keluarga besar tersebut, mereka akan berkumpul rutin berkumpul dua pekan sekali di rumah Hasim untuk sekadar menghabiskan Sabtu malam dengan makan-makan.

"Renjani."

"Iya, Ma?"

"Mama dengar kamu pernah tinggal di panti asuhan?"

Renjani bergeming. Meski sudah diterima dalam keluarga besar, tetapi dia sudah menduga, hal tersebut akan terus dikulik hingga entah sampai kapan. 

"Iya, Ma, tapi sebentar, bukan tinggal, Ma, lebih tepatnya waktu itu ibu angkat saya sakit keras dan akhirnya meninggal, saya dianjurkan untuk menenangkan diri di panti asuhan. Karena  Pak Bagus khawatir kalau saya sendirian di rumah, jadi saran Pak RT saya tinggal di panti asuhan sebentar."

Mayang mengangguk, dia lalu menoleh ke samping. Ada seorang perempuan yang sejak tadi mengamatinya Perempuan itu tersenyum tipis sembari mengangguk.

"Ini Tante Wigati, dia tantenya Tristan yang waktu kalian menikah nggak datang, dan baru bisa datang malam ini."

Renjani mengangguk lalu menjabat tangannya. Dari tatapan perempuan yang terlihat hampir seumuran dengan Mayang itu, dia merasa ada sesuatu yang sangat ingin dia ketahui.

"Siapa nama ibu angkatmu, Renjani?"

"Ibu Yani, Tante."

"Yani ... lalu nama panti asuhan tempat kamu tinggal sementara itu apa?"

"Panti Asuhan Kasih Bunda."

"Dekat dengan rumah?"

"Iya, Tante. Kebetulan ibu angkat saya kenal baik dengan pemiliknya."

Mengangguk, Wigati meneguk minuman sari lemon di hadapannya.

"Ya sudah, lain kali kita bicara lagi, Renjani. Kamu bisa kembali ke suamimu!" Mayang menatapnya sembari memberi isyarat agar menjauh dari tempat itu.

**

Renjani masih dalam dekap Tristan setelah mereka melepas hasrat. Terhitung hampir tiga pekan dia sudah kembali bekerja. Bertemu kembali dengan orang-orang yang penuh harapan, saling bertukar pikiran dan ide adalah hal menyenangkan buatku. Meski begitu, tentu dia tidak lupa posisi. Tristan memberi kebebasan buat sang istri untuk memilih dalam satu pekan kapan harus berada di kantor dan kapan berada di rumah. 

"Buat kamu tiga hari kerja aja sudah cukup, selebihnya kami bisa handle dari rumah, karena aku nggak mau kamu lelah dan itu bisa menunda keinginanku untuk punya anak," ucapnya saat berdiskusi tentang hari kerja untuk Renjani.

Akhirnya dia setuju, dan Renjani bersyukur sampai hari ini tidak ada hambatan atau apa pun yang perlu dikhawatirkan.

"Renjani." Tristan memiringkan tubuhnya. 

"Iya, Mas?"

"Kamu nggak apa-apa, 'kan aku tinggal satu pekan ke Makassar?" 

"Nggak apa-apa, Mas. Kan kita bisa video call, iya, 'kan?"

"Harusnya kamu ikut, Sayang, tapi kata Papa proyek yang sedang kamu tangani sangat membutuhkanmu."

Renjani mengangguk. Ini adalah pertama kalinya mereka akan berjauhan. Selama menjalin hubungan dengan Tristan, dia sama sekali tidak pernah ditinggalkan jauh. Sehingga ada yang berbeda saat hal itu akan terjadi meski berat, tetapi biar bagaimanapun Tristan harus menyelesaikan pekerjaannya.

"Tapi aku coba lebih cepat dari itu. Tiga hari mungkin."

Menghela napas dalam-dalam Renjani menyentuh lembut pipi suaminya.

"Aku akan bahagia kalau kamu bisa pulang lebih cepat, tapi biar bagaimanapun, itu adalah pekerjaanmu, jadi selesaikan dengan baik, itu akan lebih membuatku bahagia, jangan lupa, papamu, beliau pasti akan bangga jika perusahaannya bisa memenangkan tender kali ini."

"Aku hanya tidak yakin."

"Tidak yakin?"

"Iya, aku khawatir."

"Khawatir kenapa?"

"Axel."

"Axel? Axel sepupumu, anak dari Tante Wigati?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Beberapa kali dia kulihat menatapmu dengan tatapan tak biasa, dan itu membuat aku cemburu!" Penuturan Tristan membuat dahi Renjani berkerut.

Sambil tertawa dia bertanya, "Tatapan yang seperti apa sih? Lagian dia memang sedang mendengarkan penjelasanku, dan kita satu tim, Sayang."

Tristan seperti tak mendengar ucapan itu, terlihat di matanya keresahan.

"Kamu tidak tahu apa yang pria pikirkan kalau dia sedang menatap seperti yang Axel lakukan, Renjani."

Tristan cemburu dan tentu itu membuat Renjani bahagia sekaligus khawatir. Bagaimana tidak, Axel yang menurut ceritanya, adalah teman sepermainan. Mereka sama-sama bersekolah di tempat yang sama hingga SMA. Hanya berpisah ketika masing-masing dari mereka melanjutkan belajar di tingkat yang lebih tinggi.

"Renjani."

"Heum?"

"Aku boleh meminta sesuatu?"

"Apa?"

"Jangan terlalu dekat dengan Axel!"

"Iya, Sayang. Iya, lagian aku nggak pernah berdua saja dengan dia, 'kan? Aku selalu mengajak tim."

Renjani menatap mata Tristan, meski dia mengangguk, tetap saja terlihat ragu.

"Mas meragukanku? Setelah pernikahan kita?"

Tristan menggeleng lalu tersenyum lebar, lalu dengan sekali tarik, Renjani kembali meringkuk didalam dekapannya.

**

Tiga bab perkenalan, boleh minta komentarnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top