Bukan Anak Haram 28
Hasim terpekur, pertemuannya dengan Savitri setelah beberapa puluh tahun sungguh membuatnya terkaget-kaget. Bagaimana tidak, beruntun kisah dan kenyataan yang dia dengar sangat jauh dari yang dia ketahui.
Sore itu, dia dan Savitri bertemu setelah Hasim tahu jelas siapa sebenarnya pemilik perusahaan Persada Indah tersebut.
Bertemu di sebuah restoran yang terletak pinggir kota membuat dia merasa lebih nyaman.
"Di mana dia sekarang? Di mana anakku?" Suaranya terdengar serak. "Kenapa kamu baru mengatakan sekarang? Kenapa aku baru tahu?"
Savitri membuang napas perlahan.
"Apa kamu bisa percaya begitu saja? Sementara Mayang selalu memperdayamu?"
"Asal kamu tahu, Renjani pun belum tahu siapa aku."
Hasim menatap lekat perempuan yang duduk di depannya.
"Kenapa? Kenapa kamu biarkan dia tidak tahu?"
"Karena aku merasa bersalah, dan aku ingin menebus semuanya dengan melakukan apa saja agar dirinya bahagia!" tuturnya tegas.
"Ah iya, aku lupa, kamu nggak bakal bisa paham soal perasaan. Bahkan saat Renjani begitu dekat denganmu pun kamu sama sekali tidak punya ikatan itu!"
"Savitri, berhenti memojokkanku!"
"Memojokkan?" Dia menyeringai. "Siapa yang memojokkan? Dengar, Hasim! Coba kamu tanya siapa sebenarnya Tristan!"
Keningnya berkerut mendengar penuturan Savitri.
"Maksud kamu?"
"Tanyakan siapa Tristan, coba kamu ingat-ingat lagi saat kehamilan Mayang! Saat itu kamu di mana dan saat melahirkan, apa kamu ada di sampingnya?"
Hasim diam, dia terlihat sedang berpikir. Beberapa tahun silam saat dirinya masih harus bolak-balik Indonesia Amerika memang saat itu Mayang tengah hamil. Menurut Mayang saat hamil kala itu dirinya tidak diperbolehkan untuk berhubungan suami istri demi menjaga bayi yang dia kandung. Masih menurut Mayang, dokter serius menganjurkan agar mereka sama-sama menahan keinginan untuk berhubungan intim.
"Kandunganku lemah, Mas, jadi untuk sementara Mas puasa dulu, ya." Demikian ucapan Mayang saat itu.
"Mas nggak apa-apa kalau memang harus lama di Amerika, lagipula itu bisa menjaga supaya kehamilan ini aman sampai dia lahir."
Hasim menarik napas dalam-dalam.
"Kamu sudah ingat?" Savitri melipat kedua tangannya di dada sembari bersandar pada bahu kursi.
Hasim masih bungkam, tetapi memorinya terus bekerja untuk mengurai satu per satu kejadian saat kelahiran Tristan. Memang kala itu dia tidak berada di samping Mayang. Karena saat itu dia masih berada di luar negeri, dan Wigati yang mengabari soal kelahiran putranya.
"Mayang jatuh terpeleset di kamar mandi, Hasim, jadi oleh dokter dia harus segera dioperasi untuk melahirkan anak kalian. Aku harap kamu menyetujuinya agar keduanya bisa selamat."
Tentu saja waktu itu Hasim langsung mempercayakan semuanya kepada Wigati. Sehingga dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Katakan, apa yang aku tidak ketahui!" Tatapan Hasim begitu menusuk. "Apa kamu menyembunyikan sesuatu, Savitri?"
Perempuan yang mencepol rapi rambutnya itu hanya menarik singkat bibirnya. Demikian mudahnya Mayang memperdaya Hasim, dan begitu mudahnya Hasim mempercayai semua karangan istrinya.
"Kalau aku yang menceritakan semuanya, apa kamu percaya?"
"Menceritakan tentang apa?"
"Apa pun. Apa pun yang sekarang sedang disembunyikan oleh istrimu."
Pria yang masih terlihat gagah di usia lima puluhan itu menarik napas dalam-dalam.
"Ck! Katakan saja, aku akan cari tahu kebenarannya sendiri!"
"Baik, Tristan ... anakmu itu bukan anak kandungmu!"
Mata Hasim menyipit dengan kening berkerut. Terlihat jelas dia tak percaya dengan apa yang didengar.
"Kamu kaget? Kamu nggak percaya, kan?" Savitri menyeringai. "Sudah kuduga. Karena di otakmu hanya Mayang saja yang paling benar!" sindirnya.
"Kamu tidak sedang mengarang, 'kan?"
Manik Savitri membalas tatapan tajam pria yang pernah mengisi hatinya itu.
