Bukan Anak Haram 13
Renjani meletakkan kotak berisi berkas-berkas kantornya. Matanya sayu dan tampak tak bersemangat seperti biasanya. Dunianya seperti berhenti sejak tahu jika dirinya adalah anak dari Hasim. Dunia ini sungguh sempit dan bahkan tidak pernah menyuguhkan kebahagiaan yang sedemikian rupa dia tunggu.
Menarik napas dalam-dalam, Renjani bangkit melangkah ke kamar almarhum ibu angkatnya. Kamar itu terlihat sangat bersih dan terawat. Menurut Bu Sum, yang biasa membersihkan rumah ini, beberapa waktu lalu ada dua orang berbeda yang datang menanyakan detail soal Bu Yani. Namun, sayangnya Bu Sum tidak mendapatkan info apa pun tentang identitas orang yang bertanya tersebut.
"Yang satu bertanya soal Bu Yani dan yang satu lagi lebih penasaran pada Mbak Renjani."
"Penasaran?"
"Iya, Mbak, karena orang itu bertanya di mana Mbak Renjani tinggal dan dengan siapa Mbak menikah."
Penuturan Bu Sum mengusiknya. Renjani tahu jika dirinya adalah anak angkat Bu Yani, tetapi selama diasuh oleh Bu Yani, dirinya sama sekali tidak pernah mendapatkan cerita atau gambaran tentang kedua orang tuanya.
"Jika benar aku anak Papa Hasim, seharusnya Ibu menceritakan hal itu, tapi kenapa beliau menyembunyikan? Lalu siapa mamaku? Apakah benar kabar jika mamaku bukan perempuan baik-baik?" Dia membatin.
Perlahan Renjani mendekat ke meja dan membuka laci yang terletak tak jauh dari ranjang. Berharap menemukan sesuatu yang bisa menjawab rasa penasarannya. Akan tetapi, tak ada apa pun di sana. Laci itu kosong. Dengan paras kecewa dia mendorong laci itu kembali. Kembali dia menarik napas dalam-dalam sembari mengedarkan pandangan. Kali ini Renjani tertarik untuk melangkah ke lemari.
Seperti tadi, dengan hati-hati dia membuka lemari kayu berukir tersebut. Tak ada baju sehelai pun di sana, tetapi ada album kecil tergeletak di dalamnya. Dadanya sedikit bergemuruh, ada harapan besar agar dia bisa menemukan kunci dari semua pertanyaan.
Dengan rasa penasaran dia membuka album kecil yang terlihat usang itu. Ada foto bayi mungil sedang dipangku oleh seorang perempuan yang dia tak tahu siapa, sementara di sebelahnya Bu Yani. Mereka berdua terlihat tersenyum bahagia dan terlihat sangat akrab. Tanpa harus bertanya pada siapa pun dia tahu jika bayi itu adalah dia. Lembar selanjutnya lagi-lagi dia melihat perempuan itu sedang duduk berdua saja dengan Bu Yani.
"Siapa dia? Apa dia mamaku?" gumamnya. Dahinya berkerut saat melihat kertas yang diselipkan di lembar album tersebut. Tertulis dengan tulisan tangan namanya di sana.
"Ini bukan tulisan Ibu. Tulisan ibu tidak sebagus ini. Jadi siapa yang menulis namaku? Kenapa kertas ini ada di sini?" Renjani bermonolog. Matanya menyipit mencoba mengeja tulisan kecil di bawahnya. Tulisan itu terletak di ujung kertas dan sangat kecil.
"Savitri? Siapa Savitri?" Saat dirinya tengah memutar otak mencari jawaban, terdengar pintu di ketuk.
"Renjani, Renjani buka pintunya. Ini aku!"
Suara yang tak asing itu membuatnya lebih panjang menarik napas.
"Renjani, tolong bukakan pintunya. Aku ingin bicara, Renjani."
Tak ingin Tristan membuat tetangga bertanya-tanya, gegas dia membuka pintu. Sejenak kedua insan itu saling bertukar pandang. Ada kerinduan yang mendalam terlihat di mata mereka masing-masing.
"Ada apa, Mas? Aku, 'kan sudah bilang, kita harus menjaga jarak karena ...."
Tak memedulikan ucapan Renjani, pria bertubuh tinggi itu masuk melewatinya.
"Karena kita harus belajar saling melupakan. Itu, 'kan yang akan kamu katakan?" Dia membalikkan badan memangkas jarak dengan Renjani.
"Nggak bisa. Aku nggak bisa, Renjani." Suaranya begitu lembut , tetapi sangat tegas. "Biarkan aku tetap menjagamu. Biarkan aku tetap tahu di mana kamu berada. Biarkan aku tetap bisa melihatmu kapan pun aku mau, meski posisiku sudah bukan seperti dulu lagi, tapi biarkan aku memastikan kamu aman dan baik-baik saja."
"Apa itu?" Tristan menatap kertas dan album yang masih berada di tangan Renjani.
"Hanya foto lama. Bukan apa-apa." Dia memasukkan kertas tersebut ke dalam album, tetapi terjatuh. Gegas Tristan mengambil dan membaca tulisan di kertas itu kalau menyerahkan kembali ke Renjani.
"Renjani."
Perempuan yang mengerti rambutnya itu mendongak menatap Tristan.
"Aku sudah bicara dengan Papa."
"Bicara apa?" Renjani melangkah menuju sofa dan menghenyakkan tubuhnya di sana.
"Soal kita dan ...."
"Dan?"
"Aku juga sudah bicara dengan Papa soal kamu, tapi ...."
Tristan menarik napas dalam-dalam.
