Bukan Anak Haram 2


Bertemu mertua konon adalah hal sakral dan menakutkan bagi sebagian orang. Hal itu pula yang terjadi pada Renjani. Berjam-jam mematut diri di cermin hingga Tristan datang bukan hal yang mudah. Karena dia harus menyesuaikan semua tampilan. Dari baju, sepatu, tatanan rambut hingga warna makeup yang di kenakan.

"Aku tidak ingin membuatnya kecewa. Aku ingin mamanya juga menyukaiku."

Deru mobil terdengar, gegas dia menyambar tas tangan berwarna putih yang berloga H hadiah dari Tristan saat dia berulang tahun ke dua puluh tiga beberapa bulan lalu.

"Cantik!" pujinya saat Renjani membuka pintu menyambut kedatangannya.

"Gombal!"

"Serius!"

"Cantik malam ini aja?" Dia menutup kembali pintu setelah mengenakan sepatu high heels berwarna lilac senada dengan baju yang dipakai.

"Kapan sih kamu nggak cantik, Renjani?" bisiknya tepat di telinga yang membuat meremang.

Dipuji seperti itu, dia tersenyum tipis sembari menarik napas dalam-dalam saat tangannya menggenggam erat tangan Renjani.

"Papa dan mamaku sudah menunggu. Mereka sudah tahu siapa kamu dariku dan Mama ...."

"Mamamu kenapa?"

"Mama nggak sabar bertemu kamu. Kata Mama kamu cantik!"

"Kamu ...."

"Aku udah pernah tunjukin foto kamu ke Mama. Dan Mama bilang kamu cantik!"

"Udah ah! Dari tadi muji melulu. Aku ge er, nih!"

Tristan tertawa. Mereka berjalan menuju mobil, dan seperti biasa, dia selalu membukakan pintu untuk Renjani. Setelah dirasa kekasihnya sudah duduk dengan nyaman, barulah Tristan menutup pintu.

"Mas Tristan." Panggil Renjani saat pria itu baru saja memakai sabuk pengaman.

"Hmm?"

"Apa mereka tahu kalau aku ...."

"Tahu."

"Tahu?"

"Iya. Mereka tahu kalau kamu tidak memiliki keluarga dan kamu tidak tahu di mana keluargamu saat ini."

Perlahan mobil meninggalkan kediaman Renjani menuju rumah keluarga Tristan. Berulangkali dia mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar bisa menenangkan hati yang semakin berdebar kencang.

**

Ramah dan bijaksana. Demikian kesan yang ditangkap Renjani saat pertama bertemu dengan Hasim Abimanyu. Senyum dan tatapan matanya begitu mengayomi. Sementara Mayang, lebih banyak diam dan mengamati yang membuatnya serba salah. 

"Jadi kamu tinggal di komplek Graha Mutiara?"

"Iya, Tante."

"Sendiri?"

"Iya, Tante."

Mayang mengangguk paham.

"Tristan bilang kamu sudah tidak punya keluarga?"

"Betul, Tante."

"Dan kamu kehilangan jejak kerabatmu?"

"Iya, Tante."

Sungguh pertanyaan seperti ini sanggup membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Keluarga, iya. 

"Di mana keluargaku? Apa tidak satu pun orang yang bisa menunjukkan setidaknya jika ayah atau ibuku meninggal, aku hanya ingin melihat dan memastikan jika aku pernah memiliki seorang ibu atau ayah. Namun, apa yang sekarang dihadapi adalah hal yang sangat sulit karena tidak satu pun yang menyimpan keterangan soal ayah dan ibuku." Renjani membatin.

Perempuan yang jika ditaksir berusia kurang lebih lima puluh tahun itu terlihat mengangguk pelan. Dia lalu memalingkan wajah ke Tristan.

"Kalau kamu memang sudah yakin dengan pilihanmu, sebaiknya kalian segera menikah. Tapi alangkah baiknya kamu, Renjani, kamu cari setidaknya kerabat jauh yang mungkin bisa kamu cari supaya kami mengerti asal usulmu!"

Suara mama Tristan terdengar santai, tetapi sangat dalam. Ini yang dia takutkan, meski Renjani tahu silsilah bagi sebagian orang adalah hal penting terlebih jika masuk pada circle orang yang berpunya seperti keluarga Abimanyu ini.

"Kamu bisa, 'kan? Mungkin ada tetangga atau siapa itu yang bisa membantu menemukan keluargamu," imbuhnya dengan mata menyelidik.

"Jadi kamu benar-benar tidak tahu asal-usulmu?" Hasim angkat suara.

"Tidak, Om. Andai saya tahu, sudah pasti saya tidak sendiri saat ini." Dia berusaha mengabaikan tatapan tajam dari Mayang.

Tristan yang sejak tadi diam, berdehem. Sambil menggenggam tangan kekasihnya, dia berkata, "Sebaiknya cukup sudah berbicara tentang asal-usul Renjani. Tristan mencintainya dan akan menjadikan dia bagian dari hidup Tristan."

