Bukan Anak Haram 16


Savitri menelisik tajam Tristan, pria di depannya itu adalah orang yang sangat dia cari setelah menerima informasi jika anak dari Mayang telah menikahi putrinya.

"Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan karyawan Anda, tapi sekarang saya mendapat informasi jika karyawan Anda yang bernama Renjani tidak lagi bekerja di tempat Anda. Apa itu benar?"

"Benar, Bu, sahutnya sopan sembari mencoba mencari celah untuk tahu lebih dalam perempuan paruh baya di depannya itu. 

"Jadi bagaimana, Bu Savitri, apa Ibu mau tetap bekerja sama dengan perusahaan kami?"

Menarik napas dalam-dalam, Savitri membetulkan letak kacamatanya.

"Sebenarnya saya ingin banyak tahu soal perusahaan ini, dan saya lebih nyaman sepertinya kalau berbicara dengan staf  Anda kemarin."

Tristan mengangguk samar. Renjani memang paling bisa mengajak klien untuk bisa bergabung ke perusahaan mereka. Salah satu keahliannya itulah yang juga menjadi alasan ketertarikannya selain banyak alasan lainnya.

"Apa saya bisa bertemu dengan staf Anda, Pak Tristan?"

"Eum ...." Dia terlihat ragu.

"Kenapa? Apa dia sakit? Atau ...."

"Dia, dia sudah tidak di sini lagi karena ada hal lain yang harus dia kerjakan, jadi ...."

"Oke, kalau begitu sepertinya saya harus menunda rencana kerjasamanya." Savitri mengemas tas tangannya.

"Tapi, Bu, bukankah Ibu sangat tertarik dengan kerjasama yang sudah kami tawarkan?"

"Tadinya iya, tertarik, tapi tidak sekarang."

Dengan mengulas senyum, perempuan paruh baya itu membalikkan badan melangkah menuju pintu.

"Ibu, maaf, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Apa?"

"Apa ... apa Ibu mengenal Renjani?"

Dahinya berkerut lalu kembali menarik kedua sudut bibirnya.

"Tentu saja kenal, kan sudah saya katakan jika staf kamu itu sangat ramah dan menyenangkan."

"Maksud saya, apa Ibu pernah kenal sebelumnya?"

Tak ingin Tristan tahu lebih jauh, dia menggeleng. Karena menurutnya hal yang sesungguhnya belum saatnya untuk diungkap.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Nggak, Bu. Saya senang jika Ibu terkesan dengan staf saya."

Mengangguk, Savitri lalu melangkah meninggalkan ruangan itu sembari menatap setiap sudut kantor milik anak dari Hasim Abimanyu.

Sementara Tristan menarik napas dalam-dalam, di kepalanya masih berputar pada keberadaan Savitri. Apakah pemilik perusahaan Persada Indah yang barusan menemuinya atau Savitri yang lain. Karena tak ada foto atau apa pun yang bisa mengungkap apa yang telah terjadi di masa lampau seperti yang diceritakan oleh mamanya.

**

"Kamu yakin akan pergi, Renjani?"

"Iya, Ria. Untuk apa aku di sini?" Senyumnya terlihat getir. "Toh nggak ada satu alasan pun yang membuatku bertahan."

"Tapi Pak Tristan ...."

"Dia akan menemukan dunia barunya sebentar lagi."

"Maksud kamu?" Ria menelisik Renjani yang tengah memasukkan baju-bajunya ke koper.

"Kamu akan tahu nanti, tapi yang jelas aku sudah tidak ada hubungan apa pun dengan dia."

Ria membuang napas perlahan. Sore nanti Renjani membulatkan tekad untuk pergi ke sebuah rumah yang sudah beberapa hari dia beli. Rumah itu adalah rumah bibi dari Ria. Bertempat tak jauh dari kaki gunung membuat Renjani tak lagi bisa berpaling dari keindahan dan kenyamanan yang ditawarkan.

"Lalu apa rencanamu setelah itu, Jani?"

"Belum tahu, tapi mungkin aku akan membuka sebuah kedai kopi kecil di sana. Kan kamu bilang di sana banyak wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan gunung itu, kan?"

Dia mengangguk.

"So, aku rasa memiliki kedai kecil adalah hal terbaik, setidaknya untuk saat ini."

"Renjani."

"Hmm?"

"Aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Bagaimana perasaanmu ke Pak Tristan? Apakah kamu masih mencintainya?"

Pertanyaan Ria membuat tangannya urung melipat baju yang baru saja diambil dari lemari.

"Menurutmu?" Dia balik bertanya.

"Kamu jangan marah, ya." 

Untuk apa marah? Ada apa emang?"

Ria menarik napas dalam-dalam, dia lalu bercerita tentang kejadian kemarin. Menurutnya, Mayang datang ke kantor dan membawa berita gembira tentang pertunangan putranya.

