Pencarian

POV Citra


Setelah mendapat restu dari Ibu, dengan mantap aku berangkat. Aku memang sudah berencana dari jauh-jauh hari untuk berobat ke dokter yang direkomendasikan oleh temanku, Rini. Di malam kami berkumpul dan berbagi kisah setelah lama tak bejumpa dalam satu rumah.

Ibu membuka gerbang dan aku bersiap dengan motor yang sudah menyala.


"Jangan terlalu malem pulangnya ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu," ucap ibu sembari tetap berdiri dengan posisinya, beliau masih memegang pagar rumah yang terbuka.

"Iya, Bu. Citra gak bakalan lama 'kok, cuma agak belok-belok dikit kok, hehe...."

"Kamu ini, dari dulu gak pernah berubah ya, Nak. selalu saja begitu," sahut Ibu tersenyum kecil. menatap wajah beliau yang semringah sudah mampu membuat suasana hatiku adem.

Kupacu motorku dengan kecepatan sedang, membuka kaca helm, membiarkan semilir angin yang menerpa wajah ini. 

Rasanya sudah sangat lama aku tak pernah keluar sendiri seperti ini, sejak penyakit asmaku yang mulai kambuh membuatku berdiam diri di rumah sepanjang waktu. Ibu juga melarangku untuk keluar rumah bahkan hanya sekedar duduk di teras pun tidak boleh.

Aku tak menyalahkan beliau, itu caranya untuk membuatku tetap aman dan nyaman meski ada beberapa larangannya yang menurutku tak masuk akal, tapi aku sebagai anak satu-satunya beliau, aku menurut apapun yang Ibu ucapkan. Toh' semua demi kebaikanku juga.

"Eh, bener gak sih ke sini jalannya?" gumamku diperjalanan, tiba-tiba saja aku menjadi ragu karena cukup lama aku tak jalan keluar seperti ini, jadi lupa arah jalan.

kutepikan motor ke pinggir jalan beberapa saat, ku check di map untuk memastikan tujuan, lalu setelah yakin, kulanjutkan kembali perjalanan ini.

beberapa saat kemudian aku sampai di tujuan, ternyata betul yang dikatakan Rini. tempat ini sangat ramai.

Menurut Rini, karena berobat di sini relatif murah biayanya, itu tempat praktek dokter ini tak pernah sepi. Bahkan saat aku sampai, antriannya lumayan panjang.

Untungnya pihak klinik menyediakan tempat duduk yang cukup untuk seluruh pasien yang sedang menunggu antrian, jadi kuputuskan untuk memilih tempat duduk yang masih kosong.

Cukup lama juga aku menunggu antrian panjang ini, hingga ada 2 jam lamanya akhirnya tinggal aku seorang yang ada di ruangan tunggu paling luar.

Rasa bosan mulai terasa, dan di saat yang sama aku dikagetkan oleh suara seseorang dari arah belakang. Aku pun menoleh dengan cepat.

"Mbak cantik, saya boleh minta tolong ndak, Mbak?" 

kulihat ibu ini berpakaian kumuh, dan dari logat ibu ini sepertinya beliau bukan asli orang sini.

"Iya, Bu. Ada apa? Apa yang bisa saya bantu?" tanyaku

"Lihat anak saya ndak, Mbak? tadi saya ke sini bertiga dengan anak saya, kakaknya masih 8 tahunan terus adiknya masih 6 tahunan. Tadi saya liatnya mereka masih main di depan klinik ini, tapi pas saya balik lagi, anak-anak saya udah gak ada," ujar Ibu itu panjang lebar.

Kulihat sekilas, kedua mata ibu ini mulai berembun. Sepertinya ia akan menangis, aku merasa tak tega jadinya, kuhampiri ibu itu.

"Ibu tadinya dari mana? kok anaknya bisa ditinggal begitu?"

"Saya tadinya sedang shalat, Mbak. Di masjid seberang sana," jawab ibu itu sembari menunjuk masjid yang ada di seberang jalan.

"Tolong saya ya, Mbak. Bantuin saya cari anak-anak saya, kasihan mereka masih kecil-kecil," Pinta ibu itu lagi, dari nada suaranya kali ini aku sangat yakin ia mulai tak kuasa menahan tangis.

