Bukan Anak Haram 10
Tristan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sang istri yang juga tengah menatapnya.
"Nggak apa-apa, kita pulang sekarang?"
Meski Renjani tak puas dengan apa yang dia dengar, tetapi tak urung dia mengangguk saat suaminya mengajak pulang.
"Mas."
"Hmm?"
"Aku tadi udah masak, kita makan di rumah, ya?"
"Oke. Ayo!"
Mereka melangkah meninggalkan ruangan tersebut sembari saling bergandengan. Jelas terlihat kegundahan di paras Tristan. Sepanjang perjalanan hidupnya, baru kali ini dia merasa sangat berat. Berat harus berpisah dengan Renjani, meski cintanya demikian kokoh mengakar.
**
Ria membelalakkan mata mendengar cerita Renjani. Perempuan yang sudah sangat mengenal Renjani itu tak percaya dengan apa yang dituturkan sahabatnya.
"Kamu serius, Jani?"
Sembari mengusap pipi, dia mengangguk. Sebagai perempuan dan seorang istri dia merasa sudah sedemikian rupa berusaha membuat Tristan bahagia. Semua cara dia coba agar suaminya itu kembali seperti semula. Dari mulai usaha di ranjang, hingga di dapur, semua sudah dicoba, tetapi Tristan bergeming. Suaminya itu selalu membuat alasan agar mereka tidur terpisah.
"Aku capek, Ria. Aku nggak tahu kenapa, tapi kurasa dia memang berusaha menjauhiku."
"Kamu sudah tanya kenapa?"
"Ribuan kali kutanya, tapi dia selalu bicara nggak ada apa-apa. Kalau nggak ada apa-apa, kenapa dia seperti itu?" Lagi-lagi dia mengusap air mata.
"Jani, coba kamu tanya ke mama mertua, kan menurutmu semenjak dia pulang dari rumah mamanya, dia jadi berubah."
Renjani menatap kosong. Bagaimana mungkin dia tanya ke Mayang jika perlakuan mama mertuanya itu tidak pernah ramah padanya. Selain itu sudah pasti dia yang akan tetap jadi sasaran kesalahan karena mana ada orang tua yang menyalahkan anaknya.
"Nggak mungkin, Ria. Itu ngga mungkin kulakukan."
"Kenapa?"
"Nggak! Ini adalah masalahku dengan Mas Tristan, jadwal kurasa biar kami yang mencari jalan keluarnya."
Ria terdiam. Sore itu sepulang kerja, Renjani memutuskan untuk bertemu Ria di sebuah kafe kecil yang dulu sering dia kunjungi bersama dengan Renjani. Semenjak Renjani berpacaran dengan Tristan, mereka hampir tidak pernah lagi mampir ke kafe itu.
"Kalian itu baru saja menikah, masih pada hitungan bulan, tapi kenapa jadi begini?" Dia menatap Renjani yang matanya berkaca-kaca.
"Ria."
"Ya?"
"Apa Mas Tristan punya perempuan lain?"
"What?"
"Kamu sekarang yang lebih tahu. Karena kamu sekantor dengan suamiku."
"Nggak, Jani. Aku nggak pernah lihat ada yang aneh dari suamimu, tapi memang belakangan ini dia agak sering uring-uringan."
"Kami semua nggak tahu kenapa, pokoknya Pak Tristan nggak seperti biasanya," imbuh Ria.
"Aku rasa, aku harus tahu penyebabnya. Karena kalau cuma menunggu dan mencari jawaban dari Mas Tristan, aku yakin ini semua nggak akan terjawab." Renjani meraih tas tangannya lalu memasukkan ponsel ke dalamnya.
"Kamu mau ke mana?"
"Entah, tapi aku harus tahu secepatnya."
**
Bagi Renjani rumah tangganya adalah hal utama buang harus dipertahankan. Apa pun alasannya. Mencintai Tristan dan membuat komitmen dengan pria itu adalah bukan hal yang main-main. Sudah begitu panjang perdebatan antara dia dan pria itu sebelum mereka memutuskan untuk menikah.
Namun, siapa sangka jika pernikahan yang masih seumur jagung itu harus menemukan sandungan seperti ini? Bahkan dirinya pun tak paham apa sebenarnya yang terjadi hingga membuat sang suami berubah dingin.
Renjani terus mengemudikan mobilnya, hingga akhirnya dia menepi tak jauh dari kantornya dulu. Kantor tempat awal mula cintanya bersemi. Kantor dia dan Tristan adalah tempat paling memiliki sejarah indah baginya.
Jam sudah menunjukkan enam sore. Dia tahu Tristan pasti belum pulang, karena mobil sang suami masih terparkir di sana. Menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menelepon sang suami, meski kemungkinan kecil diangkat.
Saat hendak mengetuk gambar telepon pada kontak Tristan, matanya menangkap sosok perempuan keluar dari kantor. Perempuan itu terlihat tengah berbicara dengan sang suami yang berjalan bersamanya.
