Bukan Anak Haram 20
"Tidak ada informasi baru, tetapi ... mungkin Bapak kenal dengan pemiliknya yang dulu. Karena menurut informasi yang saya dapat, pemiliknya dulu sempat berseteru dengan perusahaan yang dulu dipimpin oleh Pak Handoko Abimanyu."
"Siapa? Siapa yang pernah berseteru dengan papaku dulu?"
"Rahadian Barata."
Dahinya berkerut mendengar nama yang disebutkan Derry.
"Rahadian Barata kamu bilang?"
"Iya, Pak."
"Savitri Kamila Rahadian," gumamnya masih dengan dahi yang berkerut.
"Siapa nama pemilik perusahaan Persada itu?"
"Di sana tertulis Savitri KRB," jelasnya.
Pria yang terlihat masih sangat gagah itu menelan saliva. Bak pucuk dicinta ulam tiba, dia meminta Derry menghubungi Savitri yang dia yakini adalah perempuan yang pernah singgah demikian dalam di masa lalunya.
"Kabari kalau kamu bisa menghubungi dia!"
"Siap, Pak!"
**
Cilla tersenyum melihat Tristan keluar dari kantor. Sore itu sengaja dia menjemput pria itu untuk bersama mengambil cincin tunangan sekaligus makan malam.
"Hai."
"Hai, sori kamu lama nunggunya."
"It's okey! Bukan masalah." Dia memberikan kunci mobil ke Tristan. "Kamu yang bawa mobil, ya. Udah lama banget aku nggak keliling kota ini, khawatir nyasar."
Tristan tertawa kecil lalu mengangguk. Tampak senyum manis terukir di bibir Pricilla. Perempuan itu lega karena Tristan tak lagi terlihat menjaga jarak.
"Kita ambil cincin dulu, lalu ... kamu mau makan di mana?" Dia menoleh ke samping saat Perempuan itu duduk dan menutup pintu mobil.
"Kamu yang lebih tahu di mana makanan yang paling enak di sini."
"Oke, kita makan di restoran favoritku. Di sana makanannya enak-enak!"
Perempuan yang mengenakan terusan sebatas lutut itu mengangguk sambil tersenyum.
Mobil meluncur membelah jalanan sore, tak begitu ada kemacetan yang berarti hingga tanpa menunggu lama akhirnya mereka berdua tiba di Mahkota Jewelry tempat cincin mereka berdua dipesan.
"Bagus banget, Tristan!" Cilla menatap takjub pada cincin berlian di tangannya.
"Mama yang pilih, sih, aku ikut aja."
Dia lalu menarik napas dalam-dalam. Meski saat dirinya dengan Renjani tidak memesan di tempat yang sam, tetapi tetap saja Tristan seperti dejavu. Pikirannya kembali menerawang memikirkan keberadaan Renjani. Perempuan itu seolah ditelan bumi setelah mengatakan jika dirinya ingin sendiri.
"Kamu suka pantai atau gunung, Mas?"
"Pantai. Kalau kamu?"
"Gunung. Aku suka gunung, hawanya sejuk aroma pepohonan yang bisa bikin nyaman, dan yang pasti aneka ragam tanaman akan menghampar di sepanjang mata memandang."
"Kalau pantai, anginnya juga lembut, deburan ombaknya yang sangat eksotis terlebih saat sunset ... itu indah banget, loh!"
Renjani tersenyum manis, sangat manis mendengar penuturannya kala itu.
"Aku tahu, tapi ... aku tetap mencintai gunung, meski aku juga tidak anti pada pantai."
"Oke, mungkin kita bulan madu nanti ke pantai dulu lalu ... kita ke gunung. Sepertinya aku harus pertimbangkan untuk membuat cottage di kaki gunung, dan aku beri nama Anantari's Cottage."
Tristan merasa matanya memanas mengingat obrolan yang kini tinggal kenangan.
"Tristan? Hei, kamu kenapa?" Tepukan tangan di bahunya membuatnya menoleh.
"Ya?"
"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba bengong? Ada yang salah?" Cilla menatap intens.
"Oh nggak ada, cuma ...."
"Aku tahu, kamu udah lapar, 'kan?" Cilla memotong kalimat Tristan.
Tertawa kecil, dia mengangguk.
"Udah selesai, 'kan? Kita cari makan yuk!"
"Oke!"
**
Savitri menatap kosong pada jendela, pupus sudah harapannya untuk bertemu Renjani. Airin yang dia percaya bisa menemukan keberadaan putrinya itu pun tidak bisa mencari jejaknya.
"Apa perlu detektif swasta untuk mencari Renjani?" tanya Utari.
"Nggak perlu, Mi. Biar Savitri sendiri yang mencari."