**

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan. Selain karena baik Renjani dan Tristan adalah dua orang yang dewasa dan lebih memilih konsep pernikahan sendiri. Hal itu tidak menjadi masalah bagi keluarga besar Tristan, meski pada akhirnya ada beberapa tamu di luar rekan kerja mereka yang datang karena permintaan Hasim dan Mayang. 

Gaun pengantin putih, simple dengan potongan leher model sabrina yang dikenakan adalah gaun yang dipesan atas permintaan Tristan. Menurutnya bahu Renjani indah, dan dia ingin menunjukkan pada yang datang jika pemilik bahu indah itu adalah dia. 

Tema pesta private yang syahdu serta romantis dipilih. Sebuah resort di Bali adalah tempat yang membuat Renjani dan Tristan jatuh cinta. Lokasinya yang cukup jauh dari keramaian dan masih sangat alami menjadi saksi dari resminya hubungan mereka.

"Jadi menantu Hasim itu yatim piatu?" Terdengar seseorang berbicara. Rupanya perempuan itu tak menyadari jika Renjani berada di belakangnya.

"Iya. Kenapa Hasim gegabah ya? Sekarang ini bibit bobot dan bebet masih tetap harus diketahui. Jangan mentang-mentang anaknya suka, langsung setuju aja. Kita nggak tahu, 'kan? Kali aja itu anak pelacur, atau ... dari keluarga nggak bener dan itu bisa berdampak buruk dengan keturunan kita selanjutnya," timpal yang satu lagi sembari menikmati hidangan.

"Eh, tapi aku pernah dengar kalau Hasim itu punya anak dari perempuan lain!" Satu orang perempuan yang mengenakan gaun berwarna sage ikut angkat bicara.

"Kamu yakin, Jeng?"

"Iya, aku tahu ini dari sumber yang terpercaya! Jadi sebenarnya saat menikah dengan Mayang, dia juga menikah dengan orang lain."

"Oh begitu, jadi Hasim selingkuh?" timpal perempuan satu lagi.

"Bisa dikatakan begitu, tapi yang aku dengar mereka sebenarnya sudah menikah di bawah tangan sebelum resmi. Itu sih yang kudengar."

"Eh, terus? Punya anak? Anaknya gimana? Maksud aku anaknya laki-laki atau perempuan?" timpal yang lain.

"Menurut info yang aku dapat, ada anak, dan  anaknya perempuan!"

"Aku baru ingat, kasus itu pernah jadi topik hangat waktu itu, betul nggak?" imbuh perempuan yang membawa kipas.

Renjani masih di belakang mereka dan mendengar semua obrolan itu, meski es krim yang diminta Tristan sudah di tangan. Obrolan tentang masa lalu Hasim terus berlanjut hingga dia sadar jika Tristan menunggunya di tempat yang lain.

Menggeleng cepat, dia mengayun langkah meninggalkan para tamu perempuan yang hingga dia pergi tidak menyadari jika ada menantu Hasim yang mendengar pembicaraan tersebut.

"Thank you, Sayang." Tristan menerima es krim dari tangan Renjani.

"Ciee, udah manggil sayang aja, nih!" ledek Ria rekan kerja sekaligus sahabat mempelai perempuan.

Ucapannya disambut ledekan dari yang lain. Tristan memang sedekat itu dengan karyawan, itu sebabnya dia bisa dengan mudah membaur dan menciptakan suasana nyaman di tempat kerja. Meski begitu, Tristan itu sangat disiplin dan tegas jika sudah berada di ruang meeting atau jika sedang membahas sesuatu yang pelik di kantor.

"Jangan asal ngeledek sekarang, Ri! Salah dikit bisa-bisa dipecat!" timpal Candra yang ditanggapi anggukan oleh yang lainnya.

"Nyonya Tristan Abimanyu! Bahaya!" celetuk Romi.

Sementara Tristan hanya tersenyum, dia seolah kembali ingin menegaskan jika Renjani adalah miliknya dengan menatap mesra perempuan di sampingnya.

"Kalian benar, kalau ada satu aja yang bikin dia nangis, hati-hati! Pekerjaan kalian taruhannya." Dia tertawa kecil sembari meraih bahu sang istri.

"Jadi ... malam ini rencananya bakal langsung di-gas nggak nih, Bos?" Feri asisten Tristan buka suara.

Tentu saja pertanyaan itu membuat Renjani harus pura-pura tidak mendengar. Sementara lirikan mata pria di samping tertangkap tengah menelisiknya.

"Pertanyaannya nakal, tapi mengandung ke-kepoan kita semua." Ria kembali berceloteh.

"Sepertinya aku nggak bisa menunggu lama." Ucapan Tristan mengundang sorak dan tawa.

"Iya, 'kan, Sayang?" bisiknya tepat di telinga.

Renjani  menarik kedua sudut bibir sembari mencari pinggang sang suami untuk dicubit.

**





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top