Bukan Anak Haram 21

Renjani tersenyum setelah menikmati mie pangsit yang dibawakan Ria. Makanan yang sebenarnya tidak begitu dia suka, tetapi justru makanan itu adalah favorit Tristan. 

"Pak Nyoto nanyain kamu loh, Jani."  

Pak Nyoto adalah penjual mie pangsit yang setiap hari mangkal di depan kantornya.

"Pak Nyoto ternyata sudah tahu kalau kalian udah pisah." Ria meneguk jus jeruk yang baru saja disuguhkan oleh Mbok Limah.

"Oh, ya? Lalu kamu bilang apa?" tanyanya lalu meneguk air mineral.

"Aku nggak tahu, dong. Bahaya nanti kalau ada yang dengar terus sampai ke Tristan."

"Tumben pinter," ledek Renjani yang disambut tawa oleh Ria.

"Eh, Jani." Wajah rekannya itu berubah serius.

"Hmm?"

"Aku punya beberapa foto pertunangan Tristan sama Priscilla."

"Pricilla?"

"Iya, Pricilla nama tunangannya. Kamu mau lihat nggak? Eum, maksudku ini tadi di grup kantor ada yang nge-share. Kamu mau lihat?"

Renjani hanya tersenyum tipis sembari menggeleng. Meskipun logikanya menuntut untuk melupakan Tristan, tetapi tidak dengan segenap hatinya. Nuraninya justru seolah mencoba untuk terus menghadirkan tanpa jeda sosok Tristan yang sangat dia cintai.

"Nggak mau?"

"Nggak perlu, Ria. Bukan apa-apa, tapi buatku mereka sudah bukan siapa-siapa, sama seperti mereka menganggapku, 'kan?"

"Tapi, Jani, Tristan sampai kemarin waktu aku izin ambil cuti, dia tetap menanyakan kamu dan meminta supaya aku memberi tahu sekecil apa pun kemungkinan keberadaan kamu."

Renjani menarik satu sisi bibirnya. 

"Untuk apa? Aku malah merasa nyaman begini. Menikmati kesendirian yang sesungguhnya," tutur Renjani seraya mengusap perutnya yang masih rata.

Ria mengangguk paham.

"Kamu mau makan apa hari ini? Kan kemarin aku udah belanja banyak banget untuk di kulkas. Kamu pengin apa? Aku buatin!" Rekannya itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Apa, ya? Gado-gado? Kamu bisa bikin?"

Bibir Ria mengerucut. "Bisa dong! Siapa yang nggak kenal sama Riana's Catering?"

"Iya itu, kan mamamu, bukan kamu, Ria " Renjani tertawa kecil.

"Iya, tapi aku bisa, Jani!"

"Oke, aku mau gado-gado!"

"Siap!"

Baru saja dia hendak bangkit dari duduk, ponselnya berbunyi.

"Pak Tristan telepon, Jani!"

Mata Renjani membulat, meski begitu dia merasa dadanya bergemuruh.

"Aku angkat dulu, ya."

"Iya, kamu di luar atau di kamar atau di mana gitu supaya aku nggak dengar."

"Aku load speaker, ya. Tapi kamu harus diam. Oke?"

"Nggak, Ria! Udah sana angkat teleponnya!"

Perempuan berambut pendek itu mengangguk lalu melangkah ke ruang makan.

"Halo, Pak Tristan?"

"Halo, maaf menganggu cutimu."

"Oh, nggak, Pak. Ada apa, ya?"

"Iya, kemarin kamu bilang ada telepon dari Persada Indah?"

"Iya, Pak, tapi bukannya kemarin sudah dihandle sama Pak Tirto? Karena Bapak masih menyiapkan acara Bapak?"

"Nggak, nggak! Bukan itu, tolong kamu kirim ulang file permintaan mereka untuk kembali bekerja sama via email, ya. Bisa, 'kan?"

"Oh, oke, bisa, Pak."

"Terus kalau kamu balik nanti ...." Tristan menghentikan kalimatnya saat terdengar suara seseorang di seberang. Suara orang muntah-muntah.

"Eum, Ria, sori, kamu di mana ini? Jangan bilang kamu di rumah sakit!"

"Ng ...nggak, Pak." Ria menjauh dari ruang makan, tetapi karena salah melangkah, dirinya justru mendekat ke kamar mandi tempat Renjani mengeluarkan semua isi perutnya.

Mata Dia membulat melihat Renjani bersandar lemah di dinding kamar mandi. Spontan dia memanggil nama rekannya.

"Ya Tuhan, Renja ...." Tak meneruskan kalimatnya, Ria bergegas menekan tombol merah pada ponselnya mengakhiri obrolan dengan Tristan.

"Halo? Ria? Ria, halo! Kamu bilang apa barusan? Halo Ria!"