"Tapi Papa bilang tidak tahu apa-apa. Papa bilang dia memang pernah melakukan hal yang membuat Mama hampir gila, tapi hal itu sudah dihindarinya sampai saat ini dan menurut Papa ... papa tidak pernah memiliki anak dari kesalahannya itu."
"Lalu? Buat apa Mas ke sini? Aku adalah kesalahan yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh siapa pun!" Suaranya bergetar.
Dia bergeming. Sungguh! Jika disuruh memilih, Renjani lebih memilih untuk menyembunyikan identitasnya selamanya dari siapa pun. Karena kenyataan dirinya dibuang adalah kenyataan yang cukup menyakitkan untuknya.
"Berhenti bicara seperti itu, Renjani. Bahkan jika tidak seorang pun yang menginginkanmu, ada aku, Renjani! Aku ... aku yang sangat menginginkanmu."
Tristan mendekat lalu duduk di samping Renjani.
"Berhentilah, Mas. Berhenti berpura-pura jika tidak terjadi apa-apa pada hubungan kita. Aku bukan Renjanimu yang dulu."
"Siapa bilang begitu? Bagiku kamu tetap Renjaniku meski ... sangat sulit untuk mengatakan dan mengakui jika kamu adikku," tuturnya lirih dengan wajah kecewa.
"Aku akan berusaha menyampaikan hal ini ke Papa.'
"Nggak perlu, Mas. Nggak perlu. Jangan mengubah kondisi ini. Karena untuk menyadari hal ini aja aku masih sulit. Jadi tolong, kamu nggak perlu berbuat apa pun."
"Tapi, Renjani kamu ...."
"Please." Renjani mengangkat tangannya memberi isyarat agar Tristan menghentikan kalimatnya.
"Sekarang Mas pergi, ya. Maafkan aku. Tolong kalau semua urusan sudah selesai, Mas kirim email surat perceraian itu ke aku ya.
Renjani beranjak dari duduk kemudian melangkah menuju pintu.
"Pulang, Mas!"
Tristan bergeming. Dia kemudian meletakkan amplop besar berwarna cokelat ke meja. Masih dalam posisi semula dia menoleh ke Renjani.
"Aku menolak surat pengunduran dirimu." Tristan mengusap wajah kasar kalu bersandar menatap langit-langit. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Renjani? Kamu berpikir untuk menjauh dariku?"
"Mas."
"Semudah itukah?"
"Mas Tristan! Entah berapa kali aku harus menjelaskan kalau ini semua kulakukan untukmu. Untuk kita!"
"Untukku? Menyadari semua ini saja aku sakit, Renjani. Kalau ditambah kamu yang berusaha secepat itu menjauh ... apa kamu tidak terluka? Awalnya kurasa kita akan sama-sama luka, tapi ternyata kamu ...."
"Mas, cukup! Berhenti mencari siapa yang paling terluka. Jika boleh jujur, aku, Mas. Aku yang paling sakit di sini. Aku yang begitu berharap memiliki seseorang yang mencintai, dan sudah kutemukan pada dirimu, tapi ternyata kenyataannya ...." Renjani menarik napas dalam-dalam. Dia melangkah mendekat ke jendela. Kedua tangannya dilipat ke dada.
"Perasaan cinta itu harus bisa diubah. Dari cinta ke pasangan dan kini harus berubah menjadi cinta terhadap saudara. Apa kamu pikir aku bisa secepat itu mengubahnya?" tuturnya lagi dengan suara bergetar.
Air mata Renjani mulai berjatuhan, pipinya yang bersih itu memerah karena tangis. Bukan hanya kenyataan soal Tristan yang menyakitinya, tetapi kenyataan bahwa Hasim merasa tidak pernah memiliki anak saat melakukan kesalahan di masa lampau itulah yang juga sangat membuatnya terluka.
"Pulanglah, Mas. Tolong, jangan bicarakan apa pun pada papamu."
"Tapi ...."
"Please. Akan lebih baik Mas lupakan aku. Anggap semua yang pernah terjadi hanya sekelebat mimpi yang tak perlu diingat-ingat lagi."
Tristan menarik napas dalam-dalam lalu bangkit mendekati Renjani.
"Kamu tahu, Renjani. Aku sampai saat ini tidak bisa bekerja dengan baik karena ini semua. Aku sadar ternyata aku tidak bisa jauh darimu."
"Semua akan berubah saat kamu menemukan perempuan lain, Mas. Kamu bebas menentukan siapa yang jadi pendampingmu. Lupakan aku.," tuturnya tanpa menoleh karena ingin menyembunyikan air mata yang seolah tak ingin berhenti berderai.
Tristan mengusap wajahnya.
"Oke, apa yang membuatmu bahagia sekarang?"
"Sendiri. Kesendirian yang buat aku bahagia."
"Kamu tidak ingin ada aku?"
Dia menggeleng masih tanpa menoleh.
"Apa itu akan baik untukmu?"
"Tentu saja."
Tristan mengangguk samar. Dia lalu mundur dan melangkah menuju pintu.
"Mas Tristan."
"Ya?"
"Maaf , aku hampir lupa." Renjani melepas cincin kawinnya. "Benda ini tidak berhak lagi kumiliki. Terima kasih untuk semuanya." Dengan wajah tunduk dia meraih tangan Tristan dan meletakkan cincin berlian itu di telapak tangannya.
"Hati-hati di jalan. Ingat, kamu nggak boleh makan makanan yang terlalu pedas!" ujarnya sembari mencoba menarik kedua sudut bibirnya meski air matanya lagi-lagi terus berlinang.
Tanpa berkata-kata, Tristan merengkuh tubuh Renjani dan membenamkan kepala perempuan itu ke dadanya. Kembali dua insan itu saling melepas rindu yang tertahan karena status mereka tabu untuk dilanggar.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top