"I-iya, Bu. Saya bantu cari anak-anaknya. Ayo, Bu," ajakku pada beliau.

Kami mulai pencarian di sekitar klinik ini, mungkin ada beberapa area yang tidak terlihat. Hingga mencoba ke melanjutkan pencarian ke seberang jalan. Bahkan Masjid pun tak luput dari pencarian kami berdua.

Kucoba tanya pada pihak pengurus masjid yang ada. Namun, ternyata ia juga tak menemukan anak dengan ciri-ciri yang kusebutkan.

Lalu kuputuskan untuk mengambil motorku yang masih terparkir di depan klinik, niatku ingin mempermudah pencarian sambil menggunakan kendaraan agar bisa dengan cepat menemukan anak yang kami cari.

Kuajak ibu tadi agar ikut denganku menaiki motor, meskipun Ibu itu sempat menolak.

"Ayo, Bu. kita cari anak-anaknya ibu pakai motor, supaya cepet nyarinya," ajakku.

"Ndak usah, Mbak. Makasih, saya mending jalan kaki aja," ucap beliau menolak,

"Udah gak papa, Bu. Biar kita lebih cepet nyarinya," pintaku lagi

"Nanti takut motornya kotor, Mbak. kalau saya duduk di situ," ucap beliau polos.

Hatiku terenyuh, beliau bersikeras menolak karna hal sepele. Aku paham maksudnya, karena banyak orang memandangnya sebelah mata, bahkan merendahkan orang-orang seperti mereka karena penampilan yang bau dan kotor. Namun, aku tak peduli dengan itu semua. Bagiku, selama kita hidup, kita harus saling tolong menolong terhadap sesama.

"Bu, saya gak menilai ibu dari penampilan. Ini niat saya untuk menolong Ibu agar kita bisa sama-sama nyari anak ibu. Jangan malu-malu," ucapku lagi mencoba meyakinkan beliau.

Cukup lama aku membujuk hingga akhirnya beliau mau untuk duduk satu motor denganku, lalu kupacu motor ini dengan kecepatan sedang. Mencoba membuat si Ibu senyaman mungkin selama bersama denganku.

Sampai senja berganti malam, usaha kami tak membuahkan hasil. Kedua anak yang kami cari belum juga terlihat tanda-tandanya. 

Aku memarkirkan motorku di sisi jalan, kebetulan saat itu dekat dengan sebuah warung yang menjual berbagai makanan. 

Atas inisiatifku sendiri, aku meminta Beliau untukmenunggu sebentar sementara aku ke warung untuk membeli nasi bungkus. Niatku memang ingin membelikan beberapa bungkus nasi karena aku sangat yakin ibu itu belum makan seharian. 

Selesai bertansaksi dengan pemilik warung nasi, aku menghampiri Ibu tadi. Kulihat raut cemas sangat tergambar jelas pada wajahnya.

"Bu, jadi bagaimana? hari sudah malam tapi anak ibu belum juga kita temukan," ucapku membuka pembicaraan.

"Ndak tau, Mbak. Saya juga bingung, apa anak-anak bisa pulang sendiri?" jawab ibu itu pelan, benar dugaanku. Ternyata ibu ini sudah lemas karena belum makan seharian.

"Bu, ini saya beli makanan. Meskipun gak seberapa, tapi ayo kita makan bareng-bareng. Ibu juga harus makan, nanti saya antarkan ibu ke rumah ya sehabis makan ini," ucapku sembari tersenyum menawarkan makanan.

Ibu itu menolehku, lalu ia pun menerima dengan senang hati makanan yang kuberikan padanya. Kami berdua makan bersama di pinggir jalan.

Selesai makan, kami berdua tak serta merta langsung pergi. Aku masih menyimak apa yang diceritakan ibu ini. Mulai dari kesehariannya sebagai pemulung, dan juga ia mengatakan di mana ia tinggal bersama kedua anaknya.

Dari cerita beliau, aku baru tahu ternyata beliau ditinggalkan oleh suaminya saat ia sedang mengandung anak kedua. Dan sampai sekarang ia tak tahu bagaimana kabar suaminya.