"Pak Tristan akan segera bertunangan, Jani." Suaranya terdengar hati-hati. "Aku nggak tahu seperti apa perempuan yang akan bertunangan dengan Tristan, tapi namanya Pricilla. Apa kamu kenal?"

Ada nyeri yang tiba-tiba menelusup menjajah hatinya. Mendadak dadanya terasa sesak dan terlihat genangan di mata. Teringat beberapa waktu lalu, saat dia melihat bagaimana Tristan tersenyum berbincang akrab dengan seorang perempuan yang tidak pernah dia tahu sebelumnya.

"Renjani? Kamu nggak apa-apa? Maaf kalau aku ...."

"No, Ria. I'm fine. It's okay!"

"Jadi dia mau tunangan?"

Ria mengangguk ragu.  Terlihat sesal di parasnya, karena dia merasa telah membuat rekannya itu bersedih.

"Baguslah kalau begitu, jadi dia nggak lagi menghantuiku!" tuturnya dengan senyum tipis lalu kembali memasukkan baju-bajunya.

Meski dia yang meminta agar Tristan tak lagi datang menemuinya, tetapi tak bisa dibohongi, tetap saja ada kerinduan yang mendalam pada pria itu. Perasaannya tak pernah bisa berubah meski berkali-kali dia mencoba menyadarkan dirinya jika mereka adalah saudara.

"Renjani, aku tahu sangat sulit bagimu untuk menerima ini dan aku rasa demikian juga dengan Tristan, karena ...."

"Karena apa, Ria? Kenapa kamu berhenti bicara?" tanyanya memindai tajam.

Ria berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkap apa yang dia ketahui belakangan ini. Andai Renjani tahu jika Tristan pun sama hancurnya, dia yakin Renjani akan menepikan ego dan kembali kepada bosnya itu demi kebaikan Tristan yang kini berstatus saudara.

"Ria! Kenapa Mas Tristan?"

Menatap sendu ke Renjani, Ria seakan tengah menyusun kalimat untuk menggambarkan betapa hancurnya pria itu. Tristan bahkan sering tertidur di kantor hingga beberapa meeting terpaksa dihandle asistennya, bahkan mantan suami Renjani itu seringkali datang saat menjelang makan siang dengan kondisi tubuh yang terlihat kuyu. Terakhir Ria pernah mendapati bosnya itu menenggak minuman keras di ruangannya.

"Nggak apa-apa, Jani." Dia menggeleng cepat dan berusaha tersenyum.

"Kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Ria? Katakan, ada apa dengan Mas Tristan!"

Kembali Ria mengatur napasnya, dan dengan sangat hati-hati mulai menceritakan apa yang dia ketahui tentang bosnya itu.

"Kamu yakin akan meninggalkannya, Renjani? Dia hancur, Jani. Dia sangat menyedihkan."

Renjani duduk di bibir ranjang, dia tak menyangka jika Tristan menjadi seperti yang diceritakan Ria. Akan tetapi, bukankah sebentar lagi pria itu akan segera memiliki pasangan baru yang seperti diinginkan mamanya? Seorang perempuan yang lahir dari keluarga baik-baik dan terpandang? Tentu saja perempuan itu lambat laun akan bisa mengubah Tristan untuk kembali bangkit dari keterpurukan. 

"Nggak, Ria. Dia nggak butuh aku! Dia hanya butuh waktu sedikit lagi untuk bisa kembali hidup normal seperti biasanya," tukasnya sembari berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.

Ria tak bisa berbuat banyak, dia hanya mengangguk mencoba untuk memahami sikap yang ditunjukkan oleh rekannya.

"Oke, Jani. Aku paham."

"Thank you, Ria. Oh iya, tolong kamu kasi ini ke Mas Tristan."

"Apa ini?" Ria menatap paper bag kecil yang baru saja berpindah ke tangannya.

Sedikit senyum terbit di bibir Renjani. 

"Jam tangan. Rencananya akan aku berikan saat malam ulang tahunnya, tapi itu tinggal rencana, jadi kalau kamu nggak keberatan, tolong kasi ke dia, ya."

"Besok Pak Tristan ulang tahun?"

"Hu umh. Kamu mau kasi itu ke dia, 'kan?"

"Oh, iya. Sure! Aku akan kasi besok."

Renjani tersenyum lega.

"Sekali lagi thank you, Ria!"

"You're welcome, Jani."

"Satu lagi, boleh aku meminta supaya kamu menyembunyikan informasi apa pun tentang aku kepada siapa pun. Kamu bisa, 'kan?" Mata Renjani menatap intens pada rekannya.

"Please, aku nggak perlu kembali menjelaskan alasannya, 'kan?" mohonnya.

"Oke, aku nggak akan membocorkan apa pun tentang kamu."

"That's good!" Bibirnya kembali mengulas senyum meski tidak dengan matanya.

**

Done, dua part yaa. Terima kasih sudah berkunjung 🫰🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top