Bukan Anak Haram 15


"Masa kalian lupa? Dulu itu waktu kalian masih kecil-kecil, kalian itu sering main bareng, meski lebih sering berantem sih," tutur Arini mama dari Priscilla.

Meski pada awalnya Tristan menolak, tetapi karena sang mama memaksa, akhirnya dia mengikuti saja apa yang diminta Mayang. Malam itu dua keluarga makan malam di sebuah restoran. 

Mendengar penuturan Arini, Tristan hanya tersenyum singkat. Sementara Mayang dan terlihat paling antusias dengan pertemuan itu.

"Kamu masa lupa juga, Cilla?" Dia menatap ke perempuan yang mengenakan gaun panjang berwarna merah yang menampakkan bahunya.

"Kemarin sebelum Mama ngajak ketemuan, Mama lihatin foto kami waktu kecil sih, Tante. Jadi Cilla ingat."

"Nah tuh, Tristan. Cilla ingat, coba deh, siapa dulu teman kamu yang paling sering kamu buat nangis gara-gara sering kamu takutin cicak?" Mayang mengalihkan pandangan ke putranya.

Bibir pria yang mengenakan kemeja hitam itu sedikit mengembang. Perlahan dia ingat kenangan masa kecilnya. Sedekat itu memang, tapi itu dulu, sekarang sepertinya agak sulit baginya untuk bisa kembali dekat seperti dulu. 

"Ya udah, sepertinya kalian memang harus jalan dulu berdua, biar bisa saling mengingat satu sama lain." Mayang menatap Tristan dan Cilla bergantian. "Tristan, kamu aja Cilla jalan deh. Terserah ke mana, mungkin ke tempat yang vibes-nya lebih anak muda, bisa?" imbuhnya.

Tristan terlihat keberatan, dia lalu menoleh ke Hasim. Papanya itu hanya mengangguk seolah memberi isyarat agar tidak menolak permintaan mamanya.

"Oke, Ma. Ayo, Cilla. Permisi Om, Tante."

Kedua orang tua Cilla mengangguk setuju. Sementara perempuan berambut lurus sebahu itu tersenyum lalu bangkit sembari menenteng tas tangannya.

**

Renjani tersenyum tipis melihat Axel membawa nampan berisi makanan juga minuman untuknya. Malam itu dia tidak sengaja bertemu Axel saat berada di sebuah pusat perbelanjaan. Renjani yang tadinya ingin langsung pulang setelah membeli beberapa keperluan, dengan agak terpaksa mengikuti ajakan pria itu untuk sekadar minum kopi dan menikmati kudapan di sebuah koffe shop yang cukup terkenal.

"Kantor nggak semarak nggak ada kamu, Jani." Axel membuka pembicaraan setelah duduk dan meletakkan nampan di meja.

Ucapan itu ditanggapi senyum tipis oleh Renjani.

"Semua akan terbiasa pada akhirnya, Axel."

Pria berkaus hitam itu mengangguk samar. Dia menyesap cappucinonya lalu kembali meletakkan ke tempat semula.

"Kamu benar, tapi apa yang kamu lakukan setelah tidak lagi bekerja?"

Melihat Renjani seperti enggan menjawab, Axel buru-buru meralat, "Maksudku, kamu nggak mungkin diam aja dong. Aku tahu basicmu dan kupikir akan banyak perusahaan yang mau menerimamu kalau kamu bergabung dengan mereka."

Renjani menarik napas dalam-dalam. Dia mengambil kentang goreng di depannya dan perlahan menikmati.

"Ada banyak hal yang ingin ku kerjakan, tapi kupikir untuk saat ini membiarkan hal itu jadi rahasia adalah hal terbaik," jawabnya sembari tersenyum tipis.

"Iya juga sih." Axel tertawa kecil.

"Eum, Jani."

"Ya?"

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Asal tidak tentang kenapa aku resign dan kenapa aku menjauh dari Tristan."

Axel tertawa.

"Aku pikir kamu sudah tahu. Iya, 'kan?" tanyanya tanpa menoleh.

"Maaf, Jani, tapi memang aku sudah tahu, tapi aku nggak percaya."

"Lebih tepatnya mencoba untuk tidak percaya," imbuhnya.

Menarik napas dalam-dalam, Renjani meraih gelas berisi lemon tea hangat hingga tersisa separuh.

"Aku malas membicarakan soal itu, Axel. Kita bicara yang lain saja," ungkapnya tegas.

"Kamu pasti tahu bagaimana rasanya saat kehidupan yang seharusnya menjadi rahasia kini menjadi konsumsi publik. Ya, meskipun aku bukan selebriti." Renjani sedikit menyungging senyum pada akhir kalimatnya.