Ada rasa pedih dalam hati saat mendengar cerita dari beliau, membuatku lupa untuk bersyukur akan apa yang kumiliki saat ini. Setiap hari yang kulakukan hanya mengeluh, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa masih banyak orang yang hidupnya lebih sulit dariku. Namun, mereka tetap tegar menjalani pahitnya hidup ini.

"Makasih banyak, Mbak. Sudah mau bantu saya, selain cantik ternyata hati Mbak juga baik. Saya dari tadi sudah bingung mau cari pertolongan karena semua orang gak ada yang mau bantuin saya, apa mungkin karena saya orang miskin dan baju saya bau, makanya banyak orang yang gak mau bantuin saya," ujar Beliau di tengah obrolan, sontak hatiku bergemuruh hebat mendengar apa yang diucapkannya. Tak kuasa mata ini menahan tangis. 

"Bu, yang sabar ya, Bu. Justru hari ini saya banyak belajar dari Ibu, sekali lagi makasih ya, Bu," sahutku sembari merangkul bahu beliau.

https://youtu.be/STC49EHM-Ho

"Bu, ayo saya antar ke tempat ibu tinggal, ini sudah malam. Saya juga gak mau buat orang tua saya khawatir. Jadi ada baiknya saya antar Ibu dulu, lalu setelah itu saya pulang ya," ajakku dan beliau pun mengangguk.

Di perjalanan pulang kali ini benar-benar sulit karena harus melewati gang sempit, bahkan sebagian jalannya belum teraspal.

"Mbak, sampai sini aja gak papa. Saya bisa pulang sendiri," ujar Ibu itu sembari mencoba turun dari motor. Kemudian tanpa disangka-sangka ternyata beliau malah memegang tanganku lalu menciumnya sambil berucap terima kasih berkali-kali, sontak aku terkejut karena seharusnya akulah yang mencium tangannya.

"Ehh, Bu. Jangan begitu! harusnya saya yang cium tangan Ibu. Saya jadi merasa gak sopan sama orang tua," sahutku lalu buru-buru kucium punggung tangannya.

"Masyaa Allah, terima kasih, Ya Allah. Sudah mempertemukan dengan Mbak cantik dan baik," Ucap beliau sambil menangis haru.

"Ayo, Bu. Saya antar sampai ke rumah,"

"Jangan, Mbak. Saya malu, tempat saya jelek, bau, gak pantes disebut rumah," sanggahnya.

"Udah gak papa, Bu. Ayo saya antar, saya cuma mau pastikan ibu sampe ke rumah dengan keadaan baik-baik aja,"

Kuparkirkan motor tepat di depan gang sempit, tak lupa kukunci stang. Setelah dirasa aman, aku menghampiri beliau lalu kami berjalan beriringan.

Namun, saat sedikit lagi sampai ke tempat yang kusebut 'rumah' ternyata memang kondisinya sudah tak layak. Dan yang membuatku tambah terkejut, tiba-tiba si Ibu jatuh pingsan. 

Aku serta-merta langsung mencoba memeriksa keadaan beliau, tubuhnya sangat lemas, denyut nadi pun lemah. Mungkin karena ia merasa beban pikirannya makin bertambah saat tahu ia kehilangan kedua anaknya yang masih kecil.

Dengan sekuat tenaga, aku membopongnya agar bisa segera masuk ke dalam 'rumah' beliau. Lalu kubaringkan tubuhnya di atas dipan yang memang tersedia di sana.

Saat pikiranku diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang harus kuperbuat, dari arah pintu masuk 'rumah' ini terdengar suara anak-anak. Disusul dengan suara seorang wanita yang berada di belakang mereka.

Aku menoleh ke arah pintu dan kudapati seorang gadis yang sedang menutup mulutnya saat melihatku dan Ibu ini.

"Astaghfirullah," ucap gadis muda tersebut dengan ekspresi terkejut, dan tepat di belakang gadis itu, ada seorang pria yang tak asing lagi bagiku.

"Kok kamu ada di sini, Ron?" tanyaku sama terkejutnya saat melihat kedatangan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top