Bukan Anak Haram 12


Perlahan mobil Renjani menepi tepat di sebuah rumah yang tidak begitu besar. Meski rumah itu lama tak ditinggali, tetapi terlihat bersih karena setiap hari ada orang yang diminta Renjani untuk merawat serta membersihkan kediaman ibu angkatnya tersebut.

Dari kaca spion dia tahu Tristan mengikutinya. Renjani menarik napas dalam-dalam. Siapa sangka jika hidup yang baru saja dia bangun berdua dengan pria itu harus luluh lantak karena riwayat masa lalunya. Siapa sangka jika ternyata papa Tristan adalah papanya juga. 

Terlintas bayangan Hasim di kepalanya. Seorang pria paruh baya yang bijak, dengan senyum hangat dan tatapan mata penuh kasih itu adalah ternyata papanya. 

Papa yang seharusnya hadir saat dia membutuhkan. Papa yang seharusnya bahagia saat dia hadir di dunia, dan Papa yang seharusnya selalu membersamai anak perempuannya saat melepas masa lajang. 

Memang benar, Hasim Abimanyu datang saat pernikahannya, tetapi bukan untuk menikahkan dirinya. Hasim ada di sana untuk menyaksikan dirinya menikah dengan Tristan yang belakangan diketahui adalah kakaknya.

Menarik napas panjang, Renjani keluar dari mobil.

"Renjani."

"Mas Tristan, aku baik-baik saja. Sebaiknya Mas pulang," tuturnya tanpa menoleh. 

"Oke, tapi tolong, kumohon kamu jangan pernah tidak menjawab teleponku."

Tak ada sahutan dari Renjani. Dia hanya menoleh sejenak kalau menyungging senyum dan melangkah meninggalkan Tristan yang masih berdiri di luar pagar.

"Renjani!"

Meski berat, tak urung membuatnya membalikkan badan saat sudah berada di depan pintu.

"I love you!" 

Suaranya terdengar bergetar, membuat mata Renjani kembali berkaca-kaca. Sakit! Jika dulu dia sangat bahagia mendengar tiga kata itu, tetapi sekarang kalimat itu membuat hatinya semakin remuk.

*

Jika ditanya kepada setiap orang, sudah pasti tidak ada yang menginginkan perpisahan seperti apa pun kondisi dan caranya. Pun demikian dengan Tristan. Sudah hampir satu pekan dia berangkat kerja selalu terlambat dan di kantor pun lebih memilih asistennya yang meng-handle semua yang berurusan dengan dirinya.

Renjani benar-benar menunjukkan kesungguhan jika dirinya ingin sendiri. Perempuan berkulit bersih itu sama sekali tidak menjawab telepon atau pesannya. Bahkan meski beberapa kali Tristan bertandang ke kediamannya, Renjani tetap bergeming tak membukakan pintu untuknya.

Kabar perceraian putranya tentu saja membuat Mayang bernapas lega, begitu juga dengan Wigati. Kedua saudara itu yang paling tahu apa yang sedang terjadi saat ini. 

"Apa Tristan mengatakan hal yang sesungguhnya soal penyebab perceraiannya kepada Hasim?" 

Menarik napas dalam-dalam, Mayang menggeleng.

"Aku melarangnya."

"Dia tidak bertanya kenapa?"

Tanpa menoleh, Mayang bertutur, "Aku sedikit mengancamnya."

"Mengancam? Kenapa?"

"Wigati, kalau aku tidak mengancamnya, bisa-bisa semuanya terbongkar dan aku nggak mau itu terjadi. Kamu tahu sendiri bagaimana perasaan Tristan ke anak haram itu!"

"Tapi dia juga menyayangimu, Mayang."

Mayang mengangguk. Teringat bagaimana dia mengatakan hal bohong pada Tristan.

"Papamu tidak tahu jika dia memiliki anak, saat berselingkuh dulu. Perempuan yang ingin merebut papamu itu adalah perempuan yang kini gila dan tidak seorang pun tahu di mana dia. Kredibilitas Papa akan menurun jika semua orang tahu. Yang sudah berlalu biarkan berlalu. Sekarang kamu yang harus menjaga nama baik keluarga Abimanyu," ucapnya panjang lebar.

"Seperti yang pernah Mama bilang ke kamu, Tristan. Mama hampir mati, karena perempuan itu. Dia terus menerus meneror Mama supaya Mama membiarkan hubungan terlarang mereka.  Supaya Mama melepas Papamu."

Tristan terpekur menatap lantai yang dia pijak. 

"Hanya tante Wigati yang menemani dan membantu Mama kala itu, hingga akhirnya Savitri bisa kami jauhkan dari papamu."

