Bukan Anak Haram 19

[Aku baru boleh ambil cuti pekan depan, Renjani. Kamu nggak apa-apa, 'kan?]

Menarik napas dalam-dalam, Renjani membalas pesan Ria.

[Nggak apa-apa, Ria.]

[Kamu tahu, Tristan makin uring-uringan. Barusan sekantor kena damprat, cuma gara-gara pintu ruangannya susah dibuka.]

Bibir Renjani tertarik singkat. Dia tahu kebiasaan mantan suaminya itu. Tristan kalau sudah banyak pikiran, bisa-bisa setiap orang yang dia temui akan kena imbas kemarahannya. Jika sudah begitu, biasanya dialah yang mencoba membuat amarahnya reda.

Satu foto diterima Renjani. Undangan pertunangan Tristan akan dilaksanakan hari Minggu. Itu artinya tinggal tiga hari lagi pria itu akan kembali memulai suatu hubungan yang tentu saja akan berlanjut ke jenjang pernikahan.

[Kamu baik-baik saja, 'kan?]

[Sure! Aku baik-baik saja. Oke, eum ... aku bisa minta tolong nggak?]

[Minta tolong apa, Bumil?]

[Kalau kamu ke sini, please, bawakan mie pangsit yang mangkal di depan kantor ya. Bisa?]

[Jiaah, ada yang ngidam! Bisa, bisa, apa sih yang nggak buat kamu, Renjani!]

[Thanks, Ria.]

[You're welcome.]

**

Mayang terlihat antusias menyimak penjelasan dari EO yang ditunjuk untuk menjadi penanggung jawab acara pertunangan putranya dengan putri kawan lamanya. Dia ingin acara yang akan berlangsung itu lebih meriah dari acara yang pernah dia gelar pada waktu lalu.

"Bagaimana, Bu Mayang, apa masih ada yang kurang?" tanya perempuan yang mengenakan blouse putih lengan panjang itu.

"Saya sangat puas. Eum ... satu lagi, saya minta mulai di gerbang, para tamu bisa merasakan keromantisan pasangan ini. Jadi, bunga-bunganya bisa diletakkan juga di sana. Bisa?"

"Tentu saja bisa, Bu.."

"Bagus! Sempurna!" 

"Baik, kalah begitu saya dan rekan saya mohon pamit, besok kami dan team akan kembali dengan membawa semua hal yang dibutuhkan untuk pesta hari Minggu."

"Baik, terima kasih, Yulia. Seperti biasa, kerjamu selalu memuaskan!" pujinya pada perempuan yang memang menjadi langganannya saat menggelar event apa pun.

Sepeninggal Yulia dan team-nya, dia mencoba menghubungi Tristan untuk memastikan cincin yang akan disematkan ke jari Pricilla. Karena beberapa waktu lalu dia sudah memesan atas persetujuan sang putra sebuah cincin berlian dengan inisial nama keduanya.

"Ya, Ma? Ada apa?" Terdengar suara gusar dari seberang.

"Kamu sibuk?"

"Iya, Ma. Kenapa? Mama bicara aja, Tristan dengarkan."

"Mama mau tanya soal cincin, nanti sore jangan lupa kamu ambil ya. Khawatir kamu sibuk terus lupa."

"Iya, Ma. Tristan ingat, kok."

"Nanti malam kamu tidur di rumah Mama atau di rumahmu?"

Sejenak pria bercambang tipis itu bergeming. Sudah cukup lama dia tidak menyambangi rumah yang pernah dia tempati beberapa bulan bersama Renjani. 

"Tristan?"

"Iya, Ma. Iya, Tristan tidur di rumah Tristan sendiri aja."

"Okelah, tadinya Mama mau nyuruh Pak Somad dan istrinya untuk membersihkan rumah kamu yang di sana. Rumah itu nanti kan bakal kamu tempati bersama Cilla, 'kan? Ya meski masih belum ada waktu yang pasti kapan kalian menikah, tapi setidaknya rumah itu sudah bersih," papar Mayang panjang lebar.

"Nggak, Ma."

"Nggak? Nggak apa ini?"

Rumah miliknya itu adalah hunian impiannya bersama Renjani. Perempuan baik dan cantik serta tangguh yang berhasil memikat hatinya itu sama sekali tidak bisa pergi dari hati dan pikirannya. 

