Bukan Anak Haram 26
Mendengar jawaban Renjani, rahangnya mengeras. Amarahnya tersulut, tetapi dia mencoba untuk tetap menguasai keadaan.
"Apa kamu membenciku dengan apa yang terjadi sementara ini semua bukan salahku?"
"Nggak, Mas. Aku tidak pernah membencimu," jawabnya sembari menatap dinding kaca. "Sudah sejak mula aku sangat bisa memahami ini semua. Bahkan jika aku bukan anak papamu, aku tetap akan tertolak untuk jadi bagian dari keluarga besarmu."
Mereka saling diam. Keduanya seolah merasa sepi meski di keramaian.
"Aku saja yang terlalu tinggi berekspektasi. Aku saja yang terlalu banyak berangan-angan." Renjani menarik napas dalam-dalam.
"Kenapa kamu selalu berpikir seperti itu, Renjani? Kenapa kamu tidak pernah merasa jika aku sangat mencintaimu?" Suaranya terdengar ingin menyakinkan.
"Mas, aku percaya rasa itu, tapi sekarang sepertinya untuk sekadar percaya saja tidak cukup."
"Lalu?"
Terdengar dia menghela napas lalu menggeleng.
"Jangan pernah mencoba mengendalikan dua perahu di hatimu. Aku adalah masa lalu yang sudah sepantasnya kamu tinggal. Ada perempuan lain yang membutuhkanmu dan Mama Mayang mengharapkan itu."
Tristan mengumpat pelan. Tak menyangka akhirnya Renjani mendengar tentang Priscilla.
"Ria sudah bercerita apa saja tentang aku?"
Sungging kecil terbit di bibir Renjani.
"Kamu lupa kalau kamu cukup tersohor? Kamu lupa sosmed adalah sarasa penting untuk menyebarkan informasi?"
Pria berkemeja hitam itu mengusap tengkuknya.
"Itu atas permintaan Mama dan ...."
"Dan kamu menikmatinya."
"Renjani."
"Cukup, Mas. Kita sudah selesai. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Selamat menempuh hidup baru yang sebentar lagi akan kamu pijak. Akhirnya bahagia untukmu dan untuk keluargamu."
Renjani menyambar tas tangannya lalu bangkit, tetapi cekalan tangan Tristan menahannya.
"Ikut aku! Please, setidaknya untuk satu kali ini berhenti keras kepala dan menghukum dirimu sendiri!"
"Marni sudah datang, aku harus pulang!"
"Renjani, please. Ada yang harus kamu ketahui, apa kamu tidak ingin bertemu mamamu?"
Mendengar penuturan Tristan, Renjani terlihat sedikit melunak. Siapa pun orangnya, pasti merindukan seorang ibu di sampingnya. Akan tetapi, bukankah seseorang yang seharusnya hadir itu nyatanya tidak pernah ada dalam kehidupannya? Jika sekarang benar dia sudah kembali, untuk apa? Tidak ada gunanya lagi, bahkan dia sendiri merasa kehadiran perempuan yang telah menghadirkan dirinya ke dunia itu adalah suatu omong kosong yang sia-sia.
"Nggak! Aku nggak mau ketemu siapa pun!"
"Bahkan mamamu?"
Sejenak dia diam lalu mengangguk. "Bahkan mamaku atau siapa pun dia!"
Seorang perempuan berbaju cokelat dengan celana berwarna serupa tiba di tengah-tengah mereka. Matanya sejenak menelisik pria yang terlihat asing baginya.
"Maaf, saya suaminya, eum ... maksud saya ...." Tristan memperkenalkan diri.
"Ayo kita pulang, Marni. Mumpung nggak hujan!"
"Eum, maaf, Mbak, tapi ...."
"Kita pulang, sudah malam. Sepertinya hujan akan turun lagi!" tegasnya memberi isyarat agar Marni segera angkat kaki mengikutinya.
"Eum, Mbak Renjani, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Maaf, Mbak, ban motornya bocor. Tadi mau saya tambal, tapi nggak ada satu tukang tambal pun yang buka."
"Bocor? Ban motornya bocor?"
"Iya, Mbak. Maaf." Tampak perempuan bertubuh kurus itu memegang ujung bajunya sembari menunduk.
"Jadi kamu jalan?"
"Iya, saya jalan ke sini sambil menuntun sepeda motor saya."
Mendengar obrolan keduanya, Tristan sedikit menyungging senyum.
"Oke, aku antar kamu dan ... Mbak Marni pulang," timpal Tristan seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
"Nggak. Eum, kita bisa minta tolong Tomi. Sebentar!"
Mencari keberadaan Tomi, wajah Renjani tampak murung setelah tahu karyawannya bersama dua yang lain tengah sibuk melayani costumer.
"Renjani, aku janji nggak akan menggangumu. Biarkan aku tahu di mana kamu tinggal. Itu saja."
Dalam kegamangan, tiba-tiba saja perutnya seperti diaduk-aduk. Dengan langkah seribu dia menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya di sana. Tak tinggal diam, Marni menghampiri dan membantu memijit tengkuk Renjani.