"Aku bukan Mayang. Aku tidak gila, bahkan saat kamu meninggalkan aku meski dalam kondisi hamil!"
Hasim mengusap tengkuknya. Dia mulai bimbang.
"Oke, kamu bisa buktikan apa alasannya sampai kamu begitu yakin jika Tristan bukan anakku?"
Savitri terlihat santai, dia tampak mengambil kertas dari tasnya dan menyodorkan ke Hasim. Kala itu beberapa tahun silam, dia pernah mengajak Mayang untuk kembali memeriksakan diri ke dokter kandungan.
Dalam pemeriksaan itu, baik Mayang atau Savitri berharap masih ada kemungkinan bagi Mayang untuk bisa hamil seperti wanita pada umumnya. Akan tetapi, jawaban dari dokter kembali memukul perasaan Mayang. Vonis tidak berubah, Mayang tetap tidak bisa memiliki keturunan.
"Apa ini?"
"Itu surat keterangan dari dokter yang menyatakan jika Mayang tidak akan pernah bisa hamil dan memiliki keturunan."
"Apa? Apa kamu bilang, Savitri?" Hasim menelisik perempuan di depannya masih dengan dahi berkerut.
"Kalau kamu nggak yakin, kamu bisa datangi nama rumah sakitnya, atau ke dokternya sekalian!"
Gurat kecewa jelas tergambar di wajahnya. Pernyataan Savitri bukan hanya mengejutkan, tetapi sekaligus menghancurkan semua kepercayaan dan pengorbanan yang dia beri untuk Mayang.
"Jadi ... jadi Tristan, dia bukan anakku? Dan Renjani ...."
Napasnya terlihat turun naik, dengan cepat dia mengambil ponsel dari kantung baju.
"Tunggu! Kamu jangan ke mana-mana!" titahnya lalu menempelkan ponsel ke telinga.
"Tristan, kamu di mana?"
**
Axel menarik bibirnya, setelah menguntit Ria, akhirnya dia bisa tahu di mana Renjani tinggal. Rumah bercat putih itu begitu nyaman. Bunga krokot beraneka warna seperti berlomba memamerkan kecantikannya. Sementara di teras, bergantungan beberapa pot tanaman hijau yang menjalar ke bawah.
Perlahan dia mengetuk pintu berharap Renjani tak mengusirnya.
"Pak Axel?" Ria mematung menelisik Axel dari ujung rambut hingga kaki.
"Iya, Renjani ada?"
Membasahi tenggorokannya, Ria tak menjawab. Dia tak menyangka jika Axel membuntutinya.
"Renjani ...."
"Siapa, Ria?" tanya Renjani menghampiri.
"Renjani."
"Axel?" Matanya membulat.
"Iya, ini aku, aku kesulitan menghubungimu jadi ... aku mengikuti Ria sejak kemarin."
"What?" Ria mencoba protes.
"Sori, Ria, tapi aku perlu bertemu dia." Axel menatap Renjani. Keningnya mengernyit. "Kamu sakit?"
Renjani menangkap kekhawatiran pada manik hitam pria itu. Sejak ada pernikahannya bermasalah, Axel selalu mencoba menenangkan dirinya.
"Nggak, aku baik-baik saja. Eum, kamu ke sini ...."
"Ada hal penting yang harus kamu tahu. Boleh aku masuk?"
Renjani mengangguk lalu memberi isyarat pada Ria untuk meninggalkan dia dan Axel.
**
Mengetahui jelas identitas Renjani adalah kebahagiaan sekaligus pukulan baginya. Ternyata papanya yang begitu dia kagumi adalah papa dari Renjani.
Kekecewaan memuncak saat dia tahu jika mamanya, adalah seseorang yang membuat semuanya terasa semakin rumit.
Sore tadi mereka bertengkar hebat, yang menyebabkan dia meninggalkan rumah itu. Hasim mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam terhadap istrinya.
Sementara Mayang tak kalah sengit, perempuan yang membuatnya merasa disayangi itu mengungkapkan ribuan alasan mengapa hal itu dilakukan.
Tristan membuang napas kasar. Sudah berjam-jam dia duduk di balkon kamarnya. Kamar yang seharusnya masih ada Renjani di sana. Rasa menyesal bercampur malu memenuhi otak dan dadanya
Menyesal mengapa harus dia yang menghadapi segala keruwetan ini, dan malu pada sikap rendah hati dan tenangnya Renjani.
[Aku di depan rumah. Tolong buka pintunya, Tristan.]
[Kamu ngapain ke sini? Pulang aja!]
[Tristan, aku tahu apa yang kamu pikirkan, please, buka pintunya!]
[Mau apa? Mau menjebakku lagi? Apa yang kamu harapkan? Aku cuma pria miskin dan sama sekali tidak bisa diandalkan! Pergilah!]
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top