Bukan Anak Haram 24


Savitri tersenyum simpul, semua cerita tentang keluarga Hasim dan kisah bubarnya rumah tangga sang putri sudah ada di tangannya. Dia merasa jika saat inilah waktunya untuk menunjukkan siapa dirinya.

"Oke, perusahaan kami sepakat bekerja sama dengan perusahaan kalian, tapi dengan syarat."

"Syaratnya apa, Ibu Savitri?" Tristan menghela napas kemudian menatap perempuan di depannya yang semakin diamati tampak garis wajahnya terlihat mirip dengan Renjani.

Perempuan paruh baya itu menatap ke samping kiri dan kanan Tristan.

"Apa boleh saya hanya bicara dengan bos kalian?" 

"Oke, Ardi, Ria kamu bisa tinggalkan kami!" Tristan mengangguk lalu memberi isyarat agar kedua asistennya pergi.

Bibir Savitri tertarik.

"Baik, Bu. Jadi apa yang ingin Ibu sampaikan?"

"Saya boleh bertanya tentang sesuatu yang mungkin sedikit pribadi. Boleh?"

"Boleh, silakan, Bu."

"Saya lihat di beberapa berita lokal kalau kamu akan menikah? Betul?"

"Eum, bertunangan. Untuk menikah ... saya belum mempunyai rencana ke sana." Tristan menggeleng cepat.

"Tunangan, tapi belum punya rencana menikah? Kenapa? Bukankah pada umumnya bertunangan itu adalah untuk menikah sebagai langkah selanjutnya?" tanyanya dengan mata memindai tajam.

"Sori, sori, setahu saya, kamu sudah menikah?"

"Sudah, tapi kami bercerai," jawabnya pelan.

"Kenapa?" Savitri pura-pura tidak tahu.

Tampak Tristan menarik napas dalam-dalam. Berbicara tentang pernikahannya adalah hal yang sangat berat. Bagaimana mungkin dia bisa dengan mudah melepaskan seseorang yang sama sekali tak bersalah. Iya! Bukan salah Renjani dan bukan pula salahnya jika akhirnya perceraian itu terjadi.

"Oke, nggak apa-apa kalau kamu merasa keberatan, tapi tolong sampaikan ke Mayang, dia mamamu, 'kan? Mayang Wulandari, betul?"

Mendengar nama sang mama disebut, Tristan mengangkat wajahnya. "Iya, betul. Mayang Wulandari, mama saya. Ibu kenal dengan Mama?"

Terlihat seringai di wajah ibu kandung Renjani. 

"Tentu saja saya kenal dengan baik, bahkan sangat baik, tolong sampaikan kalau saya sudah ada di kota ini dan ingin sekali bertemu."

Otak Tristan mulai menghubungkan kembali nama Savitri yang permah dia baca dan yang pernah dia dengar. Kali ini dia merasa yakin jika Savitri yang ada di depannya itu adalah ibu kandung Renjani, sekaligus perempuan yang hampir membuat hidupnya berantakan.

"Jadi, Ibu Savitri itu Anda? Benar Anda adalah Savitri yang dimaksud mama saya?" Suaranya terdengar penuh penekanan.

"Oh, jadi mamamu pernah bercerita tentang saya?" 

Masih dengan bibir menyungging senyum, dia kembali bertanya, "Apa kata mamamu tentang saya?" 

Sejenak ruangan itu hening.

Savitri melipat kedua tangannya di dada.

"Apa dia cerita kalau saya gila? Atau dia bercerita kalau saya sudah selingkuh dan merebut papamu?"

Tristan mulai meradang, dia tak terima mendengar mamanya diremehkan.

"Jadi benar, Anda yang hampir menyebabkan saya kehilangan kasih sayang seorang papa?" Suaranya mulai meninggi.

Savitri masih terlihat santai, lagi-lagi senyuman terlihat di bibirnya.

"Sayangnya mamamu hanya bercerita untuk menyelamatkan dirinya, tapi enggan menceritakan apa yang dia lakukan hingga hampir menyebabkan Renjani tidak pernah lahir di dunia ini!"

Kali ini tatapan Tristan menajam saat mendengar nama perempuan yang masih memiliki tempat istimewa di hatinya itu. 

"Jadi benar Anda ibu dari Renjani?" Dia mencoba meyakinkan. "Kalau Anda benar-benar ibu dari Renjani, kenapa Anda meninggalkan dia begitu saja? Kenapa Anda membiarkan anak Anda berjuang sendirian?"

Tak ada reaksi atau pun jawaban terdengar dari perempuan berkulit putih itu. Masih dengan posisi bersedekah, dia menarik napas dalam-dalam.

"Saya rasa itu tidak penting untuk dijawab. Sekarang katakan! Apa kamu mencintai anakku?"

Tristan diam sejenak kemudian mengangguk tanpa menatap.

"Kamu yakin mencintai anak saya?"

"Apa Bu Savitri tahu di mana dia sekarang?" Dia balik bertanya.

"Seharusnya kalau kamu mencintainya, pasti tahu di mana dia, tapi kamu tidak mencintai Renjani sepenuhnya." Savitri menegakkan tubuhnya. "Kalau kamu benar cinta ke Renjani, kamu nggak akan menceraikan dia begitu saja tanpa penjelasan yang bisa dipercaya."