Menyaksikan kondisi Renjani, Tristan terlihat khawatir. Namun, tentu saja dia tidak berani mendekat, karena khawatir akan ditolak oleh perempuan itu.
"Mbak, bagaimana? Maafkan saya, saya ...."
"Nggak apa-apa, Marni. Bukan salah kamu," tuturnya sembari mengusap dahi dengan tisu.
"Kita ...."
"Kita pulang sekarang. Biar besok motor kamu dibawa ke bengkel sama Tomi."
Anak dari Mbok Limah itu mengangguk, kemudian ikut melangkah di belakang Renjani.
"Renjani, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit? Tapi kamu bilang tadi kamu ...." Tristan mendekat dan menghujaninya dengan pertanyaan.
"Oke, aku minta tolong kamu antarkan kami ke rumah. Bisa?"
Tristan tersenyum lebar. Sembari mengangguk dia memberi isyarat agar Renjani mengikutinya.
**
Sepanjang jalan, Renjani memilih diam, sementara di kursi belakang Marni terlihat sesekali memerhatikan keduanya bergantian.
"Kenapa nggak diangkat teleponnya?" tanya Renjani saat ponsel Tristan tak berhenti berdering.
"Nggak apa-apa," jawabnya tanpa menoleh.
"Kalau penting?"
"Nggak ada yang lebih penting selain memastikan kamu baik-baik saja."
Renjani tak lagi bersuara, dia hanya menarik napas dalam-dalam lalu mengatupkan mulutnya karena rasa mual kembali datang.
"Kamu udah ada obat di rumah?" tanya dari balik kemudi seolah tahu jika Renjani kondisinya belum pulih.
"Ada."
Ponsel Tristan kembali berdering, dan hal itu membuatnya terlihat kesal.
"Maaf, aku angkat telepon dulu ya."
Sembari mengusap perut, Renjani mengangguk.
"Halo."
"Kamu di mana sih? Sejak pagi jam sembilan aku hubungi nggak bisa!" Suara Pricilla terdengar kesal.
"Aku kan sudah bilang kalau hari ini jadwal padat."
"Iya, tapi tadi siang itu kita harus ketemu sama WO, Sayang. Kan kamu sendiri yang bilang mau nyempetin ketemu!"
"Sori, Cilla. Aku lupa." Tristan melirik Renjani yang tengah melihat ke luar jendela.
"Ya udah! Sekarang di mana? Aku cemas tahu. Ini cuaca lagi nggak baik loh."
"Iya, kamu tenang aja. Udah dulu ya. Bye!"
Obrolan diputus oleh Tristan, dia lalu menoleh.
"Maaf, Renjani. Eum, kita terus aja ini?"
Pertanyaan itu disambut anggukan olehnya. Bukan dia tak tahu siapa yang menelepon. Seharusnya dia bisa lega karena Tristan sudah memiliki seseorang yang mengkhawatirkannya, seharusnya dirinya bisa ikhlas karena dengan adanya seseorang di hidup pria itu, dia tak lagi bersembunyi.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, hatinya terasa dicabik saat mendengar Tristan bercakap-cakap dengan seseorang di seberang. Di kepalanya terus menerus tersaji foto-foto yang dikirim Ria untuknya. Foto-foto yang mungkin Tristan sendiri tak sadar jika sudah sampai ke ponselnya saat ini.
Terlalu rapuh rasanya jika dia harus kembali seperti yang diinginkan Tristan bjika memang mereka bukan saudara sedarah, tetapi terlalu berat juga dia melepaskan ikatan yang membelenggu mengingat bada nyawa yang tumbuh di rahimnya.
"Eum, maaf, Mas, ini rumahnya, berhenti, Mas." Suara Marni terdengar sedikit meninggi yang membuat Renjani tersadar dari lamunan.
"Oh, di sini? Oke."
Renjani bungkam, dia tampak merapikan rambut dan mengusap keringat di dahinya meski cuaca dingin dan mobil ber-AC.
Rumah mungil bercat putih, berpagar tanaman hias itu terlihat sangat indah di malam hari. Lampu temaram yang dipasang di taman dan aneka bunga seperti bahagia menyambut kedatangan penghuninya.
"Ini ... rumah kamu?"
"He eumh. Aku turun, ya. Maaf, aku nggak bisa ngajak kamu masuk, sudah malam."
"Kalau siang? Boleh?" Tristan menatapnya masih dengan tatapan yang sama. Penuh kehangatan.
Tak ingin berlama-lama pada situasi seperti itu, Renjani membuka pintu mobil.
"Renjani tunggu!" Tangan Tristan menahan lengannya.
"Aku janji, aku akan buktikan kalau apa yang dikatakan Mama itu tidak benar!"
"Terserah, Mas. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun."
Terlalu sakit baginya menyadari bahwa Hasim ternyata papanya, dan terlalu sakit saat dia menyadari jika kelahirannya tak pernah diinginkan oleh siapa pun.
**
Kisah ini sudah ada versi ebooknya.
Jadi buat yang mau baca sampai tuntas, sila langsung cuss ke gooplay aja yaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top