"I know, Jani. Oke, aku nggak akan tanya apa pun tentang itu."

"Thank you, Axel."

Sejenak mereka saling diam. Karena memang pada awalnya Axel ingin sekali tahu perihal ini langsung dari bibir Renjani. Akan tetapi, saya bertemu perempuan bermata indah itu dan berbicara dengannya, timbul rasa iba.

"Eum ... kamu sudah mau pulang?"

"Iya."

"Kalau aku ajak jalan lagi gimana?"

"Jalan ke mana?"

"Main!"

"Main di Timezone!"

Tawa Renjani pecah, tak menyangka Axel akan mengajaknya ke arena bermain.

"Biar nggak tegang. Mau?"

Renjani mengangguk.

"Sudah lama banget aku nggak ke sana. Okelah!" ujarnya masih dengan tawa.

"Good!" Axel terlihat lega dan tentu saja bahagia.

**

Untuk pertama kalinya, dia bisa tertawa lepas setelah dirundung kenyataan yang menyakitkan. Bersama Axel sejenak dia bisa mengalihkan rasa luka yang sebenarnya sangat sulit untuk disembuhkan. Meski Renjani tahu tawa dan bahagia ini hanya sekejap, tetapi baginya sudah cukup dengan memiliki teman seperti Axel. 

Pria berambut sedikit ikal itu bisa mengerti apa yang diinginkan. Bahkan Axel tidak lagi bertanya soal apa pun yang menambah kesedihan padanya.

Sementara bagi Axel membuat Renjani memamerkan deretan gigi putihnya adalah hal terbaik yang sudah dia lakukan. Tristan tak salah menilai perempuan itu. Renjani adalah sosok baik dan mandiri. Tentu saja selain cantik dia adalah sosok sederhana di balik kecerdasan yang dia miliki. Pantaslah bila Tristan selalu bangga bercerita tentang kekasihnya kala itu.

"Kenapa kamu lihat aku seperti itu, Xel?" Renjani menoleh sejenak lalu kembali ke permainan.

Axel tersenyum sembari bergumam, "Kamu cantik!"

"Hmm? Apa? Kamu bicara apa barusan?" Kembali dia menoleh sembari menyelipkan rambut ke telinga.

"Oh nggak! Aku nggak bicara apa-apa, cuma ...."

Mata Axel menyipit mengamati seseorang yang sangat dia kenal sedang bermain tak jauh dari tempat mereka. 

"Tristan? Sama siapa dia?" batinnya seolah khawatir jika Renjani melihat apa yang dia lihat.

"Axel?" Renjani mengernyit, kalau mengikuti arah tatapan Axel.

Tubuhnya seperti membeku, tak ada yang terucap dari bibir Renjani. Kedua matanya nanar melihat pemandangan yang tak jauh dari tempatnya. Perlahan kenangan kembali muncul. Kenangan saat dia dan Tristan menghabiskan waktu berdua di tempat serupa. Saat itu semua masih terasa indah bahkan sangat indah.  

Menyaksikan kebahagiaan Tristan, perlahan terasa ada yang menusuk batinnya. Ada kepiluan bersarang memenuhi hati. Meski dia tahu hal itu tentu akan lebih baik daripada Tristan terus berharap pada sesuatu yang tidak mungkin bisa diwujudkan.

"Eum, kita pindah ke tempat lain aja yuk!" ajak Axel sembari meraih tangan Renjani seolah tahu perasaan perempuan itu.

Menarik napas dalam-dalam, dia mengangguk kemudian beranjak mengikuti langkah Axel. 

"Aku anterin kamu ke mana pun kamu mau. Kamu mau ke mana?" tanyanya  setelah mereka menjauh dari tempat itu. Terlihat jelas kecemasan di wajah Axel.

"Aku ... aku mau pulang aja, Xel. Nggak apa-apa, 'kan? Maaf." Renjani melepaskan genggaman tangan Axel.

"Maaf., aku cuma ...." 

"Aku tahu. Makasih, ya," sela Renjani sembari menarik kedua sudut bibirnya.

"Jadi kamu mau pulang?"

"Iya."

"Kamu yakin nggak apa-apa?"

"Percayalah, aku nggak pernah merasa sebaik ini setelah semua yang terjadi, Xel."

Pria berdagu belah itu mengangguk samar. Meski dia bisa merasakan apa yang tengah bergejolak di dalam hati perempuan di depannya.

"Oke, bye, Axel," pamitnya melangkah sembari melambaikan tangan 

"Bye, Jani. Eum, Renjani!"

"Ya?"

"Can I call you any time?"

"Sure!" Kali ini Renjani melebarkan bibirnya.

Menghela napas lega, Axel ikut tersenyum. 

"Thank you! Take care!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top