Bagaimana mungkin rumah itu akan dia huni bersama Cilla jika mereka menikah nanti? Itu sama saja membuat kenangan tentang Renjani terkubur begitu saja, dan dia tak ingin itu terjadi. 

Bagi Tristan, Renjani sudah telanjur masuk ke relung hati yang paling dalam dan tidak pernah ada siapa pun yang menggantikan karena dia tak pernah mengizinkan itu terjadi.

"Biarkan rumah itu tetap begitu. Tristan nggak pernah mengizinkan siapa pun tinggal di sana meski jika pada akhirnya kelak Cilla jadi istri Tristan!" jawabnya tegas.

"Lalu? Kamu mau apakan rumah itu? Kamu mau jual atau ... jangan bilang kalau rumah itu kamu berikan untuk Renjani!"

"Mama tidak pernah rela!"

Tristan mengusap kepalanya. Selalu begitu, selalu saja mamanya terlalu ikut campur pada setiap keputusannya. 

"Ma, rumah itu punya Tristan, jadi apa pun yang akan Tristan putuskan biar jadi urusan Tristan."

"Oke, lalu Cilla? Apa kamu mau beli rumah baru dan ...."

"Ma, Tristan dan Cilla baru mau tunangan dan belum ada pembicaraan kapan menikah, jadi Tristan rasa terlalu cepat untuk membicarakan soal rumah dan lainnya."

"Tapi dengan kamu memutuskan dan sepakat bertunangan itu berarti kamu ...."

"Ma, untuk saat ini Tristan sebenarnya tidak mempunyai keinginan untuk berhubungan dengan orang lain apalagi bertunangan, tapi semua ini Tristan lakukan untuk Mama supaya Mama bahagia. Itu saja."

Mayang kali ini terdiam. Kalimat putranya mengundang keharuan. Tidak menyangka jika Tristan mengucapkan hal itu.

"Ya sudah, Ma. Tristan balik kerja ya. Sampai ketemu, Ma."

Tanpa menunggu jawaban sang mama, dia mengakhiri obrolan tersebut.

**

"Tumben kamu ngajukan cuti?" Ria sedikit tegang saat mata atasannya memindai tajam.

"Iya, Pak, ada hal yang harus saya ...."

"Aku dengar kamu mau ke luar kota? Apa itu benar?"

"Iya, Pak."

"Itu artinya kamu tidak datang ke acara saya?"

Ria mengangguk pelan sembari mengucap maaf.

"Nggak apa-apa, kamu tenang saja." Terlihat Tristan tersenyum hambar.

"Ria."

"Iya, Pak?"

"Kamu yakin kamu tidak tahu soal Renjani?"

Pertanyaan itu mendadak membuat kerongkongannya kering. 

"Ng ... nggak, Pak. Seperti yang saya bilang, kalau saya benar-benar tidak tahu di mana Renjani sekarang."

"Kamu tidak sedang berbohong, 'kan?"

"Eum, tentu saja tidak, Pak."

"Oke, aku minta seminimal apa pun informasi tentang Renjani, kabari aku, ya."

"Iya, Pak. Saya boleh kembali ke ruangan saya?"

Bos-nya itu mengangguk dan membuatnya menghela napas lega.

**

Hasim mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. Entah kenapa belakangan ini kilas kejadian silam kembali muncul di kepalanya. Keingintahuan Tristan kala itu tentang sama lalunya membuat pria paruh baya itu seolah ingin kembali membuka album lusuh yang masih tersimpan baik di memorinya.

"Kalau memang tidak ada anak, kenapa Tristan bertanya hal aneh seperti itu? Aku yakin pasti ada alasannya."

Menarik napas dalam-dalam, dia yakin ada yang disembunyikan oleh Mayang. Karena dia sangat tahu seberapa dekat Mayang dengan Savitri. Pria berambut kelabu itu menyakini jika Mayang pernah kembali bertemu dengan Savitri akhir-akhir ini, tetapi tentu saja istrinya itu mengunci rapat bibirnya.

"Derry, kamu ke ruangan saya sekarang!" titah Hasim pada tangan kanannya melalui telepon.

Tak menunggu lama, pria berperawakan sedikit subur itu masuk ke ruangan Hasim.

"Duduk!"

Mengangguk hormat, Derry mematuhi perintah majikannya.

"Kamu ada informasi baru apa soal pimpinan perusahaan yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan kita?"

**

Triple update done yaa.

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Salam hangat 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top