"Tapi akan lebih baik kalau ada orang lain yang membantumu, Nak."
Tak ada jawaban darinya. Perempuan yang garis wajahnya sangat mirip dengan Renjani itu masih menatap kosong pada tempat yang sama.
"Mi."
"Mungkin ada baiknya kalau Savitri langsung menemui Hasim dan mengatakan yang sebenarnya soal siapa Renjani."
Melangkah perlahan, Rahayu mendekati sang putri.
"Jangan, menurut Mama jangan untuk saat ini." Utari membuang napas perlahan. "Mama mengkhawatirkan kamu juga Renjani."
"Lagipula, apa kamu yakin kalau Hasim bisa terima dengan penjelasanmu?"
Ibu kandung Renjani itu membalikkan tubuh menghadap Utari. Memang benar yang dikatakan maminya. Setelah apa yang dilakukan Mayang kepadanya, akan sulit bagi pria itu untuk bisa percaya begitu saja pada cerita yang akan disampaikannya.
"Kalau apa yang harus kita lakukan, Mi? Savitri bahkan sekarang tidak bisa mengetahui di mana Renjani sekarang."
"Gali keterangan dari orang terdekatnya."
"Maksud Mami?"
"Kamu bilang kamu pernah bertemu Tristan? Dia anak Hasim yang menikah dengan putrimu, 'kan?"
Savitri mengangguk.
"Temui dia lagi, gali semua informasi tentang cucu Mami, apa pun itu. Cepat atau lambat hal itu akan mempertemukan kamu dengan Renjani."
Savitri terlihat resah. Mayang rupanya tidak berhenti dengan menyakitinya. Terbukti pada anaknya pun Mayang seolah tidak puas dengan apa yang pernah dia lakukan.
"Aku sakit, Savitri. Aku bukan perempuan sempurna. Aku tahu tidak akan ada satu pun pria yang sudi memiliki istri sepertiku." Mayang tersedu-sedu saat mengatakan apa yang dia sembunyikan kala itu.
"Kamu jangan buru-buru mengambil kesimpulan seperti itu, Mayang. Kamu harus yakin akan ada pria baik dan tulus yang akan mendampingimu."
"Siapa? Nggak ada! Coba kamu tanya ke siapa pun pria yan yang kamu temui. Apakah mereka mau menikah dengan perempuan yang tidak lagi memiliki rahim seperti aku? Apa mereka mau? Nggak ada, Savitri. Kalau pun ada, sudah pasti orang tuanya akan menolak mentah-mentah! Karena sudah pasti setiap pernikahan itu bertujuan untuk memiliki keturunan agar bisa meneruskan generasi penerus mereka."
Savitri bungkam mendengar penuturan Mayang saat itu. Dia tak menyangka jika sahabatnya harus memiliki kenyataan yang tentu sangat menyakitkan bagi sebagian besar perempuan. Penyakit yang diderita Mayang mengharuskan dirinya untuk merelakan rahimnya diangkat.
"Mungkin akan lebih baik kalau aku mati. Untuk apa aku hidup jika harus meratapi nasib. Untuk apa aku hidup jika harus menyaksikan kebahagiaan perempuan lain hamil dan menimang anak? Sementara aku? Aku akan kesepian tanpa siapa pun di akhir hidupku kelak!"
"Savitri? Kamu melamun?"
"Mi."
"Hmm?"
"Apa yang akan terjadi jika Tristan tahu kalau dia bukan anak Mayang dan Hasim? Apa yang akan dilakukan Hasim kalau dia tahu jika anak laki-lakinya itu bukan anaknya?"
"Maksud kamu?"
Savitri bergeming.
"Savitri, maksud kamu? Mayang .... sudah berbohong kalau ...."
"Mayang tidak bisa memiliki keturunan, Ma. Dia sakit dan rahimnya harus diambil kala itu."
"Kalau begitu anak laki-laki itu? Anak siapa?"
**
Tepukan meriah serta tawa bahagia dari undangan terdengar saat Tristan menyematkan cincin ke jari manis Pricilla. Terlihat wajah semringah perempuan bermata sedikit sipit itu. Sementara Tristan hanya sesekali mangulas senyum dengan mata yang terus mengedar seolah mencari seseorang.
"Selamat, Tristan! Semoga bahagia," ucap Axel saat bersalaman dengannya.
Tak ada jawaban dari Tristan. Bibirnya pun mengatup seolah enggan untuk sekadar tertarik. Axel mengedikkan bahu lalu berbisik, "Berhenti memikirkan adikmu. Sekarang ada Priscilla yang harus kamu perhatikan. Ingat, mamamu ingin kamu bahagia, bukan?"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top