Bukan Anak Haram 27


Renjani menutup pintu, membiarkan Tristan di luar dan masih berdiri di dekat mobilnya. 

"Maaf, Mbak, itu yang di luar apa nggak disuruh masuk?" tanya Mbok Limah.

"Nggak usah, Mbok. Sebentar lagi juga dia pergi." Renjani melangkah menuju dapur. Mualnya harus diredakan dengan segelas air madu dan lemon hangat.

"Saya buatkan, Mbak? Apa Mbak mual lagi?"

"Nggak usah, Mbok. Mbok istirahat aja, sudah malam."

Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu meninggalkan Renjani sendiri di dapur. Suara rinai kembali terdengar, setelah reda sejenak tadi, rupanya langit masih ingin menyapa bumi dengan airnya.

Kepulan asap menyebar aroma lemon hangat. Menenangkan sebenarnya, tetapi tidak bagi Renjani. Pikirannya masih ada pada Tristan. Ucapan pria itu tak bisa diabaikan begitu saja olehnya. Pun demikian dengan foto kedekatan Pricilla dengan mantan suaminya itu.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kenapa bisa dia tahu keberadaanku? Kenapa sulit sekali melupakan dia?" gumamnya sembari membawa secangkir minuman hangat ke meja makan. 

Sementara di luar, tanpa diduga oleh Renjani, Tristan memilih berdiam diri di mobil. Hawa dingin dan hujan seperti tak membuat dirinya berubah pikiran untuk meninggalkan halaman rumah Renjani.

[Tristan, kamu di mana? Mama telepon kenapa nggak diangkat?]

Dia menarik napas dalam-dalam. Lalu membalas pesan itu.

[Tristan di rumah teman, Ma. Maaf, tadi Tristan nggak dengar.]

[Kamu nggak lihat berita heboh di medsos? Atau paling nggak di kantor kamu? Kamu nggak tahu ada kasak-kusuk tentang kalian berdua?]

Keningnya berkerut. Pertanyaan sang mama mengingatkannya pada ucapan Renjani soal medsos.

[Ada apa di medsos, Ma?]

[Kamu sama Pricilla.]

Dua gambar dia terima, dan itu sudah cukup untuk membuatnya mengumpat.

[Mama minta kamu segera pulang! Orang tua Pricilla meminta Mama agar kamu bicara soal pernikahan kalian segera ke publik!]

Tristan tak membalas, dia meletakkan ponsel ke dasboard lalu menyandarkan kepalanya di headrest.

"Jadi foto itu sudah sampai ke Renjani?" gumamnya. "Pantas dia seperti membenciku dan tidak mau mendengar apa pun yang disampaikan."

"Sial!" pekiknya tertahan sembari memukul kemudi.

"Tapi siapa yang mengambil foto itu?" tanyanya bermonolog. "Apa ini rencana Pricilla?"

Guntur tiba-tiba bergemuruh disertai kilat, hujan pun semakin deras. Bersamaan dengan itu listrik mati.

"Ya Tuhan," gumamnya. "Renjani, kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya kalau kamu tidak mau mendengar penjelasanku?" Lagi-lagi dia bermonolog.

Tristan menatap kediaman Renjani. Terlihat remang cahaya dari dalam. Dia melihat jam tangan menunjukkan pukul sepuluh malam. Tak ingin menunggu esok, Tristan keluar dari mobil melangkah menuju rumah mungil bercat putih tersebut.

Dengan hati-hati dia mengetuk pintu sembari memanggil nama Renjani.

"Renjani, tolong buka pintunya, aku mau bicara. Aku nggak bisa menunggu sampai besok. Tolong, Renjani."

"Aku tahu kamu belum tidur. Tolong buka ...."

Tristan mundur saat pintu terbuka. Seorang perempuan paruh baya menatap penuh tanya.

"Saya ... saya ... eum, bisa saya bicara dengan Renjani?" tanyanya sopan.

"Mbak Renjani sudah tidur sepertinya, Mas. Maaf, ini juga sudah malam."

Mengusap tengkuknya, Tristan mengangguk.

"Iya, Bu, maaf, tapi ini penting sekali buat saya juga buat Renjani," tuturnya mencoba meyakinkan. "Saya minta tolong supaya Ibu menyampaikan soal ini ke ...."

"Mbok Limah, Mbok ke kamar aja. Sudah malam,  biar saya yang temui." Renjani muncul di tengah-tengah mereka dengan lilin di tangannya.

Dalam keremangan, terlihat rona merah di pipi Renjani yang putih. Jelas terlihat jika perempuan itu sedang tidak dalam kondisi sehat, karena badannya tampak sedikit kurus. Akan tetapi, semua itu tidak mengurangi kecantikannya, dan tetap mampu membuat Tristan tak mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ada apa, Mas? Ini sudah malam dan kenapa Mas nggak pulang?" tanyanya saat Mbok Limah meninggalkan mereka.

