Bukan Anak Haram 29
Tak pantang mundur, Pricilla menekan bel pintu rumah Tristan berulangkali hingga akhirnya pria itu membuka pintunya.
Melihat kondisi Tristan yang berantakan, Pricilla serta merta memeluknya.
"Maafkan aku, aku tahu kamu marah, tapi aku minta maaf. Aku nggak bermaksud ...."
Dahinya berkerut melihat beberapa botol minuman keras di meja tamu. Setelah menghabiskan satu botol tadi, dia beranjak ke kamar meninggalkan Bayu rekannya yang sempat mampir dan mengajak minum bersama.
"Kamu minum?"
"Bukan urusanmu!"
Tristan sedikit kasar melepas pelukan perempuan itu, kemudian membalikkan badan.
"Mau apa ke sini? Aku nggak akan pernah menikahimu!" tuturnya ketus lalu menghempaskan tubuh ke sofa. "Sudah hampir jam sepuluh malam, aku nggak mau digerebek satpam hanya karena kamu masih di sini!"
"Tristan, aku ke sini baik-baik. Aku mau minta maaf dan ingin memperbaiki kesalahanku. Akhirnya tahu kamu marah, tapi aku bisa jelasin kenapa aku melakukan itu." Priscilla menggeser duduknya sehingga bahu mereka bersentuhan.
Tristan meraih botol berleher panjang yang di dalamnya masih tersisa, lalu meneguknya.
"Tristan!"
"Pergi, Pricilla!"
"Tapi kamu mabuk."
"Aku nggak mabuk! Pergi atau kamu menyesal!"
Matanya mengabut menatap Pricilla, lalu kembali meneguk minuman beralkohol itu tanpa jeda. Kedatangan Pricilla telah menjadikan dia hilang kontrol. Kekesalannya pada perempuan itu memuncak seiring dengan terngiangnya ucapan Renjani soal hubungan mereka.
Meski berulang kali dia meyakinkan Renjani soal foto dia dengan Pricilla, tetap saja perempuan yang dia cintai itu tidak percaya. Bahkan ucapannya tentang status mereka pun tidak mengubah pendirian Renjani untuk menjaga jarak dengannya.
"Aku nggak akan pergi! Dan aku nggak akan menyesal! Aku mencintaimu, Tristan!" Priscilla menatap lekat pria yang kembali meneguk sisa minuman memabukkan itu.
Bertemu Pricilla, seolah kembali membawanya pada kehidupan jauh sebelum bertemu Renjani.
"Apa kamu bilang? Cinta?" Tristan menyeringai lalu tertawa lebar. "Aku nggak pernah percaya cinta setelah aku bertemu Renjani!"
Mendengar nama itu, membuat Pricilla terlihat meradang. Dia mungkin datang belakangan, tetapi sejak kecil, diam-diam dia sudah menambatkan hati pada pria yang terlihat frustrasi tersebut.
"Tapi aku mencintaimu, Tristan. Aku nggak peduli bahkan meski kamu tidak pernah memberikan hatimu."
Lembut Pricilla mengusap lengan pria di sampingnya. Sementara Tristan mulai tak bisa mengendalikan diri. Dia menyandarkan kepala ke sofa dengan tangan masih memegang botol minuman beralkohol yang isinya sudah habis.
"Kamu bisa belajar mencintaiku, atau ... anggap saja aku perempuan yang kamu cintai itu. Aku siap menanggung apa pun risikonya," bisiknya tepat di telinga Tristan yang telah terpejam.
Sungging kecil tercetak di bibir Pricilla. Mungkin terlihat memaksa dan licik, tetapi bukankah dia benar-benar sudah begitu jatuh cinta? Bukankah Tristan tak lagi terikat hubungan dengan siapa pun? Jika memang terjadi hal yang mungkin saja terjadi, bukankah akan lebih baik buat mereka? Atau mungkin lebih tepatnya buat dirinya.
Satu persatu dia melepas kancing kemeja Tristan. Dada bidang yang ditumbuhi bulu-bulu tipis itu begitu menggodanya. Setelah puas menatap dan mengusap dada, tangannya beralih ke rahang kokoh yang juga terdapat bulu-bulu halus.
Pricilla menarik napas ketika Tristan menggerakkan kepalanya ke samping, tetapi perlahan dia menghela napas lega saat mata pria itu kembali terpejam.
"Bukan aku yang menyesal, Tristan, tapi kamu, mungkin .... Kamu tahu? Aku bahkan tidak peduli meski kamu bukan ahli waris keluargamu. Aku mencintaimu. Aku juga tidak peduli mamaku yang sudah melarangku untuk dekat denganmu," tuturnya lembut dengan tangan terus bergerak dari rahang kembali ke dada Tristan.
"Karena aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu, Tristan," bisiknya lalu mengecup lama bibir pria itu.
**
Ria menatap Renjani yang sejak tadi terlihat gelisah. Dia tidak merebahkan diri ke ranjang.
