Bukan Anak Haram 22
"Maaf, Ria. Aku bikin kamu repot." Renjani menyandarkan tubuhnya di ranjang setelah Ria membantunya ke kamar.
"Ck! Aku nggak repot, Jani. Yang seperti ini yang aku pikirkan. Meski ada Mbok Limah, tapi beliau juga, 'kan ngerjain yang lain."
Renjani mengangguk. Matanya kembali basah, kesedihan yang mendalam jelas terbaca pada garis wajahnya.
"Eum, masih mau makan gado-gado, 'kan?" Rekannya mencoba menghibur, meski Ria yakin tidak mudah menjadi Renjani.
"Boleh deh! Tapi please, kalau kamu capek nggak usah, Ria. Kamu di sini untuk menemaniku, bukan memasak untukku," tuturnya sembari mengusap perut yang masih datar.
"Aku tahu, tapi aku suka melakukannya, Renjani. Sudahlah, kamu nggak perlu merasa tidak enak atau apa pun itu. Oke?"
Kali ini Renjani hanya mengangguk. "Kenapa, Ria?"
"Aduh!" Ria menepuk dahi ketika melihat banyak panggilan dari Tristan di ponselnya.
"Ria? Kenapa?" tanyanya mengulang.
"Pak Tristan,"jawab Ria sembari menatap Renjani.
"Kenapa dia?"
Tak menjawab, Ria menyerahkan ponselnya ke Renjani.
"Kamu lihat sendiri aja!"
Matanya menyipit lalu menatap Ria setelah meletakkan ponsel ke meja kecil yang terletak di samping ranjang.
"Kamu tadi belum selesai bicara sama dia?"
Ria menggeleng.
"Aku bahkan nggak sempat bicara apa pun karena panik lihat kamu lemas tadi."
"Ya Tuhan, Ria." Kali ini Renjani yang menepuk dahinya.
"Jani."
"Ya?"
"Jangan-jangan dia dengar." Wajahnya terlihat khawatir.
"Dengar apa?"
"Tadi aku sempat nggak sengaja manggil nama kamu." Ria mencoba membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering.
"Ria?"
"Maaf, Renjani, tapi aku nggak sengaja."
Menarik napas dalam-dalam, Renjani memijit pelipisnya, tepat saat itu juga ponsel Ria kembali berdering.
"Dia telepon lagi, Renjani. Aku harus alasan apa dong?" Terlihat Ria kebingungan.
"Apa aja, asal kamu tetap menyembunyikan keberadaanku! Eum, sebaiknya kamu di luar, aku bisa aja mual lagi."
Tidak menunggu lebih lama, Dia mengangguk lalu melangkah cepat meninggalkan kamar Renjani.
"Maaf, Pak saya tadi ...."
"Ria, kamu di mana sekarang? Apa kamu sedang bersama Renjani?" tanya Tristan tegas.
"Saya ... saya sedang di rumah Bude saya. Maaf tadi saya sedikit panik karena keponakan saya jatuh dari sepeda tadi. Jadi saya panik." Tampak Ria menepuk dahinya.
"Saya dengar tadi ada suara seseorang muntah dan kamu hampir menyebut nama Renjani. Iya, 'kan?"
"Renjani? Nggak, Pak. Saya nggak menyebut nama Renjani. Eum ... mungkin Bapak salah dengar efek rindu kayaknya," celoteh Ria berharap bosnya tak lagi mempertanyakan hal itu.
"Kamu yakin tidak sedang bersama Renjani?"
"Iya, iya, Pak. Saya yakin!" jawabnya sembari memutar tubuh menatap sekeliling sembari memastikan dia tidak sedang berbohong.
Terdengar Tristan menghela napas.
"Oke kalau begitu. Kamu benar, mungkin saya hanya salah dengar. Selamat berkumpul dengan keluarga."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Obrolan berakhir, wajah Ria sudah tak lagi tegang. Berkali-kali dia mengucap syukur karena akhirnya bisa menjawab pertanyaan Tristan yang terdengar mencurigainya.
Meletakkan ponsel, Tristan terlihat masih tidak yakin dengan apa yang dikatakan Ria. Entah kenapa dia mulai mengendus ada hal yang ditutupi oleh Ria darinya.
"Maaf, Pak Tristan, ada tamu yang mau ketemu Bapak." Lila muncul dari balik pintu setelah beberapa kali mengetuk.
"Siapa? Apa sudah bikin janji?"
"Maaf, Pak, tapi tamunya memaksa. Eum ... beliau pimpinan perusahaan Persada Indah."
"Bu Savitri," gumamnya. "Oke, suruh masuk!"
**
Cilla tertawa kecil melihat Tristan yang baru saja turun dari mobil. Dia yakin meski mungkin pada awalnya teman masa kecilnya itu tidak mencintainya, tetapi lambat laun hal itu akan berubah.