"Maksudnya? Penjelasan yang bisa dipercaya?"

Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengedikkan bahu. 

"Kamu sudah dewasa dan sangat bisa berpikir, kan? Apa kamu yakin kalian sedarah?"

"Maksud Anda? Maksud Anda ... Renjani bukan anak Anda atau ...." Tristan menggantung kalimatnya. 

"Maaf, saya tidak suka teka-teki, tapi dari apa yang dikatakan tadi, saya merasa Anda sedang mencoba mengadu domba. Cukup! Jika ini tentang Renjani saya akan lakukan apa pun untuk mencarinya, tetapi jika tentang mama saya, jangan coba-coba mengatakan hal buruk tentang dia!"

Savitri paham jika Tristan mulai meradang, tetapi tentu saja dia tetap tenang

"Oke, saya tidak memaksa kamu untuk menelan begitu saja ucapan saya barusan, sebaiknya hal itu juga yang kamu lakukan saat Mayang memberi tahu soal siapa Renjani."

Sambil merapikan rambutnya, Savitri bangkit dan meraih tas tangannya.

"Oh iya, jangan lupa, sampaikan salam ke Mayang. Saya ada saat ini bukan untuk papamu, tapi untuk Renjani!"

**

Aroma petrikor menyapa, angin dingin mulai datang seiiring dengan rinai yang semakin deras. Renjani masih duduk di bangku koffe shop yang dia beri nama dengan namanya. 'Anantari's Koffe Shop.' Nama itu mengingatkan pada ucapan Tristan yang pernah menginginkan membuat cottage dengan namanya.

Mengingat pria itu membuat sungging kecil pada bibirnya. Entah apa kabar terakhir pria yang memiliki rahang kokoh itu. Tak ada cerita apa pun yang diberikan oleh Ria seperti biasa, dan dia pun enggan untuk sekadar bertanya. 

Meski begitu, ada hal yang sedikit mengusiknya. Karena biasanya Ria selalu update mengabarkan apa pun tentang Tristan tanpa diminta. Hanya saja terakhir dia mendengar jika calon istri mantan suaminya itu mengumumkan sepihak tanggal pernikahan mereka.

Guntur menggelegar, tepat saat satu mobil berhenti di depan koffe shop. Renjani menatap jam tangan tepat menunjukkan pukul empat sore. Bibirnya melengkung membentuk pisang ketika Rendra keluar dari mobil tersebut.

Namun tiba-tiba wajahnya berubah saat melihat seorang yang berjalan di samping Rendra. Bagaimana mungkin pria itu sampai ke tempat ini? Apa mungkin Ria sudah membocorkan rahasianya? Atau jangan-jangan Ria diintimidasi agar menceritakan di mana dia tinggal saat ini?

 Berbagai pertanyaan bermunculan tiba-tiba. Ingin rasanya dia bersembunyi dan membiarkan Rendra membatalkan rencana mereka untuk mendirikan yayasan amal. Akan tetapi, hal itu tak mungkin karena Tristan sudah menangkap keberadaannya.

"Selamat sore, Mas Rendra," sapanya sembari mengulurkan tangan.

"Sore, Renjani, maaf agak telat ya. Jalanan licin jadi harus pelan-pelan."

"Nggak apa-apa, saya paham, kok. Silakan." Senyumnya mengembang mempersilakan Rendra duduk tanpa berani menatap Tristan yang justru sejak tadi memindainya tanpa jeda.

"Oh iya, Renjani, ini sahabat lama aku. Dia sedang mencari tempat untuk membangun cottage di tempat ini, dan nggak sengaja kemarin kami ketemu dan nyambung lagi," cicit Rendra tanpa tahu apa yang sedang bergejolak di hati Tristan maupun Renjani.

"Tristan, kenalin ini Renjani, seperti yang aku ceritakan tadi, dia pemilik koffe shop ini dan kami sedang bekerja sama pada bidang lain juga."

Tristan mengangguk lalu menjabat tangan Renjani. Ada kerinduan yang begitu besar di matanya. Hampir saja dirinya tak bisa menguasai perasaan, tetapi dengan cepat Renjani menarik tangannya.

"Oh iya, mau pesan apa?" tawarnya ramah lagi-lagi menghindari tatapan Tristan.

"Hujan begini, enaknya mie instan, deh! Yang pedas, pake sayur dan telur setengah matang! Betul nggak?" Rendra menoleh ke samping.

"Boleh! Yang pedas!" timpal Tristan seolah memancing Renjani untuk menatapnya.

"Oke, dua mie instan rebus pedas, lengkap dengan sayur dan telur setengah matang!" 

Renjani tertawa kecil lalu beranjak meninggalkan mereka berdua. 

"Eum, minumnya?" tanyanya membalikkan badan.

"Lemon hangat!" Cepat Tristan menjawab. 

"Sama. Aku juga!" Rendra menimpali. "Renjani, kenapa kamu yang repot? Biarkan saja mereka yang membuatkan pesanan kami."

"Nggak apa-apa, kadang aku turun tangan kok di dapur. Bukan masalah," paparnya ramah.

"Oke. Kami tunggu!"

Renjani menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk kemudian melangkah menuju dapur.

**

Finally ketemu ygy😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top