Sejak mendengar penuturan Axel tentang kebenaran yang sesungguhnya dia mulai gelisah, meski Tristan sudah berusaha menjelaskan sebelumnya.
Entah kenapa malam ini hatinya sangat gelisah. Wajah Tristan dan ucapan pria itu kembali terdengar. Tak hanya ucapan Tristan, suara Axel pun ikut mengiang di kepalanya.
"Sudah malam, sebaiknya kamu tidur." Ria bangkit dari rebah.
"Kamu tidur dulu aja. Aku belum ngantuk." Tampak Renjani bangkit dari ranjang melangkah ke jendela.
Rinai datang membawa aroma petrikor. Perlahan dia menyibak tirai. Langit sesekali menyala terkadang dibarengi dengan guruh yang menggelegar dan tak lama air turun semakin deras.
Sentuhan tangan Ria membuatnya menoleh. Meski tak terucap, tetapi genangan air di mata Renjani cukup memberi keterangan tentang apa yang dirasakan.
"Aku harus bagaimana, Ria? Katakan!" Suaranya lirih tenggelam bersama hujan.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Tanpa menoleh, Renjani mengangguk.
"Kenapa kamu bersikeras menolak Tristan sementara kamu masih mencintainya?"
Renjani bergeming.
"Dia bukan lagi Tristan yang kukenal," jawabnya lirih lalu mengambil napas dalam-dalam. "Foto itu ... foto itu, aku nggak bisa mengabaikan begitu saja."
"Tapi bukankah dia sudah mengatakan apa yang terjadi hingga ada foto itu?"
Menggeleng, Renjani mengusap pipinya. Bayangan Tristan yang tengah mesra bersama Pricilla sudah cukup membuat hatinya hancur. Belum lagi kemarahannya pada dirinya sendiri yang terkadang muncul pertanyaan kenapa dia harus terlahir.
"Cukup masa laluku saja yang kejam, Ria. Jangan pada masa depanku," jawabnya tegas.
"Kamu yakin akan membesarkan anakmu sendirian?"
Pertanyaan Ria membuat tangannya mengusap perut.
"Jadi kamu sudah tahu yang sebenarnya?" tanya Axel pagi tadi. "Dari mana kamu fahut?"
"Tristan."
"Tristan? Dia pernah menemuimu?"
"Nggak sengaja bertemu."
Axel mengusap wajahnya. Mesi jika boleh jujur sebenarnya mulai tumbuh rasa sayang pada mantan istri sepupunya itu, tetapi dia tak ingin terlalu jauh melibatkan perasaan karena bagi Axel cukup sang mama saja yang berbuat kesalahan, dan mungkin dengan membantu seperti ini bisa meringankan beban Renjani.
"Dia hancur, Renjani."
"Dia akan terbiasa, aku sudah mengatakan hal itu sejak awal. Ada Pricilla yang ...."
"Batal. Tristan membatalkan pernikahan mereka dan ...."
Renjani menoleh memindai Axel.
"Dia bilang padaku akan pergi dari kemelut ini."
"Pergi?"
"Dia memutuskan untuk tidak lagi bekerja di kantor ... papamu."
"Dia bukan papaku!" tukasnya tegas. "Aku nggak punya dan nggak butuh papa atau siapa pun!"
Pria berkemeja hitam itu menoleh lalu mengangguk paham.
"Kamu tidak ingin menemuinya? Setidaknya jangan biarkan dia pergi meninggalkan perusahaan, karena dia sangat dibutuhkan dan papanya tidak bisa mencegah keputusan itu demikian juga dengan mamanya," papar Axel panjang lebar.
"Itu bukan urusanku, Axel!"
"Renjani, apa pun yang kamu alami, apa pun yang kamu lihat, percayalah! Terkadang tidak sesimpel apa yang kamu atau kita simpulkan."
"Ada beragam alasan yang berdiri di belakangnya. Ada beragam sebab yang mengakibatkan hal itu terjadi dan kamu tidak bisa menyimpulkan sendiri tanpa mendengar alasannya."
"Aku tahu kamu masih sangat mencintai Tristan, kan? Jangan membangun tembok tinggi yang akan menyulitkan diri sendiri."
Perkataan Axel kembali mengiang di telinga.
"Kalau kamu berubah pikiran, telepon aku, aku antar kamu bertemu Tristan."
Petir tiba-tiba menyambar membuat makam seperti terang meski sejenak.
"Mas Tristan!" Spontan dia menyebut nama itu hingga Ria menyungging senyum tipis.
"Temui dia besok. Kalau pun kamu tetap pada keputusan, setidaknya terima dia sebagai sahabat." Ria mengusap lengan rekannya sembari memberi isyarat agar mereka kembali ke ranjang.
**
Dear, pembaca tersayang ... kisah ini sudah ada ebooknya yaa.
Aku nggak tamatin di sini, kalau mau baca sampai tamat, bisa ke KBM App atau langsung ke google play store. Terima kasih sudah membersamaiki dan kisah ini 🤍🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top