Sadar Ria sudah memutus obrolan, Tristan mengumpat dengan rahang mengeras.

"Ria menyebut nama Renjani? Apa itu artinya dia tahu di mana Renjani berada? Kalau dia tahu kenapa dia tidak melaporkan padaku?" gumamnya sembari mengepalkan tangan. "Aku yakin dia tadi hampir menyebut nama Renjani. Aku yakin dia sekarang bersama Renjani, tapi di mana? Di mana mereka?" Dia masih bermonolog.

"Tapi siapa yang kudengar muntah-muntah tadi? Apakah itu Renjani? Apa dia sedang sakit? Atau bukan Renjani yang muntah? Lalu kenapa Ria ... aarghh!" Kali ini tangan Tristan meninju meja kerjanya.

"Sial! Aku harus telepon Ria lagi! Aku harus memastikan bahwa Renjani ada bersama Ria, atau paling tidak aku ingin tahu nama siapa yang hampir dia sebut tadi!" 

Tristan kembali menelepon. Kali ini wajahnya terlihat cemas dan tak sabar.

"Ck! Please angkat teleponnya, Ria!"

**

Mayang tertunduk mendengar cecar pertanyaan dari sang suami. Hasim ingin mengorek lebih dalam soal apa yang terjadi hingga putranya bercerai. Karena menurutnya, sejak awal antara Tristan dan Renjani tidak terjadi hal seperti yang diceritakan oleh Mayang.

"Belakangan ini memang Papa sangat sibuk, sampai tidak ada waktu untuk mempelajari alasan kenapa Tristan bercerai. Hanya saja, Papa menduga ada hal lain yang Mama sembunyikan."

Mengangkat wajah, Mayang terlihat gusar. Perempuan paruh baya itu tak menyangka jika sang suami kembali bertanya soal perceraian putra mereka meski pun Tristan sudah bertunangan.

"Kenapa masih bertanya soal itu sih, Pa? Kejadian itu sudah lama berlalu dan sekarang Tristan sudah mulai kembali menata masa depannya dengan perempuan yang baik bibit bobot dan bebetnya. Jadi buat apa Papa mengulik-ulik lagi? Nggak ada gunanya!"

"Mayang! Tristan itu juga anakku. Bukan cuma anakmu! Jadi aku juga berhak tahu meski mungkin sudah terlambat!" paparnya tegas membalas tatapan sang istri.

"Aku tahu kamu sangat menyayangi Tristan! Aku juga tahu alasannya, aku paham! Tapi aku juga orang tuanya!"

"Apa yang mau Papa ketahui? Apa? Tristan sudah bercerai karena perempuan yang bernama Renjani itu bukan perempuan yang bisa dan layak untuk dihormati!" sanggahnya sengit.

"Dengar, Ma! Papa bahkan tidak pernah lagi bertemu Renjani setelah mereka menikah. Bahkan saat setelah bercerai pun, Renjani seperti hilang di telan bumi. Entah kenapa seperti ada yang aneh di sini."

Mayang terdiam. Dia terlihat mulai hati-hati menanggapi.

"Ma."

"Ya?"

Hasim menarik napas dalam-dalam kemudian melepas dasinya.

"Kita sudah sangat lama berumahtangga. Mama tahu seperti apa Papa dan begitu juga sebaliknya, jadi tolong ceritakan aja apa yang Mama sembunyikan."

"Apa kamu tahu kabar tentang Savitri?"

Mayang menelan saliva mendengar pertanyaan sang suami. Dadanya mendadak sesak karena dipenuhi dengan kegelisahan yang tiba-tiba datang.

"Kenapa diam, Ma? Kamu tahu sesuatu tentang Savitri?"

Mayang mendengkus, parasnya terlihat sangat kesal.

"Papa ini bicara apa, sih? Apa hubungannya soal Savitri ke Mama? Bukannya tadi kita sedang membicarakan tentang Renjani?"

Hasim mengusap tengkuknya. Entah kenapa pertanyaan Tristan silam kembali menghantuinya. Sebab setelah Tristan bertanya soal anak, tak lama kemudian Renjani dan putranya bercerai. Lalu disusul dengan keluhan Tristan soal pembatalan Perusahaan Persada dengan perusahaannya. Menurut Tristan dan stafnya bahwa Perusahaan Persada adalah perusahaan yang terkenal memiliki kredibilitas yang sangat baik dan hampir tidak pernah memiliki masalah dengan rekan kerja mereka.

Serta tentu saja yang terakhir yang membuat Hasim menjadi lebih curiga adalah setelah tahu jika pemilik perusahaan tersebut adalah Savitri meski sampai detik ini belum ada kejelasan apakah Savitri yang dia maksud adalah orang yang sama dengan pemilik perusahaan Persada Indah tersebut.

**

Done dua part yaa

Terima kasih sudah berkunjung 🫰🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top