"Kamu harus bisa membuat Tristan jatuh cinta, Cilla. Kamu tahu perusahaan papamu sudah diambang collapse! Dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan adalah kamu melalui Tristan!" ucapan mamanya seolah doktrin yang harus dia ikuti. Tentu saja selain itu dia memang telah lama menyimpan perasaan cinta terhadap pria yang berjalan mendekat ke arahnya itu.
"Hai, sudah lama nunggunya?" sapa Tristan sembari duduk kursi yang terletak di depan Pricilla.
"Nggak, baru lima belas menit yang lalu. Aku udah pesan makanan kesukaanmu."
"Oh ya? Emang tahu apa makanan kesukaanku?"
"Berhubung di sini nggak ada pangsit mie, jadi aku pesan steak ayam, karena kamu nggak suka makan daging. Betul, 'kan?"
Dahinya berkerut mendengar penuturan Cilla. Perempuan yang mengecat rambutnya dengan warna pirang itu tertawa kecil.
"Kenapa? Kaget?"
"Kamu tahu dari mana?"
"Kamu lupa aku teman kecilmu?" jawabnya lalu mengambil gelas yang berisi jus semangka kemudian meneguk perlahan.
"Udah, nggak usah terlalu lama kagetnya. Nih diminum! Lemon tea hangat, kesukaan kamu juga, 'kan?" Dia mendekatkan gelas berisi minuman kesukaan Tristan itu.
Tersenyum tipis, dia menyesap minuman yang dipesan Cilla. Sore itu adalah sore ke sekian mereka berdua menghabisi waktu. Cilla bukan perempuan yang membosankan, dia baik dan menyenangkan diajak bicara. Meski begitu, tembok yang dibangun Tristan sangat kokoh sehingga pria itu masih datar menanggapi.
Centro Kafe adalah usaha milik Cilla join dengan rekannya. Saat Cilla masih di luar negeri, rekannya itulah yang menjalankan bisnis mereka. Kafe yang cukup besar dan terletak di tengah kota membuat tempat ini menjadi sasaran para eksekutif muda yang ingin sekadar kongkow sambil melepas penat.
"Tristan."
"Ya?"
"Nanti malam mau nemenin aku ke pesta private ulang tahun teman aku nggak?" Mata Cilla memindainya.
Tristan tampak enggan, tetapi Cilla tak kekurangan cara untuk membuat pria itu mengikuti keinginannya.
"Ayolah, sambil aku kenalin ke teman-teman aku. Please." Dia merapatkan kedua tangan memohon agar Tristan bersedia.
"Oke, jam berapa?"
Mengekspresikan bahagia, Cilla bertepuk tangan kecil.
"Jam delapan malam di Heaven Pub."
"Pub?"
"Iya. Kenapa?" Cilla tertawa kecil. "Kamu nggak pernah ke pub?"
Tristan menyeringai, dulu pub adalah tempat favoritnya jika sedang lelah atau sedang banyak masalah. Akan tetapi, itu dulu sebelum mengenal Renjani.
"Ck! Ayolah, nggak setiap hari juga. Lagipula, ini, 'kan pesta ulang tahun, jadi aku pikir nggak ada salahnya."
"Oke, jam delapan. Kalau begitu setelah makan kita langsung pulang."
Ucapan Tristan ditanggapi anggukan penuh semangat dari Pricilla.
"Thank you, Tristan. Aku happy banget!"
**
Ria menyodorkan susu hangat untuk Renjani. Malam itu terasa lebih dingin dari sebelumnya.
"Thanks, Ria."
"Jadi kamu kemarin sudah deal membeli koffe shop di tempat itu?"
"Iya, tapi untuk sementara masih dengan manajemen yang lama, karena aku belum bisa ngapa-ngapain dengan kondisi seperti ini."
Renjani menyesap perlahan susu khusus ibu hamil tersebut.
"Sekarang aku lebih khawatir ke kondisiku," imbuhnya.
"Khawatir? Kenapa? Menurut dokter, kamu dan bayimu baik-baik saja, 'kan?"
Dia mengangguk. Meletakkan gelas yang sudah kosong di meja, Renjani bersandar pada bahu kursi.
"Apa kata orang-orang di sini saat mereka tahu aku hamil dan tidak pernah ada satu orang pria pun pernah bertandang ke sini. Aku khawatir mereka akan berpikir jika aku perempuan murahan yang hamil di luar nikah."
"Ssttt! Kamu nggak perlu mikirin apa kata orang! Mereka nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Lebih baik kamu fokus pada kehamilanmu." Ria menggeleng cepat sembari mengulurkan tangan mengusap perut Renjani. "Ada aku. Aku nggak akan meninggalkanmu sendirian. Soal orang-orang di sini ... biar aku dan Mbok Limah yang atasi. Oke?"
Ada genangan terlihat di mata Renjani. Satu fase hidup yang berat kembali dia hadapi. Sendirian, tanpa suami dan menanti anak yang tidak seharusnya ada.
**
Ada yang nungguin gak nih? Hi-hi 🤭
Aku kasi dobel part yak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top