Melihat hal itu sontak genangan air terlihat di matanya. Mungkin akan jadi biasa jika hubungannya dengan sang suami tidak terjadi apa-apa, tetapi akan menjadi hal yang menyakitkan mengingat hubungan antara dirinya dan Tristan sedang tidak baik-baik saja.
"Apa mungkin ini jawabannya? Apa mungkin dia yang menyebabkan Tristan berbeda belakangan ini? Semudah itukah dia mengganti perasaannya?" batin Renjani dengan mata tak beranjak dari dua orang yang masih terlihat bercakap-cakap tersebut.
Tak ingin otaknya terus menerus dipenuhi pertanyaan, Renjani segera turun dari mobil, bergegas mendekati keduanya.
"Mas Tristan!"
"Renjani?"
"Eum, kenalkan ini Renjani. Renjani, ini Farah, klien baru perusahaan kita," terang Tristan.
Kedua perempuan itu saling melempar senyum dan mengulurkan tangan sembari menyebut nama masing-masing.
"Kebetulan kami dulu satu kampus, dan dia kenal baik dengan Tante Wigati."
Renjani hanya mengangguk dan menyungging senyum tipis.
"Oke, Tristan, Renjani, aku balik dulu, maaf sudah menyita waktu karena aku datang sudah lewat jam kantor."
"Nggak apa-apa, Farah, lagipula aku juga belum pulang jadi itu bukan masalah."
Farah mengangguk lalu kembali berpamitan setelah kemudian menghilang bersama dengan mobilnya.
Tristan menoleh ke arah Renjani yang memandang kosong.
"Renjani?"
"Apa maumu, Mas?"
"Hei, kamu bicara apa?"
"Apa aku sudah tidak lagi penting untukmu?"
Pria yang mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku itu menarik napas dalam-dalam.
"Ikut aku!" titahnya meraih tangan sang istri. "Kita bicara di dalam."
Tak membantah, Renjani mengekor hingga ke ruangan kerja suaminya.
"Kamu kenapa, heum?" Seperti biasa, suara Tristan selalu lembut dan selalu membuat emosinya mereda.
"Aku yang seharusnya tanya Mas kenapa. Aku yang seharusnya bingung, Mas!" Air mata Renjani tumpah begitu saja.
"Hei, kamu nangis? Renjani, aku nggak kenapa-kenapa." Dia mengusap air mata yang membasahi pipi sang istri.
"Aku capek, Mas. Semua upaya sudah kulakukan, tapi Mas semakin menjauh. Sebenarnya ada apa? Apa yang Mas sembunyikan dari aku? Katakan!"
Tristan tampak membasahi tenggorokannya. Suka tidak suka dia harus mengatakan ini meski pasti sangat menyakitkan.
"Maafkan aku, Renjani. Maafkan aku, tapi ... ada yang harus kamu ketahui kenapa aku seperti ini."
Renjani menoleh menatap lekat pada sang suami.
"Kenapa, Mas? Ada apa?"
"Kamu ...." Dia menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya ini tidak boleh terjadi, tapi kita mungkin harus menyerah pada kenyataan meski kamu tahu sedalam apa aku mencintaimu."
"Mas Tristan bicara apa?"
"Kita harus berpisah."
Datar, tetapi begitu menyayat terasa di hati Renjani. Parasnya sontak berubah menegang, kedua mata indahnya membulat dengan air mata yang lagi-lagi mengalir.
"Berpisah? Maksudnya?"
"Ya. Kamu aku bebaskan dari pernikahan ini," jawabnya pelan, tetapi ada penekanan di sana.
"What? Mas Tristan menceraikanku?" Suaranya bergetar.
"Maafkan aku, Renjani, tapi ini yang terbaik untuk kita."
Renjani menggeleng, dia membuat jarak ketika Tristan ingin meraih tangannya.
"Nggak! Apa-apaan ini! Aku salah apa, Mas? Kenapa Mas begitu mudahnya mengatakan itu tanpa alasan? Katakan kenapa!" Dia mulai histeris.
"Renjani, sebenarnya aku tidak ingin ini terjadi, karena aku sangat mencintaimu, tapi aku nggak mungkin melanjutkannya.
"Katakan kenapa! Apa karena aku tidak memiliki keturunan yang jelas? Itu alasannya? Jika iya, bukannya itu dulu sudah ku ungkapkan, Mas! Kenapa baru sekarang? Kenapa?"
"Bukan itu, Renjani aku sama sekali tidak pernah mempermasalahkan itu, tapi memang ternyata sepenting itu mengetahui latar belakang seseorang. Sungguh, Renjani, ini sangat membuatku sakit hati juga."
*****
Terima kasih sudah mampir ke lapak ini.
Semoga suka kisahnya yaa.
Oh iya, di KBM App udah sampai bab 14
Salam hangat 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top