Meski dia menangkap ketidakpuasan dari paras Tristan, tetapi Mayang merasa lega karena putranya itu tidak lagi bertanya apa pun.

"Mama harap kamu mengerti dan bisa diajak kerjasama demi ketenangan papa dan mama," pintanya yang ditanggapi anggukan oleh sang putra.

"Mayang." Tepukan tangan Wigati di bahu membuatnya sedikit terkejut.

"Satu masalah sudah selesai, ingat, Savitri masih ada, dan sekarang ada di sini, di kota ini. Dia bisa saja tiba-tiba muncul di depan kita atau bahkan bertemu Hasim."

Mayang menggerutu. Wajahnya tergambar cemas dan  kekesalan yang mendalam. Peristiwa lampau kembali tergambar. Bagaimana dia dan Wigati mencoba mencelakai Savitri dengan membuat rem mobilnya blong kala itu, tetapi rupanya Tuhan masih menjaga perempuan yang sedang hamil itu sehingga dia dan bayi yang dikandung selamat.

"Kamu harus cari tahu, Wigati. Aku juga akan menyewa detektif swasta untuk menelusuri jejak perempuan itu."

Adiknya itu mengangguk. Tentu saja dia akan terus berusaha membantu sang kakak, karena bjika tidak, bisa saja sewaktu-waktu apanyang ditakutkan terjadi. Savitri muncul dan memenjarakan dirinya karena telah berusaha mencoba melakukan pembunuhan beberapa tahun yang lalu.

"Oh iya, Axel gimana? Apa dia bisa mengorek sesuatu pada Renjani?"

"Aku belum ketemu Axel, dia lebih sering di apartemennya daripada di rumah, tapi aku akan coba hubungi nanti."

Mayang mengangguk lalu menarik napas dalam-dalam. Masalah yang dia hadapi kali ini tidak sesimpel dulu. Jika dulu dia hanya berpikir untuk menyingkirkan Savitri, tetapi kini dia harus berpikir menyingkirkan dua perempuan sekaligus dan tentu saja berupaya membuat Tristan tidak lagi mengorek tentang masa lalunya.

**

"Apa ini?" Axel memindai tajam Renjani yang baru saja menyerahkan amplop besar berwarna cokelat. Jelas wajah istri bosnya itu tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Surat pengunduran diri."

"What? Aku nggak ngerti, Jani."

"Kamu nggak perlu mengerti, tapi sampaikan surat ini ke atasanmu."

Dahinya berkerut mendengar penuturan Renjani. Dia melihat kalender lalu tertawa kecil.

"It's not my birthday, don't surprise me, Renjani."

"Aku tahu, justru karena ini bukan hari ulang tahunmu, jadi aku tidak membuat kejutan apa pun," ujarnya sembari berkemas membawa box yang baru saja dia ambil di ruangannya. "Aku pulang!" 

Perempuan berambut sebatas punggung itu membalikkan badan tanpa basa-basi seperti biasanya.

"Renjani, tunggu!' Axel mengambil langkah cepat sehingga dia bisa mencegah langkah Renjani.

"Minggir, Axel! Aku harus segera pulang!" 

"No! Aku ada di timmu, dan aku harus tahu kenapa kamu tiba-tiba mengajukan surat pengunduran diri?" Axel masih berdiri di depan Renjani.

"Sori, aku punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Setidaknya untuk saat ini dan ... kamu akan tahu nanti! Please, minggir!"

Melihat tak ada senyum di bibir Renjani, Axel tak lagi mencegah perempuan berkulit bersih itu meninggalkan kantor mereka.

"Masa lalu Pakde kamu itu tidak semulus yang kamu ketahui. Dia punya anak perempuan dan anak itu adalah istri Tristan!" Ucapan sang mama beberapa waktu lalu terngiang.

"Jika memang benar ... pasti Renjani sangat sedih, dan sudah barang tentu Tristan hancur. Tapi apa itu semua benar? Tapi kalau tidak benar ... untuk apa Mama berusaha mencari tahu sampai akhirnya terbukti seperti saat ini?" Berbagai pertanyaan bermunculan di benaknya. 

Ada dua sisi perasaan yang kini memenuhi hatinya. Satu sisi merasa iba dan tidak ingin percaya hal itu benar, sementara di sisi lain, dia merasa Renjani butuh seseorang yang bisa menenangkan dirinya karena perempuan itu benar-benar sendiri. Selain itu dirinya merasa bisa menjadi teman yang lebih dekat lagi untuk Renjani.

**

Masih menarik untuk dinikmati gak nih cerita? Kalau membosankan aku bungkus ajah😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top