"Boleh aku masuk?"

Tak ada sahutan dari Renjani. Perempuan itu hanya berdiri dengan lilin di tangannya.

"Oke, kalau begitu, kamu duduk. Aku akan jelaskan di sini."

"Apa yang akan Mas jelaskan? Kan sudah kubilang, nggak akan ada pengaruhnya."

"Tapi wajib bagiku menjelaskan dan harus kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Please, kamu duduk. Karena ini akan panjang dan lama. Aku nggak mau kamu lelah karena terlalu lama berdiri."

"Izinkan aku menjelaskan, Renjani. Izinkan aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku ... aku masih mencintaimu. Sangat!"

Ada gelenyar hangat terasa menelusup hingga ke hati. Getar itu masih terasa kuat sama seperti dulu, meski dia mati-matian membuang jauh setiap kenangan yang pernah begitu kental melekat di kepalanya. Renjani tidak bisa membohongi dirinya, bahkan saat tahu jika pria di depannya itu adalah kakak kandungnya.

"Please, kamu duduk di sana." Mata Tristan penuh dengan permohonan. "Aku janji akan menjelaskan singkat saja meski sebenarnya sangat panjang."

Masih bungkam, Renjani mengikuti titah pria itu. Terlihat lega di paras Tristan ketika tahu Renjani melakukan apa yang dia minta.

"Aku mulai dari foto dulu. Foto yang mungkin sudah sampai ke ponselmu."

**

Langkah Axel berhenti saat mendengar mamanya dan Mayang bercakap-cakap di ruang tamu. Pembicaraan mereka terdengar sangat serius, karena suara keduanya hampir sulit untuk didengar.

Mengendap-endap, dia berusaha mencuri dengar.

"Jadi kamu sudah bertemu Savitri?" Suara mamanya terdengar agak panik.

"Belum, tapi Tristan. Tristan yang menyampaikan pesan perempuan itu padaku."

"Tristan?"

Mayang menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.

"Iya. Perusahaan Savitri ternyata salah satu mitra perusahaan kami, dan tentu saja tidak menutup kemungkinan dia sudah bertemu Hasim."

"Sebentar sebentar! Apa kata Tristan? Apa dia tahu yang sesungguhnya?" tanya Wigati masih dengan nada cemas.

"Tristan cuma tanya apa yang aku sembunyikan, jadi kupikir Savitri belum mengatakan apa-apa, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Tristan ingin tes DNA."

"What?"

Suara Mayang terdengar bergetar.

"Dia tidak yakin atas apa yang kita sampaikan."

Wigati berdiam, sementara Mayang mulai terisak.

"Mayang, ada atau pertanyaan yang aku selalu lupa untuk menanyakan padamu."

"Apa itu?"

"Kamu dulu sangat dekat dengan Savitri, 'kan?"

Mayang mengangguk.

"Apa itu artinya dia juga mengetahui kalau kamu tidak bisa punya anak?"

Kembali Mayang mengangguk, dan kalinini isakannya terdengar lebih keras.

"Aku takut Hasim tahu dan dia mengusirku. Kamu tahu bagaimana Hasim, 'kan, Wigati?"

Mama dari Axel itu membuang napas kasar. Terlalu sulit baginya menumpuk rahasia yang merupakan kebohongan demi menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan untuk saudaranya.

"Lalu apa reaksi Tristan kalau dia tahu jika dia anak angkat? Sementara dia rela melepas Renjani karena cerita itu, Wigati. Apa yang harus aku lakukan? Apa!" Mayang berubah histeris.

"Tenang. Tenang dulu, kita selesaikan satu per satu." Wigati menarik napas dalam-dalam. "kamu tahu di mana Savitri tinggal?"

Mayang menggeleng. Sementara masih dengan mengendap-endap, Axel mundur dan meninggalkan ruangan itu tanpa diketahui oleh siapa pun.

**

Axel duduk di balik kemudi. Obrolan kedua perempuan paruh baya itu terus berputar-putar di kepalanya.

"Jadi ... mereka bukan saudara kandung? Mereka orang lain yang seharusnya masih bisa hidup bersama?" Axel bermonolog.

"Mama, kenapa Mama jadi ikut dalam pusaran kebohongan? Seharusnya Mama tidak ikut campur dalam hal ini!" Kali ini dia menggumam. "Kasihan Renjani."

Axel menarik napas dalam-dalam lalu mengambil ponselnya.

"Tristan, kamu di mana?"

**

Selamat berlebaran buat teman-teman yang merayakan. Mohon maaf lahir batin sekali lagi.

Ebook kisah ini udah bisa dibaca di gooplay yaa. Terima kasih 🤍salam hangat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top